Suamiku Hilang Ingatan Setiap Hari
#SHISH
Part 3 : PoV Lily
Ibu mertuaku membawaku ke bagian lain rumah sakit tempat mas Dante dirawat. Beliau menggenggam tanganku di sepanjang jalan. Seakan meminta kekuatan atau ingin berbagi kekuatan padaku.
Kami menyusuri lorong-lorong rumah sakit dengan keheningan. Beliau tidak bicara apapun, hanya hembusan nafas berat dan bersitan ingus yang di tarik kembali ke dalam hidung yang terdengar.
Aku semakin gugup saat beliau membawaku ke bagian perawatan ibu nifas. Maksudnya apa?
"Laura hamil. Anak Dante." kata ibu mertuaku tergugu.
Aku tidak mengerti, sungguh aku tidak mengerti. Suamiku menghamili wanita lain sedangkan dia sekalipun tidak pernah menyentuhku. Ironi sekali, bukan?
"Kecelakaan itu membuat laura kehilangan bayinya. Dia harus melakukan kuret sebelum melakukan proses amputasi."
"Amputasi?" aku semakin tidak mengerti.
"Kaki laura harus diamputasi. Polisi bilang di TKP kecelakaan itu, mereka menemukan Laura di bagian luar mobil dan kakinya terhimpit badan mobil membuat kakinya remuk dan harus di amputasi."
Aku tidak tau aku harus marah atau bersimpati ada Laura. Sebagai seorang perempuan rasanya aku bisa merasakan betapa sakit hatinya kehilangan calon bayi sekaligus kehilangan kaki.
"Kemungkinan Laura terlempar keluar mobil saat peristiwa itu. Entahlah. Aku tidak ingin memikirkannya." Ibu mertuaku menggeleng frustasi. "Mungkin ini hukuman untuk mereka berdua."
"Bagaimana setelah ini?" Aku menatap kosong pada pintu kamar ruang rawat Laura. "Apa aku harus meninggalkan mas Dante dan membiarkan dia dan Laura bersama?
Ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu, "Jangan tinggalkan Dante, Ly. Ku mohon jangan tinggalkan dia."
Aku tidak ingin meninggalkan mas Dante ma. Aku tidak ingin kehilangannya. Tapi apa ini adil untuk Laura, mas Dante dan untukku?
"Lalu aku harus bagaimana ma? Alu merasa seperti orang jahat yang berada dalam hubungan mereka berdua."
"Tidak, sayangku. Bukan kamu yang jahan.mereka yang jahan padamu." Ibu mertuaku memelukku semakin erat.dia membelai punggungku.
Tanpa terasa air mata jatuh dari sudut mataku. Air mataku kali ini bukan untuk mengisi mas Dante, tapi untuk menangisi diriku sendiri.
"Orang tua Laura akan membawa Laura ke Luar Negeri. Mereka ingin menghentikan kegilaan Laura terhadap Dante. Orang tua Laura bilang mereka sudah berulang kali memperingatkan Laura untuk berhenti mengejar Dante. Tapi mereka berdua keras kepala sekali, mereka tetap nekat untuk bersama meski orang tua masing-masing tidak ada yang menyetujui hubungan mereka." kata mertuaku sambil terus mengusap punggungku.
Aku ingin sekali bertanya sebenarnya kenapa sih nggak ada yang merestui hubungan mereka, orang tua mas Dante dan orang tua Laura sama-sama tidak ingin mereka bersama. Tapi apa pertanyaan itu perlu? Apa pertanyaan itu penting bagiku?
***
Aku berjalan lemas menuju ruang ICCU. Malam ini giliranku yang menjaga mas Dante. Seperti biasa aku duduk di sebelahnya, aku mengajaknya bicara, aku menceritakan banyak hal padanya. Aku menceritakan rasa sakitku padanya, rasa sakit akibatnya. Aku menceritakan tentang pitto, kucing persia kesayangan mas Dante yang sekarang kesepian di rumah. Aku menceritakan apa saja.
Sejak gerakan pertama jarinya waktu itu, perlahan mas dante semakin menunjukan kemajuan, jarinya sering bergerak, bibirnya juga terkadang terlihat bergerak walaupun hanya sedikit sekali gerakan yang nampak. Tidak apa-apa aku akan terus berusaha membangunkannya.
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Aku baru saja menyelesaikan urusan berkas-berkas wisudaku beberapa minggu lagi. Iya, sebentar lagi aku resmi menjadi seorang Magister sastra Inggris.
Harusnya, setelah aku menyelesaikan study S2-ku, aku akan meluangkan waktu untuk berlibur bersama teman-temanku ke Phuket Thailand. Harusnya setelah menyelesaikan study S2-ku, aku mempersiapkan diri untuk melanjutkan study S3-ku di Cambridge. Harusnya!
Tapi kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku malah terjebak dalam pernikahan yang sangat-sangat tidak layak bersama mas Dante.
"Lihat Mas, bukan hanya kamu yang kehilangan impian karena perjodohan kita! Aku juga kehilangan impian, Mas!" kataku di depan wajah suamiku yang terlelap dalam ketidak sadarannya.
Aku membayangkan jika aku berbicara seperti ini di depan wajahnya jika dia dalam keadaan sadar, aku yakin pasti dia akan menamparku.
"Apakah aku marah, Mas? Iya. Aku marah awalnya. Tapi semakin lama, rasa marah itu berubah menjadi rasa sayang. Aneh, Kan? Padahal kamu selalu menyakitiku!" Aku membelai kepalanya.
Mata mas date berkedut. Kedutan yang sangat cepat dan kecil. Ada kebahagiaan setiap aku melihat gerakan-gerakan kecil yang di ciptakan mas Dante di tengah ketidak sadarannya. Aku semakin yakin bahwa suamiku pasti akan segera bangun.
Tapi anehnya, ibu dan bapak mertuaku yang menunggui mas Dante, mereka bilang mereka tidak melihat gerakan apapun dari mas Dante. Padahal saat bersamaku mas dante sering sekali menunjukan gerakan-gerakan kecil, entah itu dari jari atau kedutan matanya.
"Mas, kamu kapan bangun? Kasian Pitto, dia kesepian nggak ada kamu di rumah." Dolores adalah kucing kesayangan mas Dante, kucing persia gendut yang sangat manja pada mas Dante.
"Kemarin dia sudah aku bawa ke salon untuk grooming. Tau nggak mas, dia berontak dan ngamuk, tangan aku sampai dicakar," kataku sambil memperlihatkan luka cakaran pada lenganku. "Nih! Perih yaa ternyata. Tapi tidak seperih luka yang kamu torehkan sih." Aku tertawa getir.
Selama mas Dante terbaring koma begini, akulah orang yang membersihkannya. Menyeka seluruh badannya, membersihkan kotorannya. Semua aku lakukan sendiri. Aku tidak membiarkan perawat di sini yang kebanyakan wanita melakukan itu pada mas Dante.
Aku juga yang menyuntikkan cairan makanan ke selang yang ada masuk kedalam mulut mas Dante. Hampir semua keperluan mas Dante aku yang melakukannya. Tidak masalah, aku tidak keberatan. Dia suamiku, kan? Seberapapun dia menyakitiku, dia masih suamiku.
"Mbak, ada tamu di Depan" Suara seorang perawat mengagetkanku yang sedang sibuk merapikan peralatan untuk membersihkan tubuh mas Dante.
"Saya segera keluar." Aku mempercepat gerakanku melipat handuk-handuk yang tadi kupakai untuk mengeringkan sisa-sisa air di tubuh mas Dante.
"Baik." Perawat itu pergi lebih dulu.
"Aku keluar sebentar ya, Mas." Aku mencium kening mas Dante sebelum beranjak keluar meninggalkannya sendirian lagi dalam ruangan yang sangat dingin dan bau obat-obatan ini.
*
"Revan!" sapaku dengan antusias saat melihat seorang laki-laki yang kukenal duduk di kursi ruang tunggu di depan ruangan ICCU.
"Lily," katanya saat dia melihatku, dia menyalamiku. "Lily, aku turut prihatin atas apa yang menimpa Dante, maaf aku baru pulang dari luar negeri, aku baru tahu kalau Dante kecelakaan. Kenapa kamu tidak menghubungiku sebelumnya? "
Revan adalah rekan bisnis mas Dante. Bukan, bukan cuma rekan bisnis, mereka bersahabat. Kebetulan aku juga mengenal Revan karena rumah neneknya yang bertetangga dengan rumahku. Revan sering berkunjung ke rumah neneknya, waktu kecil kami sering bermain bersama. Jadi, samai sekarang aku masih akrab dengannya.
"Bagaimana keadaanya?" tanya Revan.
"Dia belum sadar. Kata dokter kalau dia sadar kemungkinan akan mengalami masalah pada ingatan karena cedera yang dia alami di otaknya." Aku menghembuskan nafas keras.
"Ya Tuhan ... Separah itu?" gumam Revan dengan frustasi juga.
"Begitulah. Yang aku ingin saat ini hanya supaya dia segera bangun dari komanya."
"Semoga dia segera bangun, Ly," katanya. Lalu dia tersadar akan sesuatu. "Apa selama dia koma ada perempuan datang mengunjunginya?" Tanyanya pelan.
"Laura?" dugaku dengan cepat.
Revan nampak kaget dengan dugaanku, "Kamu mengenalnya?"
"Aku mengenalnya, aku juga tahu hubungan mas Dante dengan Laura." Aku menatap kearah Revan, menunggu responnya. Pasti dia akan bersikap prihatin padaku dan mencoba memberikan ketegaran untuku.
Tapi dia diam saja, dia hanya menatapku. Tatapan yang menyiratkan keprihatinan.
"It's okey, Van! Namanya juga perjodohan, Kan? Mungkin mas Dante belum siap menerimaku dan meninggalkan Laura. Aku cuma berharap suatu saat mas Dante bisa melupakan Laura dan menerimaku. Sementara ini aku akan mencoba bertahan."
"Kenapa kamu memilih bertahan?" tanya Revan. Matanya lekat menatapku.
"Karena dia suamiku!" jawabku tegas.
"Kamu mencintainya?" tanya Revan lagi.
Aku menarik nafas panjang untuk mengumpulkan kekuatan, untuk merangkai kata-kata agar tidak terdengar penuh kegetiran, "Tentu saja aku mencintainya, dia suamiku. Lagian kamu tahu kan kalau sahabatmu itu sangat tampan! Bagaimana aku tidak jatuh hati padanya? Bagaimana aku tidak jatuh Cinta?"
Reva mendengus kesal. Dia lalu mengacak-acak rambutku. Tenang saja, dia sering mencandaiku seperti itu kok. Masih mending cuma rambutku yang di acak-acak, biasanya dia tidak segan-segan untuk mentoyor kepalaku. "Dasar bodoh!" katanya.
Aku mendorongnya pertanda kesal. Tidak, aku tidak benar-benar kesal. Aku tidak pernah bisa kesal padanya.
"Aku ingin bertemu Dante," katanya sambil beranjak dari tempat duduknya. "Bolehkan?"
"Tentu, mari kuantar." Aku berdiri dan mulai menuntunnya ke ruangan mas Dante.
*
Aku menunggu di depan kaca pembatas ruangan mas Dante. Revan sedang berbicara pada mas Dante di dalam. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Suara Revan tidak bisa menembus kaca pembatas ini. Aku hanya melihat bahasa tubuh Revan, dia berkali-kali menggelengkan kepalanya, kemudian memijit pelipisnya seperti menahan sakit, lalu dia juga mengusap-usap wajahnya dengan telapak tangan secara kasar.
Cukup lama Revan di dalam sana, aku penasaran sekali sebenarnya apa yang mereka bicarakan. Apa aku perlu menayakannya nanti saat Revan keluar?
15 menit, akhirnya Revan keluar juga.
"Bagaimana? Apa mas Dante memberikan respon saat kamu bicara?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada." Revan menggeleng frustasi.
"Do'akan dia ya, semoga dia bisa bangun secepatnya," pintaku.
"Pasti," balasnya. "Ly, apa Laura tau keadaan Dante? Apa dia ada datang kesini?" tanya Revan.
Aku meneguk liur mendengar pertanyaan Revan. Sepertinya dia tidak tahu kalau mas Dante kecelakaan bersama Laura. Apa aku harus memberitahunya? Apa aku harus menceritakannya pada Revan?
"Mmm ... Mas Dante bersama Laura saat kecelakaan," kataku pelan.
"Hah?" Revan terlihat kaget. "Terus bagaimana keadaan Laura? Di mana dia?"
"Laura di rawat di ruang perawatan ibu nifas. Dia ... Keguguran, dia baru saja melakukan kuret, dia juga harus kehilangan kakinya karena luka yang parah banget," kataku lebih pelan dari sebelumnya.
"Apa?!" Kali ini Revan terlihat shock.
"Uumm ... Dia hamil karena mas Dante."
Aku mendengar Revan memgumpatkan kata-kata kotor dengan suara yang sangat pelan, seperti sebuah desisan sebelum dia bicara "Andai dia tidak terbaring di ruang ICCU, aku ingin sekali menghajarnya! Astaga, kenap aku bisa mempunyai sahabat sebrengsek Dante?"
"Revan! Jangan gitu!"
"Aku kesel banget, Ly. Kamu yakin mau bertahan sama dia?" tanya Revan.
"Tentu saja," pungkasku.
"Walau setelah dia bangun dia tetap menyakitimu?" tanya Revan lagi untu meyakinkan.
"Walau setelah dia bangun dia tetap menyakitiku." Ku harap kata-kataku bisa membuatnya yakin.
Cepat sekali, Revan membawaku kedalam pelukannya, aku terkejut. Dulu dia juga sering memelukku kalau sedang menenangkanku saat menangis. Tapi itu dulu, dulu sekali. Sekarang sudah beda, aku istri orang, apa pantas berpelukan dengan lelaki lain.
Aku bingung harus apa, jadi aku diam saja. Tidak melepaskan pelukan itu, tapi juga tidak membalas pelukan itu.
Tiba-tiba mataku yang melihat kearah bagian kaca ruangan mas Dante melihat tubuh mas dante bergerak kencang.
Aku mendorong Revan dan langsung berlari mendatangi mas Dante. Aku memang tubuhnya yang terus bergerak, gerakan itu kian cepat dan kian kuat. Aku panik, aku berteriak-teriak histeris memanggil perawat. Beberapa Perawat datang dan memeriksa tubuh mas Dante. Aku diminta sedikit minggir, aku menurutinya. Sekarang aku berdiri di pojok ruangan menyaksikan para petugas medis melakukan pemeriksaan untuk mas Dante.
Gerakan mas Dante semakin cepat dan bertambah cepat, gerakannya kuat sekali sampai beberapa kabel yang menempel di tubuhnya terlepas, jarum infusnya juga terlepas. Mas Dante bergetar hebat, para petugas medis berusaha menahan tubuh mas Dante.
Aku tidak tahan untuk tidak meraung saat melihat tubuh mas dante kejang-kejang. Iya mengeluarkan cairan secra spontan dari mulutnya.
Kenapa? Mas Dante kenapa? Apa yang terjadi padanya?
Aku meraung-raung memanggil nama mas Dante berkali-kali. Tangisku pecah menambah riuh suasana dalam ruangan ini.
Tiba-tiba suara pada monitor yang menunjukkan detak jantung mas Dante menimbulkan bunyi konstan dan datar. Aku melihat ada layar monitor yang menunjukan garis lurus.
Tidak ... Tidak ... Ini tidak benar! Monitor itu pasti salah.
Aku menatap mas Dante. Dia diam, dia tidak meronta-ronta lagi, dia tidak bergerak lagi.
"Mas Dante bangun!" Aku berteriak sangat kencang dengan tangis yang pecah.
Petugas medis mengeluarkan alat pemacu jantung. Seseorang berhitung lalu menekan alat itu pada dada mas Dante. Tubuh Mas Dante terangkat, tapi dia tidak bergerak. Petugas medis mengulangi menekan dada mas dante dengan alat itu sambil terus berhitung dan memberi aba-aba pada petugas medis yang lain. Tapi mas Dante tetap tidak bergerak. Dokter terus mengulangi sampai beberapa kali.
Lalu, gambar pada monitor yang tadinya berupa garis lurus berubah menyati berlekuk.
Dokter dan perawat di ruangan ini mengucap syukur dan menghembuskan nafas lega. Aku juga, aku mengucapkan syukur berulang-ulang kali.
*
Besoknya, keadaan mas Dante sudah stabil, dia sudah tenang, terlalu tenang bahkan. Tidak ada gerakan jari, tidak ada kedutan mata. Aku tidak tidur semalaman, hanya duduk di sampingnya, menunggunya.
Aku tidak pernah meninggalkannya sekalipun mertuaku datang, aku tidak mu beranjak keluar dari ruangan mas Dante, kecuali untuk ke kamar kecil. Aku melakukan sesi buang air dengan secepat yang aku bisa. Aku tidak ingin meninggalkan mas Dante terlalu lama.
Dokter bilang, mas Dante sudah melewati masa kritisnya, keributan yang terjadi tadi malam adalah fase histeria yang harus di lalui mas Dante. Dokter bilang, kemungkinan mas Dante akan bangun sebentar lagi.
Semoga.
Tapi mas Dante tidak kunjung bangun. Mas Dante tidak kunjung bergerak.
Sampai di suatu pagi hari kedelapan. Aku yang saat itu baru saja terlelap karena semalaman suntuk bergadang, di kejutkan dengan gerakan tangan mas Dante yang ada dalam genggamanku.
Bukan sebuah gerakan kecil, tapi gerakan seperti ingin mengangkat tangannya.
Aku langsung menegangkan kepalaku yang sebelumnya telungkup di samping tangan mas Dante.
"Mas Dante," kataku pelan.
Aku menatap ke wajahnya, dia berusaha membuka matanya.
Berhasil!
Matanya terbuka! Terima kasih Tuhan, setelah sepuluh hari mata itu terpejam, akhirnya kini terbuka, aku bisa melihat bola mata hitam mas dante yang besar itu lagi.
Bibirnya, bergerak seperti inging berbicara.
"Mas Dante!" ucapku penuh haru.
~Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
pinnacullata pinna
semoga ga apa2 deh
btw aku mampir dan memberikan like dukung juga novelku cinta adalah sebuah perjalanan yang indah 🙏☺️
2021-01-11
0
Decha Fransh
wow.....😭😭😭
2021-01-06
0