Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini salah atau benar. Aku masih bertahan di rumah besar ini, bertahan menjalani hidup sebagai seorang istri yang tak pernah dicintai suaminya sendiri.
Kukira enam bulan cukup untuk membuat Mas Dante menerima kenyataan bahwa akulah istri sahnya. Bukannya Laura.
Sejak malam itu, ini adalah malam ketiga Mas Dante tidak pulang ke rumah. Pernah aku mencoba menghubunginya, namun yang kudapat hanya omelan dan cacian dari suamiku sendiri.
Salahkah aku menanyakan keadaannya? Salahkah aku menanyakan keberadaannya?
Aku berusaha tenang, tapi aku tidak bisa tenang. Bagaimana seorang istri bisa tenang jika dia tahu bahwa suaminya pergi berhari-hari ke apartemen wanita lain?
Kupandangi ponselku yang menampilkan nomor kontak mas Dante di layar.
"Telepon tidak, ya?" Aku bergumam sendiri dengan suara pelan.
Lama aku terdiam menatap kosong pada ponselku. Berharap Mas Dante menghubungiku. Tapi rasanya sangat tidak mungkin.
Enam bulan kami bersama, Mas Dante tidak pernah meneleponku sama sekali saat kami sedang tidak bersama. Bayangkan! Tidak usah bertanya bagaimana komunikasi kami yang terjalin saat kami bersama-sama dalam rumah ini. Juga hampir tidak ada pembicaraan berati. Dia lebih banyak diam, sekalipun aku berusaha membuka percakapan dengannya atau sekedar berbasa-basi menanyai tentang 'bagaimana hari yang dilaluinya’.
Akan kuceritakan sedikit bagaimana kami bisa menjadi pasangan suami-istri.
Mas Dante menikahiku karena sebuah paksaan dari ayahnya. Dulu Ayah Mas Dante punya perusahaan yang lagi collapse. Beliau ditipu habis-habisan oleh rekan bisnisnya, sementara hutang-hutangnya pada para investor terus membengkak. Ayah Nas Dante hampir dijebloskan ke penjara karena dianggap melakukan penipuan.
Lalu papahku yang waktu itu sedang di anugerahi rezeki yang berlimpah karena hasil kerja kerasnya, dengan suka rela menawarkan pinjaman uang yang sangat besar pada ayah Mas Dante. Uang itu cukup untuk membayar hutang ayah Mas Dante kepada para investor, juga cukup untuk modal ayah Mas Dante memulai kembali usahanya.
Sekarang usaha yang dirintis ulang oleh ayah mas Dante kembali berjaya. Mas Dante diberi kekuasaan penuh oleh ayahnya untuk mengelola perusahaan real estate yang sekarang sangat berkembang pesat.
Dari situ, ayah Mas Dante merasa sangat berhutang budi pada papah. Padahal ayah Mas Dante sudah membayar secara penuh nominal uang yang dulu dipinjamkan papah pada beliau. Namun ayah Mas Dante masih merasa itu tidak cukup untuk membalas betapa besarnya jasa papah pada keluarga mereka.
Jadilah, beliau memaksa Mas Dante untuk menikahiku. Awalnya aku juga tidak terima, aku kesal sekali saat tahu kalau aku dijodohkan. Aku bukan wanita introvert yang tidak bisa mencari cowok sendiri, aku sama saja seperti wanita kebanyakan, hanya saja memang waktu itu aku terlalu fokus dengan study S2-ku sehingga aku melupakan urusan percintaan. Mungkin saat itu papah dan mama mengira aku tidak laku. Atau entahlah.
Kami tidak saling mencintai sebelumnya. Saat itu aku mengerti kalau pernikahan kami akan terasa sulit. Tapi aku tidak pernah menyangka akan sesulit dan semengerikan ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan sekarang aku mulai mempunyai rasa cinta pada Mas Dante. Sedangkan dia? Dia masih sibuk dengan kekasihnya yang bertahun-tahun dia cintai jauh sebelum mengenalku.
Suara bel dari pintu depan rumah menyadarkanku dari lamunan tentang Mas Dante.
Aku terlonjak kaget. Siapa itu yang datang malam-malam begini? Apakah Mas Dante? Kuharap itu Mas Dante.
Aku bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Dengan semangat aku berlari menyusuri rumah besar kami. Sudah tidak sabar rasanya untuk bertemu Mas Dante, tidak sabar untuk melihat wajah tampan suamiku.
Saat aku membuka pintu, aku kecewa ternyata bukan suamiku yang berdiri di baliknya. Melainkan dua lelaki besar, yang satu tampak garang dengan jaket kulit hitamnya dan yang satu lumayan tampan dengan seragam berwarna coklat.
Polisi? Untuk apa polisi ke rumahku malam-malam begini?
"Selamat malam, dengan ibu Lily Rose?" tanya laki-laki berjaket kulit.
"Iya saya sendir," jawabku dengan ekspresi bingung.
"Apa benar Bapak Ardante Mahendra adalah suami Ibu?"
Aku merasakan kegugupan menyergapku. "Ya, benar. Itu nama suami saya."
"Kalau begitu Ibu bisa ikut kami sekarang?"
Aku terkejut, maksudnya apa? Aku mau dibawa ke mana? Suamiku kenapa?
"Ke ... ke ... napa? A ... ada ... apa? Sss ... su ... suami saya mana?" tanyaku terbata-bata. Aku seperti merasakan cekikan hebat di leherku sampai sulit sekali rasanya untuk berkata-kata.
"Mobil suami Ibu mengalami kecelakaan tunggal dan jatuh ke jurang. Sekarang suami Ibu dan teman wanitanya sudah dievakuasi ke rumah sakit. Mari ikut kami sekarang."
Aku merasakan lantai yang kupijak berubah menjadi cair. Aku kehilangan keseimbangan untuk mempertahankan posisi berdiri. Aku merosot ke lantai. Rasanya ingin berteriak dan menangis. Tapi aku tidak bisa.
Dua polisi itu membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju mobil.
Di perjalanan, aku masih tidak mampu menemukan kata-kata. Aku ingin bertanya banyak hal, tapi tidak bisa merangkainya menjadi sebuah kalimat. Yang kulakukan hanya diam dengan ketakutan yang menyelimuti sepanjang jalan.
Waktu kami sampai di rumah sakit, rasanya kakiku masih lemas untuk bisa berjalan dengan benar. Polisi yang berseragam coklat itu memegangiku sepanjang jalan koridor rumah sakit. Sedangkan yang berjaket kulit berjalan selangkah di depan kami sebagai penunjuk jalan.
Aku dibawa ke ruang Operasi. Di sana aku bisa melihat Ayah dan Ibu mas Dante duduk di kursi dengan wajah tak kalah khawatir. Mata ibu mertuaku juga sembab, sepertinya beliau habis menangis.
Dengan tergesa aku menghampiri ibu mertuaku, dan duduk di sampingnya "Mas Dante mana, Ma?" tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu mertuaku langsung membawaku ke dalam pelukannya. Beliau memelukku erat, beliau menangis terisak-isak di dalam pelukanku.
"Maafkan Dante, Ly. Maafkan dia ... Mama mohon maafkan suamimu?"
Aku tidak mengerti kenapa beliau berkata demikian.
"Dante pergi bersama Laura. Laura itu ...." Beliau tidak mampu melanjutkan perkataannya.
Apa beliau ingin memberi tahu kepadaku kalau Mas Dante punya hubungan dengan Laura? Aku sudah tahu. Bukan itu yang ingin kubahas, aku cuma ingin tahu bagaimana keadaan suamiku.
"Mas Dante di mana?" tanyaku sekali lagi.
Ibu mertuaku tidak bisa menjawab, dia menangis terisak-isak.
"Dokter sedang menanganinya." kata ayah mertuaku. "Semoga dia berhasil melewati masa kritisnya agar dia bisa membayar kesalahannya padamu."
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
Ayah mertuaku tidak menjawab pertanyaanku lagi, dia hanya menggeleng frustrasi sambil menekan dahinya.
Lama kami menunggu sampai akhirnya lampu yang menujukan bahwa operasi telah selesai menyala.
Kami bertiga langsung berdiri, menunggu dokter keluar dari ruangan operasi dengan tegang.
Dokter keluar, dia lalu menghampiri kami dan bicara pada kami tentang keadaan mas Dante.
"Pasien mengalami cedera leher dan kepala. Yang paling parah di bagian kepala, lebih tepatnya cedera di bagian otaknya. Kemungkinan pasien akan kehilangan ingatannya atau amnesia. Untuk amnesia jenis apa, nanti bisa kita ketahui setelah pasien sadar. Saat ini pasien sedang mengalami koma, kami akan membawanya ke ruang ICCU untuk mendapatkan penanganan yang tepat."
Aku merasakan seperti ada petir menyambar dalam kepalaku. Suamiku mengalami koma? Yang aku tahu koma adalah situasi di antara kehidupan dan kematian. Tidak-tidak! Suamiku tidak boleh mati, aku belum membahagiakannya. Tuhan tolong jangan ambil suamiku, kami belum sempat bahagia, Tuhan ku mohon.
Saat mas Dante dibawa keluar dari ruang operasi, aku bisa melihat wajah tampan mas Dante yang di penuhi luka-luka memar. Di kepalanya ada luka yang sepertinya mengeluarkan darah, aku bisa melihat dari bercak darah pada perban yang membelit dahi sampai belakang kepala mas Dante.
Aku ikut mendorong ranjang mas Dante sampai ke ruang ICCU.
Di ruang ICCU, perawat memasangkan banyak sekali selang-selang dan kabel-kabel di tubuh mas Dante. Satu selang dimasukkan ke dalam mulut mas Dante. Katanya ini untuk membantu mas Dante makan.
Kabel-kabel yang menempel pada dada mas Dante tersambung pada sebuah monitor. Monitor yang di pakai untuk melihat apakah masih ada kehidupan pada diri mas Dante. Tentu saja ada, mas Danteku masih hidup, dia pasti akan bangun secepatnya.
Aku sangat terkejut saat perawat memintaku membantu memasakan kateter ada saluran kemih mas Dante. Aku ingin menolak, tapi tidak bisa. Dengan kegrogian dan kegugupan yang luar biasa, aku membantu perawat memasangkan kateter itu.
Setelah 6 bulan pernikahan kami. Ini adalah kali pertama aku melihatnya.
Aku menghembuskan nafas lega saat proses pemasangan kateter itu selesai. Aku benar-benar gugup dan grogi, sampai-sampai aku merasakan ada gelitik aneh di perutku.
***
Dalam ruangan ini, cuma boleh ditunggui 1 orang saja. Aku dan kedua mertuaku bergantian untuk duduk di samping ranjang perawatan menemani mas Dante. Begitu terus sampai berhari-hari.
Sudah 5 hari mas Dante tidak kunjung sadar. Dia juga tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Hampir tidak ada gerakan sama sekali yang di buatnya.
Setiap giliranku yang menemani mas Dante, aku berbicara banyak hal padanya. Aku menyentuh tangannya, aku juga menciumi pipinya. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan padanya betapa aku menginginkannya, terkadang aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Setelah dia bangun, aku tidak akan bisa melakukan ini lagi.
"Mas, aku tidak tahu apa aku harus senang atau sedih dengan keadaanmu seperti ini. Aku senang karena aku bisa menyentuhmu seperti ini," Aku menggenggam tangannya lalu menempelkannya ke pipiku. "Tapi aku juga sedih karena melihatmu menderita dengan banyak kabel-kabel di tubuhmu. Kamu jadi terlihat seperti robot." aku tersenyum sambil menitikkan air mata.
Aku mengecup tangannya yang tadi ku tempelkan di pipi. "Menurutmu aku harus bagaimana, Mas?" aku tersenyum getir padanya.
Tiba-tiba aku merasakan jari telunjuk mas Dante yang ku pegang bergerak. Aku langsung berteriak memanggil suster. Ini gerakan pertamanya setelah 5 hari dia diam bagai mayat.
Suster datang untuk memeriksa keadaan mas Dante.
Aku di minta keluar ruangan dan melihat dari balik kaca.
Mertuaku datang, dia panik melihat mas Dante yang digerumbungi para petugas medis begitu.
"Dante kenapa?" tanya ibu mertuaku.
"Tadi telunjuknya bergerak, Ma. Pas aku cium tangannya."
Ibu mertua kumenangis, beliau lalu memelukku. Beliau lagi-lagi mengucapkan maaf untuk mas Dante berulang-ulang kali.
Untuk apa?
"Lily, anakku. Kumohon apa pun yang terjadi pada Dante saat dia bangun nanti, kamu jangan meninggalkannya ya. Kumohon jangan tinggalkan dia."
Aku menatap lekat pada ibu mertuaku. "Aku tidak akan meninggalkannya Ma. Tapi bagaimana jika dia yang meninggalkanku? Bagaimana jika dia tetap memilih wanita itu? Apa aku harus tetap bertahan?" Ah ... akhirnya keluar juga unek-unek yang aku pendam selama ini?
"Kamu tahu tentang hubungan Dante dan Laura?" kata ibu mertuaku dengan nada shock.
"Aku tahu, Ma, aku tahu semuanya. Sejak awal pernikahan kami, mas Dante bilang kalau dia tidak mencintaiku dan tidak akan pernah mencintaiku. Dia mencintai Laura."
Ibu mertuaku memelukku lagi, dan menangis tersedu-sedu lagi. "Maafkan anakku, maafkan Dante." katanya berulang-ulang.
"Aku selalu memaafkannya, Ma, aku memaafkannya setiap hari,” kataku sambil menghapus air mata beliau dengan jariku. "Ma, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Silakan sayangku."
"Bagaimana keadaan Laura? Di mana dia sekarang? Apa dia masih hidup?"
~Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Arra Shafana
lanjut
2021-01-05
1
pinnacullata pinna
halo kak aku tadi dsh mampir dah like juga tp kok hilang ya? bingung aku 😅
btw aku mampir dan memberikan like dukung juga novelku cinta adalah sebuah perjalanan yang indah 🙏
2020-12-28
1
Sasaaaa_~
Lanjut kakkk, penasaran sama kelanjutan ceritanya...
Ceritanya bagus banget, aku udah baca + boom like + coment. Tetep semangat ya nulisnya ^^
Jangan lupa baca juga cerita aku judulnya 'BUTTERFLY EFFECT' yaaa
2020-04-02
1