Kulalui hari-hariku dengan rutinitas yang sama setiap harinya yaitu pergi ke sekolah lalu menjaga Toko kelontong keluarga kami setelah pulang sekolah yang terletak di pinggir jalan raya tidak jauh dari rumah.
Suatu ketika di hari yang sangat terik sepulang dari sekolah aku lupa mengabari bapakku jika aku tidak pulang bersama Devi.
Aku mencoba untuk menunggu angkot di depan gerbang sekolah tetapi tidak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk ke kantin saja.
Setelah memesan es teh. Aku menunggu di meja kantin. Beberapa menit kemudian es teh pesananku datang.
Ibu kantin yang ramah meletakkan es tehku di meja.
"Silahkan diminum Dik," kata ibu kantin dengan sopan.
"Terima kasih Bu," Jawabku sebelum meneguk minuman dingin sejuta umat tersebut.
***
Dua puluh menit berlalu. Aku memutuskan untuk kembali ke gerbang depan. Berharap angkot sudah datang.
Aku bergegas mengambil tas ransel yang kuletakkan di kursi kantin lalu bersiap untuk pergi tak lupa aku membayar es teh yang telah menyelamatkanku dari kehausan tadi
"Bu, jadi berapa?" Tanyaku kepada ibu kantin sambil memegang dompetku bersiap mengeluarkan uang.
"Dik, tidak usah bayar. Es teh tadi Ibu gratiskan untuk adik." Terangnya menolak uangku.
"Loh jangan Bu. Saya punya uang kok." Ucapku sambil menyodorkan selembar uang lima ribuan.
"Bener dek, tidak usah bayar. Hari ini jumat berkah. Ibu sengaja memberikan es teh gratis untuk anak anak" Ucapnya mencoba meyakinkanku.
Tapi bukankah ini hari sabtu. Apakah Ibu ini lupa hari atau bagaimana sudahlah aku tidak ingin berdebat dengannya. Akhirnya kuputuskan untuk setuju menerima es teh gratis tadi.
"Oh begitu ya Bu, kalo gitu makasih banyak ya semoga ibu selalu dilancarkan rezekinya. " Ucapku berterima kasih sambil melangkahkan kaki keluar.
"Iya Dik Aamiin. Hati hati ya Dik pulangnya." Pesannya kepadaku yang kubalas dengan anggukan.
***
Aku kembali ke gerbang sekolah. Tetapi angkot yang kutunggu tak kunjung datang juga. sebenarnya kemana mereka semua. Biasanya ketika tidak dicari mereka berjejer di depan gerbang, tetapi ketika dicari seperti ini tak satupun yang tampak.
***
Sudah tiga puluh menit kumenunggu angkot yang tak kunjung datang itu.
Langit yang tadinya cerah tak berawan tiba-tiba saja berubah menjadi mendung, angin berhembus membawa butiran-butiran air,bau hujan mulai tercium sepertinya akan turun hujan.
Astaga ada apa dengan hariku ini ,tadi kepanasan sekarang kehujanan. Sepertinya nasib benar-benar tak pernah berpihak kepadaku.
Rintik hujan mulai turun. Aku yang tak mempunyai perlindungan apa pun langsung berlari kembali ke area sekolah.
Namun beberapa menit kemudian seorang tukang becak menghampiriku.
"Nak, mau Bapak antar pulang? Bapak sekalian pulang," ia menawariku tumpangan.
"Tidak usah pak, Saya nunggu angkot saja. " Jawabku tidak enak.
"Tidak apa Nak, nanti keburu sore, orang tua di rumah pasti khawatir," jelasnya yang setelah kupilih pikir ada benarnya juga.
"Ya sudah pak kalo tidak merepotkan bapak." Kataku sambil melihat becaknya yang tertutup plastik di setiap sisi.
"Tentu tidak Nak, ayo silahkan." Ucap bapak tukang becak sambil membukakan plastik yang menutupi bagian tempat duduk becaknya.
Aku segera naik dan duduk, sangat hangat di dalam becak ini sebab air hujan tak dapat memasukinya.
***
Sampai di depan rumah
"Pak, terimakasih ya. Ini uangnya Pak." Kataku sambil menyodorkan uang.
"Loh Nak tidak usah, kan Bapak yang sengaja memberikan tumpangan tadi." Jawabnya menolak uang pemberianku.
"Loh ya tidak bisa begitu Pak. Saya yang tidak enak jadinya." Kataku memohon agar si Bapak mau menerimanya.
"Beneran Nak. Bapak ikhlas. Sudah disimpan saja uangnya. Bapak pamit ya." Ucapnya seraya melajukkan becaknya.
Astaga baik sekali Bapak ini belum sempat aku berterima kasih dia sudah melajukan becaknya kembali.
Hari ini kesialanku terselamatkan oleh keberuntunganku, aku menyesal sudah sangat mengeluh hari ini.
***
Aku segera berganti pakaian dan makan siang, kulihat Ibuku sedang memilah sayuran untuk di jual besok, Kucoba untuk mencari bapak berada sebab sejak tadi pagi aku tak melihatnya sama sekali. Akhirnya aku menanyakannya pada ibuku.
"Buk, Bapak kok gak kelihatan ya dari tadi pagi? " Tanyaku.
"Bapak lagi keluar Kota An. Berangkatnya tadi setelah pulang dari Pasar." Jawab Ibuku sambil masih berkutat dengan sayuran di tangannya.
"Kok mendadak sekali buk? Gak pamit lagi sama Ana," jawabku sambil membantu menata sayuran.
"Iyaa tadi buru-buru banget," kata ibuku mencoba menjelaskan.
Aku juga tak mengerti mengapa bapak sering sekali keluar kota padahal profesinya hanyalah seorang petani. Setiap kali kutanyakan hal ini kepada ibuku.
Beliau selalu berusaha menepisnya dan hanya menjawab jika bapak sedang menemui temannya dikota untuk membahas masalah pertanian.
Body yang atletis, wajah tegas dan pawakan tegap membuat orang yang melihat bapakku seperti bukan berprofesi sebagai petani. melainkan aparat hukum atau abdi negara lainnya.
Kadang Aku berfikir mengapa dulu sewaktu masih muda Bapak tidak mencoba menjadi angkatan militer saja entah angkatan darat atau laut ataupun udara karena postur tubuhnya sangat di sayangkan jika hanya berprofesi sebagai petani.
Berbeda dengan postur tubuhku yang kerempeng ini. Aku sangat mengkhawatirkan diriku sendiri. Akankah aku mendapat pekerjaan yang bagus nantinya mengingat penampilan sangat penting untuk melamar pekerjaan sekarang.
Aku mencoba menelaah. Bagaimana bisa bapak dengan mudahnya bolak balik ke luar kota, apakah bapak mempunyai pekerjaan lain disana , lalu untuk transportasi sendiri bukankah memerlukan biaya untuk itu.
Dari mana bapak mendapatkan uang untuk biaya transportasinya. Rasanya tidak mungkin bila hanya untuk membahas masalah pertanian temannya rela menanggung biaya transportasi dan keperluan Bapakku.
Berbagai spekulasi berputar di otakku . terkadang Bapak juga menerima telepon dari seseorang yang entah itu siapa. Berbicara dengan nada rendah dan menjauh dari keluarga terkadang samar-samar masih terdengar suara penelepon yang juga seorang lelaki.
Bapak selalu membawa ponsel jadul nya kemanapun beliau pergi. Seakan takut kami akan memeriksa ponsel tersebut. Ibuku yang mengetahui ini terlihat biasa saja tak menaruh curiga sedikitpun pada Bapakku seakan sudah mengerti apa yang terjadi.
Jika istri lain mungkin sudah curiga bukan kepalang melihat suaminya seperti itu.
bagaimana tidak suami sering keluar kota, ponsel tidak diperbolehkan disentuh apalagi jika bukan selingkuh.
Astaga apa yang kupikirkan sebenarnya. Aku menuduh bapakku sendiri selingkuh. benar benar anak yang durhaka. Bukankah perselingkuhan membutuhkan biaya yang besar mana mungkin pelakor mau berhubungan dengan seorang petani miskin. yang benar saja.
Semakin lama pikiranku ini semakin tidak jelas. Aku yakin bapakku adalah pria yang baik. hanya masalah waktu saja. Suatu saat pasti beliau akan menjelaskan semuanya pada kami.
Hari mulai malam. Aku pun masuk ke kamarku. Kulihat Luna sudah terlelap di kamarnya. Aku juga akan menyusulnya untuk tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Juwandi
salam dari Diary Kayla kak,semangat
2022-03-30
0
Nur Hidayah
Belum tentu kak Author, siapa tau pelakornya cuman butuh anu nya aja🤭😂
2022-02-18
0
Hanna Devi
semangat selalu 💪
maafkan aku baru berkunjung lg 😊
2022-02-17
0