Sekamar

Aisha memaksakan diri untuk menghabiskan makanannya, dia tahu jika dia harus betul-betul pulih, tidak boleh sakit seperti semalam karena tak akan ada yang mengurusnya. Selesai makan dan membereskan dapur, Aisha kembali masuk ke dalam kamarnya dengan sama sekali tak melirik amplop berisi uang itu begitu juga dengan kartu namanya, keduanya tetap dibiarkan teronggok di tempat dimana Alvian menyimpannya.

Aisha kembali beristirahat, rehat dulu dari aktivitasnya menulis dan memainkan laptopnya, lebih banyak menghabiskan waktu dengan hanya berbaring di atas tempat tidur.

Seperti biasa, ibunya akan menelepon untuk menanyakan kabar dan sudah pasti Aisha berbohong, walaupun sulit dan dengan rasa bersalah, Aisha mengatakan jika keadaannya baik-baik saja begitu juga dengan sang suami, Alvian.

'Maafkan atas kebohonganku Ummi, aku melakukannya karena tak ingin membuat kalian khawatir, biarlah kalian pikir jika pernikahan ini baik-baik saja dulu..'

***

"Dia sakit, semalam dia meminta obat penurun panas padaku," ucap Alvian memberi tahu Anita kejadian semalam.

"Sakit?" tanya Anita kaget.

Alvian mengangguk.

"Semalam aku bingung sekali, hampir saja aku meneleponmu agar kamu bisa datang dan melihat keadaannya."

"Terus kenapa tidak melakukannya?" tanya Anita sedikit kesal.

Alvian langsung melihat Anita yang duduk di depannya.

"Kamu mau bertemu dengannya? Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja tidak apa-apa, memangnya kenapa?" jawab Anita cepat.

"Aku takut kamu cemburu," ucap Alvian ragu-ragu.

Anita mengerutkan keningnya.

"Kenapa aku harus cemburu? Dia memang istrimu, tapi aku tahu jika kamu hanya mencintaiku."

Alvian mengangguk.

"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Tadi pagi aku lihat dia sudah lebih baik, dia ke dapur dan memasak."

Anita terdiam sejenak.

"Aku kasihan padanya," ucap Anita pelan.

"Kenapa?"

"Ini pasti pertama kalinya di jauh dari keluarganya, selama sebulan ini dia juga terus berada di rumah, ditambah sikapmu yang dingin kepadanya, sudah pasti dia stres dan tertekan."

Alvian terdiam. Sebenarnya dia juga memikirkan hal yang sama. Oleh karena itu, dia memberikan Aisha sejumlah uang tadi, agar Aisha bisa berjalan-jalan dan mencari hiburan, akan tetapi Aisha dengan tegas menolak uang pemberiannya.

"Selain itu, disini dia tidak mempunyai seseorang yang bisa diajaknya berbicara."

"Dia pasti sering berbicara dengan keluarganya di telepon," ucap Alvian.

"Itu sudah pasti, tapi Aisha tidak akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, dia akan berbohong pada keluarganya, mengatakan jika dia bahagia disini."

Alvian tertegun mendengar perkataan Anita.

"Aku wanita. Aku mengerti bagaimana perasaannya saat ini," ucap Anita sambil melihat Alvian yang hanya terus terdiam mendengarkan perkataannya.

"Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin berteman dengannya."

Alvian tersentak. Langsung menatap wajah Anita.

"Katakan saja jika aku adalah teman baikmu." Anita menatap Alvian dengan tatapan memohon.

Alvian tak menjawab, dia nampak bingung. Membiarkan keduanya bertemu?

Tiba-tiba ponselnya berdering, Alvian segera mengangkatnya yang ternyata itu adalah panggilan darurat, memintanya untuk segera datang ke ruangan pasien.

Alvian pamit pada Anita untuk pergi duluan, dia meminta kekasihnya itu untuk tetap disitu dan menghabiskan makanannya.

Anita mengaduk-aduk minuman dengan sedotan di tangannya sambil setengah melamun, dia memikirkan Aisha.

Rasa iba menyelimuti hatinya, entah mengapa kini dia menjadi bersimpati pada istri dari kekasihnya itu.

Menurutnya Aisha dan Alvian adalah korban dari keegoisan para orang tua, perjodohan yang dipaksakan kini sudah tak zamannya lagi, orang tua memaksakan kehendaknya tanpa bertanya apakah sang anak sudah mempunyai pilihannya sendiri atau tidak. Dengan dalil harus berbakti, orang tua memaksa anak harus menuruti keinginan mereka.

Anita kini sangat ingin bertemu dengan Aisha dan menawarkan persahabatan dengannya, dia tahu sama halnya seperti Alvian, Aisha juga tak menginginkan pernikahan ini, oleh karena itu tak ada alasan baginya untuk cemburu pada Aisha apalagi bermusuhan dengannya, karena tak ada yang mereka perebutkan, dia yakin jika Aisha tak menginginkan Alvian. Alvian tetap menjadi miliknya walaupun sudah berstatus menjadi suami dari Aisha. Keduanya hanya terikat pernikahan yang dipaksakan.

***

Alvian berjalan terburu-buru sambil terus menelepon ke apartemennya, tak juga diangkat sungguh membuat dirinya jengkel, dia terus menggerutu dalam hatinya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Aisha sehingga dirinya tak mengangkat telepon rumah.

Hingga akhirnya dia sampai di apartemennya, dengan terburu-buru dia membuka pintu lalu menerobos masuk dengan tergesa-gesa.

Alvian kaget melihat ternyata kedua orang tuanya sudah berada disana.

"Nak. Kamu sudah pulang?" Ibunya menyambut Alvian dengan penuh kasih sayang.

Alvian tergagap sambil melihat Aisha yang sedang duduk di samping ibunya.

"Kalian kapan sampai? Maaf waktu kalian menelepon tadi, aku sedang berada di ruangan operasi, jadi aku tidak bisa mengangkatnya," tanya Alvian sambil mencium tangan kedua orang tuanya.

"Baru saja kami sampai, tidak apa-apa. Kami tahu jika kamu pasti sedang sibuk."

"Kenapa kalian mendadak sekali kesini? Tidak memberi tahu jauh-jauh hari," tanya Alvian sambil duduk di samping ibunya.

"Ibumu yang tiba-tiba mengajak kesini ba'da Ashar tadi, katanya dia kangen sama menantunya." Ayah menjawab sambil melihat Aisha.

Semuanya tertawa.

"Lagian kenapa kalian tidak pulang-pulang," jawab sang ibu sambil terkekeh.

Alvian memaksakan tersenyum walaupun sebenarnya dia nampak sangat gusar.

Ibu kemudian menyuruh putranya untuk mandi dan berganti baju dahulu, dia juga meminta Aisha untuk mengikuti Alvian masuk ke kamar.

"Urus suamimu sana. Siapkan bajunya."

Alvian berjalan menuju kamarnya, dia melihat Aisha dengan ragu mengikutinya dari belakang.

Hingga akhirnya keduanya sampai di dalam kamar. Alvian buru-buru menutup pintu. Melihat Aisha yang kini di depannya.

"Aku menelepon beberapa kali kenapa tidak kamu angkat? Aku ingin memberitahu jika ibu dan ayah akan kesini, jadi kamu harus pindah dari kamar itu kesini. Sekarang bagaimana? Kedua orang tuaku pasti tahu jika sebenarnya tidur berpisah, tidak satu kamar." Alvian yang kesal memegang kepalanya.

"Saya sudah memindahkan semua barang milikku kesini, sebelum ibu dan ayah datang," jawab Aisha sambil berjalan mendekati tempat tidur dimana banyak baju miliknya disana.

Alvian kaget. Dia langsung melihat kamarnya yang sedikit berantakan.

"Kamu tahu ibu dan ayah akan kesini?"

"Mereka menelepon ketika sudah sampai lobi apartemen," jawab Aisha lagi sambil membereskan bajunya.

Alvian tampak bernafas lega. Dia kemudian mengerti kenapa Aisha tak mengangkat telepon tadi, pasti sedang sibuk memindahkan semua barang miliknya ke dalam kamar ini dengan terburu-buru.

***

Malam hari.

"Tidurlah di kasur. Biar aku yang tidur di sofa." Alvian melihat Aisha yang akan berbaring di atas sofa.

"Tidak perlu." jawab Aisha sambil berbaring dan membelakangi suaminya.

Alvian mengalah, dia membaringkan tubuhnya.

Sunyi. Senyap.

"Apa kamu terbiasa tidur dengan memakai penutup wajah itu?" tanya Alvian tiba-tiba.

Aisha terdiam, sedikit kaget dengan pertanyaan suaminya.

"Kamu bisa membukanya, pasti sesak jika tidur menggunakan itu, tenang saja aku tidak akan melihat wajahmu, lagipula lampunya mati."

"Sebenarnya bukan hanya wajahku, jika anda mau seluruh tubuhku pun anda halal untuk melihatnya."

Alvian kaget mendengar jawaban Aisha.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!