Aku merasakan api yang sangat besar berkobar dalam dadaku. Panas sekali. Aku terbakar. Apa aku di neraka sekarang? Kepalaku sangat berat, rasanya seakan seluruh gunung yang ada di bumi menimpa kepalaku. Sakit sekali. Sakit yang benar-benar sakit. Aku tidak tahan, aku ingin berteriak. Tapi tidak bisa, seperti ada bongkahan batu besar menghambat tenggorokanku. Aku sulit bernapas.
Perlahan aku mencoba membuka mata. Pandanganku kabur tertutup asap pekat, semua yang kulihat berputar-putar dengan cepat. Ini membuat sakit di kepalaku semakin parah, rasanya ingin pecah.
Aku mengereram kesakitan.
"Mas Dante." Suara seseorang. Siapa?
Aku menutup mataku lagi, lalu ku buka perlahan. Masih berkabut.
Ku ulangi lagi menutup dn membuka mataku secara perlahan beberapa kali, sampai kabut pekat itu hilang.
Aku bisa melihat sedikit lebih jelas, walau pandanganku masih agak sedikit berputar.
"Mas Dante." Suara itu lagi.
Aku mencoba memfokuskan pandangan ke sumber suara. Perempuan. Iya seorang perempuan. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah, lingkar hitam di matanya terlihat begitu jelas. Tapi dia cantik. Lingkar hitam di bawah matanya tidak bisa menutupi kecantikan di wajahnya.
Siapa dia?
"Mas Dante." Itu suaranya.
Siapa mas Dante?
Siapa dia?
Siapa aku?
Di mana aku?
Banyak sekali yang ingin aku tanyakan, tapi aku tidak bisa bersuara. Setiap kali aku berusaha mengucapkan sesuatu, rasanya batu dalam tenggorokanku bergesekan dengan dinding-dinding tenggorokan. Perih sekali.
"Ada apa, Mas? Mas perlu sesuatu?" tanyanya.
Aku perlu air, aku perlu sesuatu untuk membasahi tenggorokanku yang rasanya sangat kering ini.
"Aa ...." Sial, aku tidak sanggup mengeluarkan kata.
"Kau ingin sesuatu, Mas?" Wanita itu mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bisa mencium aroma lavender yang sangat menenangkan dari tubuhnya.
"A ... Air." Akhirnya aku bisa mengucapkannya walau rasanya tenggorokanku lecet.
"Oh ... Iya, tunggu sebentar." katanya, lalu dia berjalan ke meja dinpojok ruangan yang sangat asing ini.
Dia berjalan kearahku, membawa sebotol air putih. Dia memasukkan sedotan kebibirku. Lalu aku menyetot air putihbitu pelan. Rasanya sangat perih saat air itu mengaliri tenggerokanku.
Aku berdeham, berusaha untuk mengatakan kata lebih banyak. Rasanya masih perih, tapi sedikit ada kelegaan.
"Di mana saya? Siapa anda?" Akhirnya aku bisa bersuara.
Aku menatapnya, wajahnya menyiratkan keterkejutan. Bibirnya bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia malah menggeleng.
"Aku akan memanggil dokter, Mas tunggu sebentar," katanya. Lalu dia berjalan tergesa keluar dari ruangan yang sngat aneh ini.
Ruangan apa ini?
Seluruh ruangan ini berwarna putih dengan aroma obat yang sangat menyengat.
Aku menyibak selimut yang menutupi dadaku, banyak kabel? Kenapa banyak kabel pada tubuhku? Apa aku robot? Apa aku adalah objek percobaan mutasi buatan?
Ada infus juga di tanganku. Aku kenapa sebenarnya? Mana wanita tadi? Aku ingin menanyakan banyak hal padanya.
Aku mencoba mencerna perlahan tentang apa yang terjadi saat ini. Tidak bisa, kepala sakit sekali, aku tidak bisa berpikir.
Wanita tadi kembali, bersama sesorang laki-laki berkacamata berjas putih. Dokter. Apa dia dokter?
Ruangan putih, bau obat-obatan menyengat, laki-laki berjas putih. Apa ini rumah sakit. Sedang apa aku disini. Apa yang terjadi padaku?
"Selamat pagi Pak Dante," sapa laki-laki berjas putih yang kusimpulkan bahwa dia adalah dokter.
Dia bicara pada siapa? Padaku? Atau pada Pak Dante? Atau jangan-jangan Pak Dante yang dimaksud adalah aku?
Aku menatap pada wanita yang berdiri di belakang dokter, dia nampak gugup, dia menggigiti kukunya. Aku tidak suka melihat orang mengigiti kuku begitu, nanti akan kukatakan padanya untuk tidak melakukan itu lagi. Iya, nanti saat aku sudah bisa bicara.
Aku sulit sekali bicara sekarang. Tenggorokanku kembali sakit. Aku berdeham beberapa kali, aku ingin sekali bicara, aku ingin sekali bertanya banyak hal.
"Apa yang anda rasakan, Pak?" ucap Dokter.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba paksa suaraku untuk keluar, "Sakit."
Dokter itu kemudian mencek keadaanku, dia menempelkan benda bulat pipih di dadaku, menyentari mata dan rongga mulutku serta memeriksa selang infusku.
"Kami belum bisa mengobservasi pasien saat ini. Setelah keadaanya membaik maka kami akan melakukan observasi. Sementara biarkan pasien beristirahat dulu." Dokter itu berbicara pada si wanita.
"Saya keluar dulu, kalau ada apa-apa segera panggil saya," ucap dokter itu sambil berlalu pergi keluar ruangan.
Sekarang tinggal aku berdua dengan wanita itu dalam ruangan ini. Dia perlahan mendekatiku, memberiku minum dengan sedotan. Perlahan tenggorokanku mulai membaik.
"Saya kenapa?" tanyaku susah payah setelah beberapa kali berdeham.
"Mas Dante kecelakaan, mobil Mas Dante jatuh ke jurang." Dia duduk dikursi di sebelah tempat tidurku dengan gerakan canggung.
"Kecelakaan?" tanyaku untuk memastikan.
"Ya, kecelakaan. Sepuluh hari yang lalu."
"Delapan hari."
Dia mengangguk. Ekspresinya juga agak canggung saat menatapku.
"Apa yang kulakukan selama delapan hari ini?
"Hanya tidur di sini," ucapnya pelan. Lalu dia kembali melanjutkan, "Dua hari yang lalu Mas Dante kejang hebat. Sepertinya cidera di leher Mas Dante bertambah parah."
Ah, pantas saja rasanya sakit sekali. Aku sulit untuk bergerak dengan adanya benda keras yang menempel pada leherku ini.
"Kamu siapa?" tanyaku.
Wanita itu nampak terkejut, tatapannya yang canggun padaku kini berubah jadi tatapan kebingungan.
Aku berdeham sebelum mulai bicara, "Aku sama sekali tidak ingan apa-apa. Bahkan namaku saja aku tidak ingat, jadi maaf kalau aku tidak mengingatmu."
Dia bergerak seperti sedang menelan ludah sebelum bicara, "A ... aku Lily. Hmm ... Istrimu."
"Istri? Aku sudah menikah?" Sunggubaku kaget sekali dengan ini. Aku memang tidak mengingat apapun. Tapi aku sama sekali tidak menyangka bahwa diriku sudah menikah.
Berapa umurku sekarang? Apa aku sudah tua? Tapi, wanita yang mengaku istriku ini masih terlihat muda. Pasti usiaku tidak jauh darinya. Kurasa dia tidak akan mau menikah denganku kalau aku sudah tua.
Wanita itu mengangkat telapak tangan kanannya, memperlihatkan sebuah cincin bermata berlian yang melingkar si jari manisnya. Lalu dengan gerakan pelan sekali dia memegang tangan kananku kemudian mengangkatnya sampai aku juga melihat ada cincin yang melingkar di jari manis tangan kananku.
Apa itu cincin pernikahan kami?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
pinnacullata pinna
sedih ya dia lupa semua keknya
btw aku mampir dan memberikan like dukung juga novelku cinta adalah sebuah perjalanan yang indah 🙏☺️☺️
2021-01-17
1
Anonymous
bagus nih ....aku baca deh
2021-01-05
1