Setelah kepergian mama Aya, Salma pun melanjutkan pekerjaannya. Namun sesungguhnya ia tak bisa konsentrasi pada pekerjaannya karena masih syok dengan apa yang baru saja ia dengar. Nadia.... betapa sulitnya Salma mempercayai jika perempuan yang menjadi sepupunya itu seperti iblis yang sedang menyamar. Apa ia sama sekali tak punya rasa persaudaraan dengannya? Sampai tega berbuat keji apalagi sampai memanfaatkan suaminya yang jelas-jelas sangat mencintainya dan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan rasa dendamnya pada Salma.
Hari ini adalah saat gajian bagi Salma. Sebenarnya sejak semalam ia sudah mereka-reka apa yang akan ia lakukan dengan uang gaji pertamanya itu. Tapi karena kejadian tadi rasanya sudah tak ada yang ingin ia lakukan lagi. Ia hanya ingin segera pulang dan beristirahat berharap jika semua ini hanya mimpi dan besok semua akan baik-baik saja. Tapi tetap saja otak warasnya berkata jika semua ini nyata dan tak ada yang bisa merubahnya.
Salma menerima gajinya dengan perasaan gamang. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena kini ia bisa mendapat penghasilan sendiri namun sedih karena akhirnya ia tahu siapa yang menginginkannya menderita.
"Nadia kenapa kau tega padaku? Hanya karena dulu kak Dirga menolakmu padahal aku sendiri pun baru tahu jika kak Dirga menyukaiku..." batin Salma.
Sengaja sepulang kerja Salma berjalan sendiri ke rumah. Ia ingin berlama-lama diluaran sebelum akhirnya harus kembali masuk kedalam neraka yang disiapkan Nadia untuknya yang disebut rumah. Hari sudah mulai gelap saat Salma akhirnya sampai di depan rumah. Tampak olehnya mobil Amran yang sudah terparkir di halaman. Salma menghela nafas pelan, ia harus menguatkan mentalnya sekarang. Karena Amran pasti sangat marah mengetahui ia keluar dari rumah seharian.
Dengan pelan dilangkahkan kakinya memasuki rumah. Sepi .... itu yang ia dapatkan saat memasuki ruang demi ruang menuju kamarnya. Dahinya mengernyit.
"Kemana semua orang? Bukankah mobil mas Amran sudah ada di luar?" batinnya penasaran.
Terdengar suara senandung mbak Sum dari arah belakang rumah. ART itu mungkin saja sedang menyiapkan makan malam. Lalu kemana Nadia dan Amran? Pertanyaan itu memenuhi fikiran Salma.
"Ah mungkin saja keduanya sudah di dalam kamar mereka" gumamnya.
Dengan cepat ia melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Sesampainya disana alangkah terkejutnya ia saat dilihatnya Amran sudah duduk di tepi tempat tidur dan memandangnya tajam. Seketika tubuh Salma membeku. Ia sudah siap dan pasrah jika Amran akan memarahinya.
"Kamu dari mana saja?" ucap Amran dingin.
"Dari ..."
"Dari mana!" bentak Amran.
Salma pun terhenyak kaget dengan suara nyaring Amran. Tubuhnya yang sudah lelah sejak tadi bergetar. Bukan takut tapi ia sedang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh dan terlihat lemah dihadapan laki-laki yang bergelar suaminya itu.
"Dari bekerja..." akhirnya ia menjawab dengan jujur pertanyaan Amran.
Laki-laki itu terlihat agak terkejut mendengar jawaban dari Salma.
"Bekerja?" ulangnya pelan.
Salma hanya diam tak menanggapi Amran.
"Kenapa?"
"Kau tanya kenapa?"
"Ya kenapa kau harus kerja?"
"Kau fikir aku kucing peliharaanmu yang hanya butuh makan minum dan tempat untuk tinggal saja? Aku manusia yang juga punya kebutuhan lainnya. Sedang kau kan sudah bilang jika tak akan pernah memberiku uang nafkah" kata Salma panjang lebar.
"Dan selagi aku masih punya tangan dan kaki tak akan pernah aku mengemis terutama padamu yang jelas-jelas tak mau bertanggung jawab" sambungnya sambil menunjuk wajah Amran.
Amran tercekat dengan perubahan sikap Salma yang kini mulai berani melawannya. Namun ia juga tak dapat membalas perkataan istri keduanya itu karena semua yang dikatakan oleh perempuan itu semuanya benar. Tanpa menunggu balasan Amran, Salma langsung mengambil pakaian gantinya yang masih berada dalam koper yang ia bawa saat pertama kali tiba di rumah itu. Kemudian ia pun langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri karena tubuhnya sudah terasa sangat lengket karena berkeringat saat berjalan pulang tadi.
Tak butuh waktu lama bagi Salma untuk membersihkan dirinya. Setelahnya ia pun keluar dari kamar mandi dan ternyata Amran sudah tak lagi berada di dalam kamar. Entah kemana laki-laki itu pergi. Mungkin kembali kekamarnya bersama Nadia. Sebenarnya ia agak heran karena hari ini Amran tak pulang bersama Nadia.
"Apakah Nadia masih bersama teman-temannya yang siang tadi bersamanya di restoran?" batin Salma sambil menyisir rambutnya di depan cermin.
Benar saja tak berapa lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Kemudian terdengar suara Nadia yang memanggil suaminya dari depan. Dan tak lama terdengar suara Amran yang menyahut panggilan istri pertamanya itu. Entah apa lagi yang direncanakan perempuan itu untuk kembali menyakiti Salma setelah tadi bertemu dengan teman-temannya tadi. Salma memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia dapat melihat dirinya yang kini tampak lebih tirus dengan lingkar mata yang samar.
Dulu saat ia masih sendiri walau tak pernah melakukan perawatan khusus wajahnya masih tampak bercahaya. Mungkinkah karena kini ia merasa tertekan? Salma menghembuskan nafasnya pelan.
"Inikah yang diinginkan Nadia? Melihat aku menderita secara perlahan?" batinnya.
"Tidak Salma ... kau tidak boleh kalah walau kau tak mau membalas perbuatannya tapi kau harus tunjukkan jika yang ia lakukan tak akan pernah membuatmu terpuruk dan menderita" terdengar suara dari dalam hatinya.
"Kau harus tunjukkan jika kau bisa tetap bahagia dengan caramu sendiri... dengan begitu maka yang akan merasa menderita bukan lagi dirimu tapi dia yang ingin membuatmu menderita" bisik suara itu lagi.
"Ya .... akan aku tunjukkan jika aku tak akan lemah dan hanya bisa menangis saja tapi sebaliknya akan aku tunjukkan pada mereka semua bahwa aku tetap akan bahagia dan kuat" gumamnya sambil menatap pantulan wajahnya di cermin yang kini tampak tak lagi sayu.
"Bahagiakan dirimu Salma..." ucapnya lagi memberi semangat pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.
"Ma... apa kau di dalam?" terdengar suara Nadia memanggilnya.
"Apa lagi yang kau rencanakan Nadia?" fikir Salma sambil memandang pintu kamarnya yang masih tertutup.
"Salma..." panggilnya lagi.
"Iya sebentar..." jawab Salma sambil melangkah untuk membukakan pintu.
"Ada apa Nad?" tanyanya dengan senyum yang dipaksakan.
"Apa kau tidak apa-apa jika sehabis magrib aku keluar dengan mas Amran?" tanyanya seolah tak enak pada Salma.
"Eumm ga pa-pa... memangnya kalian mau kemana?" tanya Salma basa-basi.
"Aku dan mas Amran mau merayakan hari anniversary pernikahan kami di restoran.... kamu ga pa-pa kan?" ucapnya lagi seakan yang dikatakannya akan membuat Salma merasa sakit hati.
"Ga pa-pa kok... maaf aku ga tahu jika hari ini hari annyversary pernikahan kalian..." kata Salma menjeda kalimatnya.
"Jika aku tahu pasti aku akan memberikan kalian hadiah..." sambungnya dengan nada menyesal. "Ga pa-pa... aku tahu jika kamu ga punya uang karena mas Amran tak memberimu uang jatah sedang aku sendiri tak berani membantumu karena kau tahu kan jika mas Amran tak mau ada yang membantahnya?" kata Nadia yang seakan meremehkan Salma karena tak mempunyai penghasilan sendiri.
Salma hanya tersenyum kecut dengan ucapan Nadia yang seakan meremehkannya itu. Tapi ia harus bersabar dan menganggap itu hanya angin lalu sehingga tak akan membuat moodnya menjadi hancur.
"Sudah, jangan di fikirkan. Aku ga pa-pa kok lagi pula kan aku masih bisa makan dan tidur nyenyak disini..." jawab Salma yang membuat Nadia sedikit tersentak dengan nada bicara Salma yang terlihat santai dan tak tampak tertekan. "Ya sudah ... aku ke kamar dulu ya ... untuk siap-siap" ujar Nadia akhirnya.
"Iya..." sahut Salma sambil tersenyum kecil.
"Kau tahu Nad .... sejak topengmu terbuka dihadapanku hari ini, tak ada lagi rasa canggung atau pun tak enak pada diriku jika bisa membuatmu merasa kesal" ucapnya dalam hati sambil menutup pintu kamarnya lagi.
Saat Salma baru selesai membaca Al-Quran yang biasa dilakukannya selesai sholat magrib terdengar suara mobil Amran yang meninggalkan rumah. Salma menghela nafasnya pelan. Tak dapat dipungkiri walau sampai saat ini ia tak ada rasa pada suaminya akibat perbuatan laki-laki itu selama ini padanya namun tetap saja ada rasa sakit yang ia rasakan saat Nadia berkata akan merayakan hari jadi pernikahannya. Sesungguhnya ia juga ingin memiliki pernikahan yang sempurna. Pernikahan yang didasari oleh rasa cinta antara pasangannya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur .... ia yang dulu tak bisa menolak pernikahan terpaksa ini karena ingin menolong sepupunya justru ia yang tertipu dan terjebak didalam rancangan balas dendam yang tidak masuk akal. Salma menghela nafasnya pelan.
"Aku sudah berjanji akan membuat hidupku bahagia jadi tak ada kata mundur lagi ..." ucapnya pada dirinya sendiri.
Selesai melipat mukenanya ia pun keluar untuk makan malam. Dilihatnya meja makan sudah ada makanan yang tertata rapi. Ia masih bersyukur karena bik Sum masih menyediakan makanan untuknya. Dengan santai ia pun mulai makan. Dan kali ini untuk pertama kalinya ia merasa sangat menikmati makanannya. Mungkin karena kali ini ia tak harus melihat dua manusia yang selalu saja membuat hatinya menderita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments