Berbagi Cinta: Suamiku Menikah Tanpa Izinku
"Mas, tumben sekali kamu ke luar kota lama?" tanyaku sambil merapikan beberapa potong baju Mas Hilman, suamiku, ke dalam koper.
"Iya. Proyek di Bandung sedang bermasalah dan sebagai orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab, aku harus menyelesaikan semuanya secepatnya. Mudah-mudahan cepat selesai dan aku cepat pulang," ujar Mas Hilman seraya menyisir rambutnya ke belakang. Matanya fokus pada cermin, tangannya terus bergerak menyisir rambut hingga rapi.
"Kamu gak apa aku tinggal kan? Kalau di rumah sepi kamu nginap aja di rumah ibu. Atau aku anterin kamu sekalian ke sana sekarang?" tanya Mas Hilman, kini dia sedang memakai dasi. Aku bangkit dan membantunya memakaikan dasi berwarna maroon, hadiah ulang tahunku untuknya beberapa bulan yang lalu.
Mas Hilman melingkarkan tangannya di pinggangku, sementara aku melilitkan dasi itu di lehernya. Tubuhku yang sebatas pundaknya membuat Mas Hilman sedikit membungkuk, dengan leluasa aku menyimpulkan dasi itu di depan lehernya.
Wajah Mas Hilman begitu berseri-seri menatapku saat ini. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping membuat matanya sedikit menyipit. Aku sangat suka dengan senyumnya yang seperti ini. Wajahnya yang tampan semakin tampan dan membuatku semakin jatuh cinta saja padanya setiap hari. Oh ... bahkan setiap detik.
Mas Hilman sosok lelaki yang pengertian. Sosok lelaki yang bisa membuatku lupa akan segalanya. Sosok dewasa yang membimbingku menjadi wanita yang dewasa pula. Selalu menyayangiku. Selalu menyatakan cinta padaku di setiap paginya. Bagaimana aku tidak akan jatuh cinta dengan pria romantis seperti dia?
Tujuh tahun pernikahan kami. Dia tidak pernah mengeluh padaku, tidak pernah menuntutku atau menyalahkan ku karena kami belum di karuniai keturunan. Kalian tahu apa yang dia bilang?
"Anak itu hanya titipan. Mungkin Tuhan masih belum percaya dengan kita. Jika saatnya tiba, tentu kita juga akan mendapatkan apa yang sudah seharusnya kita dapatkan. Biarkan saja kita seperti ini dulu. 'Kan jadinya seperti pacaran!"
Mas Hilman terkekeh setelah mengatakannya. Aku terharu saat itu. Mas Hilman selalu bisa mengenyahkan segala rasa gundah dan juga kesedihan yang melanda hati ini karena belum sempurnanya diriku menjadi seorang istri untuknya.
Dasi sudah terpasang rapi. Aku mengecek kembali semua yang terpasang di tubuhnya. Jas warna abu-abu yang dia pakai membuatnya terlihat gagah. Dengan gerakan pelan aku mengusap dadanya, dada yang bidang yang selalu saja membuat aku betah bersandar di sana kala hati ini gundah.
"Hei ... Mau aku antarkan tidak?" tanya Mas Hilman sekali lagi. Gara-gara mengaguminya aku jadi lupa kalau dia tadi bertanya.
"Gak usah. Aku mau beberes dulu. Palingan nanti sore aku ke rumah ibu sendiri pakai motor."
"Oh, ya sudah." Mas Hilman kini mendekatkan kepalanya dan mencium keningku, mata, hidung, lalu ke bibir. Tangannya semakin erat merengkuh pinggangku hingga tubuh kami saling menempel bak perangko.
Deru nafas hangatnya, rasa manis bibirnya, lidahnya yang kini bermain di dalam mulutku membuat aku terbuai dengan perlakuan manisnya. Sungguh ini adalah suntikan semangat di pagi ini. Ciuman yang tidak akan aku dapatkan selama seminggu ke depan.
Tangan Mas Hilman kini mulai bergerak ke atas, menekan tengkuk leherku dan memperdalam ciuman kami. Semakin panas dan semakin panas lagi saat lidah kami saling membelit dan menyulitkanku untuk bernafas. Hampir saja Mas Hilman membuka bajuku, tangannya sudah membuka dua kancing bajuku. Jika saja tidak terdengar suara hpnya yang berbunyi nyaring mungkin sebentar lagi kami akan ....
Ah, mengganggu saja!
Mas Hilman sudah menarik dirinya, tapi tangannya masih saja berada di salah satu bagian atas tubuhku.
"Mas ih! Nakal!" Aku menepis tangannya yang masih betah di dadaku. Suamiku itu hanya terkekeh melihat pelototan mataku. Dada ini masih saja berdebar dengan kencang. Sudah berharap adegan selanjutnya ... eh malah zonk. Hehe ....
"Hp kamu bunyi." Aku menarik diriku menjauh mundur selangkah darinya. Mas Hilman mengeluarkan hpnya, menekan layar lalu kembali memasukkannya ke dalam saku celana.
"Kok gak diangkat?" tanyaku. Aku kembali maju untuk merapikan dasinya yang miring akibat ulah kami tadi, memasukkannya ke dalam jas dan mengusap bajunya yang sedikit kusut.
"Ini dari Deon. Mungkin dia sudah sampai di kantor. Aku berangkat dulu, ya. Kamu hati-hati di rumah. setelah sampai nanti aku akan telepon kamu.'' Satu ciuman hangat mendarat di keningku lalu berlanjut pada hidung, kedua pipi, dan berhenti di depan bibirku.
"Aku akan lewatkan yang ini. Nanti malah gak mau lepas lagi." Mas Hilman terkekeh sambil mengedipkan satu matanya dengan nakal padaku. Ih, dasar mesum!
"Aku berangkat ya," pamitnya. Aku mengangguk.
"Aku antar ke depan ya," tawarku. Mas Hilman menggandeng pinggangku sedangkan satu tangan yang lain menyeret koper.
Selalu seperti ini setiap kali Mas Hilman akan berangkat bekerja. Jujur saja aku tidak bisa jauh dari dia. Semenjak dia menjadi suamiku, dia adalah tumpuan hidupku, kebahagiaanku, dan juga segalanya untukku, setelah ibu tentu saja.
"Kamu mau pakai mobil? Kalau kamu mau, aku akan berangkat pakai taksi. Sayang juga kalau di kantor mobil cuma nganggur di basement," ujar Mas Hilman saat kami sudah ada di teras.
"Enggak, ah. Pakai mobil gak bisa nyalip-nyalip. Masih enakan pakai motor," ucapku. Mas Hilman menatapku dengan tatapan tak suka. Satu tangannya terangkat ke atas dengan telunjuk kini tepat menunjuk di depan hidungku.
"Jangan ngebut-ngebut!" peringatnya.
"Aku gak mau kalau kamu sampai nabrak atau jatuh karena main kebut-kebutan. Kulit kamu juga bisa hitam kalau pakai motor gak pakai jaket." Wajahnya dibuat marah, tapi aku tahu dia tidak pernah bisa marah denganku. Aku hanya menjulurkan lidahku padanya. Mas Hilman tertawa melihat kelakuanku yang tidak peduli dengan ucapan peringatan darinya
"Ya sudah, jaga diri baik-baik ya. Aku berangkat. Kalau ada apa-apa kamu telepon aku, ya. Ingat jangan makan mie instan dan kopi banyak-banyak," ucapnya sambil mengacak pelan rambutku setelah itu dia mengusap pipiku dengan lembut.
"Sampai jumpa minggu depan. Love You." Mas Hilman mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan membuat bentuk hati yang sangat besar. Aku tertawa dengan tingkahnya ini. Usia kami sudah bukan anak remaja, tapi kami tidak peduli, kami melakukan hal itu. Stttt ....
"Love you juga!" Aku melakukan hal yang sama.
Lagi. Mas Hilman mengecup keningku sebelum dia beranjak untuk masuk ke dalam mobil.
Mobil sudah berada di luar pagar, mas Hilman tersenyum dari balik kemudi, melambaikan tangannya ke arahku. Aku balas melambaikan tanganku padanya
"Hai-hati, Mas!" teriakku. Dia hanya mengangguk setelah itu menaikkan kaca mobilnya. Mobil pun pergi meninggalkan aku yang masih menatapnya hingga menjauh. Udara yang semakin panas membuat aku tidak tahan dan mendorong pagar besi sampai tertutup sempurna.
Aku menatap rumah sederhana yang kami beli tiga tahun yang lalu. Perjuangan membeli rumah ini sangat terasa sekali, dan aku bersyukur dengan ini mekipun kami tinggal di rumah yang sederhana, tapi ini adalah milik kami. Tidak perlu membayar lagi.
Aku mengambil selang air yang ada di depan rumah. Tanaman yang hampir layu ku sirami hingga terlihat segar kembali, bau tanah kering tercium sedikit membuat hidungku geli. Dua kali bersin membuat hidung ini rasanya lega sekali.
Selesai dengan taman dan menyapu di luar rumah, lanjut aku membersikan bagian dalam rumah. Tidak perlu di jelaskan detailnya apa yang aku kerjakan sekarang, pekerjaan rumah memang tidak pernah ada habisnya. Melelahkan.
Tiga jam menggerakkan tubuh ini, peluh mengucur dari mulai wajah, leher, hingga ke dalam bajuku. Ini memang olahraga yang cocok untukku yang malas berolahraga di luar.
"Aahh ... sakit juga pinggang ini." Aku mengeluh sendirian. Jika saja ada Mas Hilman di sampingku dia pasti akan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dan setelah itu memijat pinggangku, dan setelah memijat pinggang lalu kami ....
Aih ... pikiranku nakal! Hehe ... membayangkan hal itu wajah sampai telingaku jadi panas.
Tubuh ini sudah lengket, gegas aku pergi ke dalam kamar untuk mengambil handuk, lalu kembali ke luar untuk ke kamar mandi.
Rumah ini hanya rumah sederhana dengan tiga kamar tidur, ruang tamu dapur, dan juga ruang makan, satu kamar mandi berdekatan dengan dapur. Di belakang rumah ada satu ruangan tambahan, cukup besar ukurannya, kami pakai sebagai ruang cuci sekaligus ruang setrika. Masih ada lahan sempit kami gunakan untuk menjemur pakaian.
Tak lama aku mandi, setengah jam saja untuk memanjakan diri ini setelah lelahnya beraktifitas. Ku ambil laptop dari dalam kamar dan aku simpan di atas meja makan. Dengan segelas es kopi di samping, aku memulai masa-masa terindahku. Sangat segar rasanya di siang yang panas ini.
Satu aplikasi berwarna biru kini menghiasi hari-hariku. Setelah aku resign dari kantor karena permintaan Mas Hilman aku menjadi bosan hanya diam saja di rumah, dan akhirnya aku hanya menghabiskan waktuku dengan membaca novel online. Menjadi pengangguran membuatku stress dan jadilah aku iseng membuat sebuah cerita.
Tidak banyak yang aku buat, aku hanya mengetik saat mendapatkan ide, dan itu pun aku lakukan di belakang Mas Hilman. Aku takut dia akan marah jika aku bilang telah menjadi seorang penulis sebuah platform online.
'Itu sama saja dengan kerja!' Mungkin saja Mas Hilman akan mengatakan itu, dan bagaimana kalau dia memintaku untuk berhenti lagi?
Hasil yang aku dapatkan dari sana juga tidak banyak, tapi aku cukup senang saat melihatnya bertambah setiap bulan. Soal hasil aku tidak ambil pusing dengan berapa yang aku dapatkan, ini aku lakukan hanya untuk mengisi waktu kosongku saja.
Tring ....
Satu notif pesan terdengar di hpku. aku yang sedang tanggung dengan ketikanku tidak lantas membuka pesan itu. Jika ini dihentikan aku tidak yakin akan ingat apa yang sudah aku pikirkan tadi.
Hp aku buka setelah aku menyelesaikan satu paragraf terakhir. Ada beberapa notif di sana, salah satunya pesan dari Mas Hilman.
[Aku udah di jalan, ini lagi berhenti dulu di rest area.]
Pesan satu jam yang lalu. Aku tersenyum. Mas Hilman memang tidak pernah lupa untuk memberi kabar di setiap perjalanan bisnisnya.
Pesan lain aku buka. Dari ibu, dari Diana sahabatku, dan beberapa orang temanku, hingga saat aku membuka satu pesan lain ... aku terdiam.
Dada ini berdebar dengan tak karuan, bergemuruh bagai ombak besar yang menabrak karang. Mataku memanas tidak mau teralihkan dari pesan gambar yang baru saja aku buka.
Pipiku menghangat karena satu cairan yang baru saja keluar dari mata, tak peduli kini semakin banyak dan membasahi paha.
"Tidak mungkin." Aku berkata dengan lirih. Gegas ku perbesar gambar yang dikirim seseorang itu padaku.
Tidak mungkin! Ini bukan Mas Hilman!
Akan tetapi, semua yang aku lihat itu memnag bukan khayalanku. Bukan aku salah melihat, saat aku memperbesar tampilan gambar itu ... itu memang Mas Hilman, sedang duduk berdua bersama seorang wanita muda di sampingnya dengan kerudung putih yang terpasang di atas kepala keduanya. Tangan pria itu sedang menjabat tangan seorang pria lain yang memakai jas hitam di depannya.
Ini sebuah pernikahan! Bahkan, keluarga Mas Hilman pun ada di sana!
Kenapa ini terjadi? Kenapa dia mengkhianatiku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 342 Episodes
Comments
Siti Sri Wahyuni
mampir
2022-11-11
0
Soraya
permisi numpang duduk dl ya kak
2022-11-03
0
Ayuk Noy
Aku mampir kak🥰
2022-11-02
1