Sarah merasa haru atas kebaikan Qiandra. Selama mereka bersama, Sarah hanya menjalankan fungsinya sebagai teman berbicara dan teman berbagi kesedihan bagi Qiandra. Namun Ia tidak menyangka teman yang usianya empat tahun lebih tua darinya itu akan menganggap semua sebagai suatu kebaikan yang harus Ia balas. Apalagi secara finansial, Ia belum pernah membantu Qiandra dalam bentuk itu.
"Mbak, tapi...," belum sempat Ia berargumen, Qiandra memotong pembicaraannya.
"Mbak enggak mau dengar penolakan dari Kamu. Kamu pikirin Mama, lakukan semua demi Mama oke. " Qiandra meyakinkan Sarah.
Sarah pun luluh, Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan terisak. Bulir bening dari netranya lolos begitu saja, tidak dapat dibendung lagi.
"Makasih Mbak, udah menjadi malaikat penolong bagi Kami. Makasih, hiks...," isaknya kecil.
Lantas keduanya berpelukan, tidak perduli bahwa kini mereka berdua menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung kafe tersebut. Mereka pun berjanji akan bertemu dan bertukar nomor telpon.
Setelah berhasil meyakinkan Sarah pun, keduanya berpisah dan kembali ke tempat masing-masing. Sarah kembali bekerja sedangkan Qiandra sudah kembali ke ruangan di mana Ia berkumpul dengan yang lainnya.
...***...
"Ma, Qia boleh nitip Qiara enggak buat dianterin pulang ke Mbak?" tanya Qiandra pada Mama Renata ketika mereka sudah bersiap-siap akan pulang.
"Kamu mau kemana, Sayang?" Mama Renata balik bertanya.
"Tadi Qiandra ketemu teman semasa Qiandra kerja di sini Ma. Mamanya sakit stroke dan Qiandra mau lihat kondisi Mamanya. Mereka cuma tinggal berdua Ma, sementara dia kerja di sini." Qiandra menceritakan sedikit tentang Sarah pada mertuanya itu.
"Kasihan sekali, siapa nama teman mu itu Nak?" Mama Renata kembali bertanya.
"Namanya Sarah, Ma. Kasihn sekali dia. Papanya seorang pengusaha tapi pergi meninggalkan mereka demi wanita lain. Ketika Qiandra bekerja di sini, dia memiliki seorang adik perempuan berkebutuhan khusus. Namun tadi Qia dengar adiknya meninggal empat bulan yang lalu dan sejak itu Mamanya kena stroke." Qiandra menjelaskan dengan rinci.
"Pegawai yang tadi menyapa Kamu, ya?" tanya Mama Renata lagi dibalas anggukan cepat oleh Qiandra.
"Mama lihat dia masih muda, namun sayang sekali harus berjuang sekeras itu." Mama Renata tampak menghela nafasnya berat. "Ya sudah, Mama bawa Qiara ke rumah aja yah, nanti Kalian jemput. Kasi tau Si Mbak buat bawa keperluan Qiara ke rumah Mama ya!"
"Beneran enggak ngerepotin nih kalau Qiara di rumah Mama?" Memastikan kesiapan Mama Renata.
"Iya enggaklah. Mama seneng ada Qiara di rumah. Sudah tua begini maunya selalu ngumpul sama anak sama cucu. Makanya Kalian harus sering datang ke rumah supaya Mama dan Papa nggak kesepian," ucap Mama Renata.
"Iya Ma, nanti kalau Qiandra dan Mas Barra punya waktu, Kami sering-sering main ke sana." Qiandra tersenyum meskipun di dalam hatinya Ia merasa menyesal.
Selama ini, Ia terlalu sibuk mengurus rumah hingga Ia melupakan kewajibannya bersilaturrahmi ke rumah mertuanya. Memang selama ini, Mama dan Papa yang lebih sering ke rumah mereka. Apalagi jarak rumah mereka yang tidak terlalu jauh.
Kini mereka semua sudah keluar dari kafe Erlan. Sementara itu, Erlan dan Ayahnya masih tinggal di sana. Wilson dan Andin sudah berpamitan pergi terlebih dahulu, begitu juga Mama dan Papa yang membawa serta Qiara.
"Kalian akan pergi ke suatu tempat?" David bertanya pada Barra.
"Qiandra akan menjenguk Mama dari temannya." Barra menjawab singkat.
"Teman? Teman yang mana?" tanya David lagi melihat ke arah Qiandra
David belum sempat mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Seseorang muncul terlebih dahulu.
"Maaf, Aku kelamaan ya?" Tadi... Eh, Tuan kan pria yang tadi?" Memicingkan matanya, Sarah mencoba melihat lebih dekat.
"Kalian sudah saling mengenal?" tebak Qiandra yang dijawab gelengan kepala oleh kedua orang yang dimaksud.
"Tidak!" Keduanya menjawab bersamaan.
Qiandra tertawa."Kalian sangat kompak!" ucapnya spontan membuat keduanya salah tingkah. "Katakan padaku, bagaimana bisa sampai Kalian saling mengenal, Hmmm?" selidik Qiandra.
"Aku tidak ...!" Lagi-lagi bibir mereka mengucapkan kalimat yang sama menciptakan kecanggungan di sana.
"Tadi di perjalanan kemari, Aku hampir menabrak seseorang dan orang itu adalah dia!" ucap David seraya menunjuk Sarah dengan mengarahkan matanya.
"Apa? Kau tidak apa-apa, Ra?" tanya Qiandra khawatir.
"Aku baik-baik saja Mbak," jawab Sarah ramah tersenyum ke arah Qiandra.
"Bagaimana Kalau Kita berangkat sekarang? David, Kau ikut?" tawar Barra kemudian.
David seperti menimbang sesuatu, lalu Ia mengangguk. "Baiklah, Aku ikut!"
Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya diputuskan Sarah dan David pergi bersama, sementara Barra dan Qiandra dengan mobil lainnya.
"Jadi, siapa namamu sebenarnya? Ara? Rara?" tanya David memecah kecanggungan mereka berdua di dalam mobil.
"Huh? Nama?" tanya Sarah kembali.
David mengangguk. "Iya, namamu Nona!"
"Nama Saya Sarah, Tuan!" jawab Sarah kikuk.
"Oh, Sarah. Ya, baiklah. Aku David, senang berkenalan denganmu, Sarah!" David melempar senyuman manisnya pada Sarah dan dibalas satu anggukan kecil oleh wanita itu.
"Belok kanan, lalu berhenti di depan gang itu Tuan. Mobil tidak bisa masuk ke gang, tapi rumahku tidak jauh dari sini. Rumah dengan cat kuning itu!"
David mengangguk seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan setelah melewati gang yang di maksud. Keduanya lantas menanggalkan sabuk pengaman mereka masing-masing. Semenit kemudian, mereka sudah membuka pintu mobil dan bergegas keluar dari sana.
Sarah melihat mobil yang ditumpangi Barra dan Qiandra juga sudah menepi. Tak lama keluarlah sepasang suami istri itu dari mobil. Sarah tersenyum tepat saat netranya menangkap netra Qiandra.
"Emmm, Mbak tapi maaf ya rumah Aku enggak seperti rumah-rumah pada umumnya. Enggak ada furniture apapun di rumah. Apa suami Mbak dan Tuan David mau ikut ke dalam?" Sarah menghampiri Qiandra lalu berkata lirih. Netranya seolah mengisyaratkan kegusaran. Setidaknya itu yang dilihat Qiandra.
"Kau berlebihan Nona, Aku dan Barra, Kami bukan orang seperti itu!" celetuk David dari belakang Sarah. Ternyata Ia mendengar pembicaraan Sarah dan Qiandra. Sarah tersentak kaget, refleks menoleh ke belakang.
"Maaf, Aku tidak bermaksud seperti itu. Baiklah kalau begitu Ayo!"
Menggandeng lengan Qiandra, Sarah lanjut bergegas memasuki Gang sempit yang hanya bisa di lewati motor itu. Tepat di depan rumah kuning yang warnanya sudah memudar, mereka berhenti.
"Kalau dipikir-pikir, David dan Sarah cocok juga! Tapi Sayang, usia mereka terpaut jauh." Qiandra bergumam dalam hatinya sambil senyum-senyum sendiri.
"Mbak, silakan masuk!" ucap Sarah yang sudah melepas gandengan sejak tadi karena memasukkan anak kunci pintu rumahnya.
Pintu itu sudah terbuka lebar dan David, Barra serta Qiandra dapat melihat isi dalam rumah Sarah seketika. Meski sederhana, rumah itu terlihat bersih terawat. Hanya ada satu buah meja kecil di dalam, lalu satu buah tikar plastik yang buru-buru Sarah kembangkan.
Ketiga orang yang ada di sana menjejaki rumah sederhana kontrakan Sarah. Udara panas dan pengap sebab satu-satunya jendela tempat keluar masuk angin hanyalah pintu dan jendela depan. Rumah ini berbatasan dinding dengan rumah kiri dan kanannya.
Ketiganya seketika canggung, duduk lesehan beralaskan tikar plastik. Qiandra menatap Barra dan David lalu seolah tahu kekhawatiran Qiandra keduanya tersenyum menandakan mereka baik-baik saja.
"Maaf Mbak, Aku cuma punya Air putih. Silakan di minum. Panas Mbak, maklum enggak ada AC." Sarah menampilkan wajah sesal.
"Ra, Kamu gak perlu repot-repot begini. Kami biasa aja kok, Kamu jangan sungkan ya!" Kata-kata itu membuat Sarah sedikit tenang.
"Oh ya, Aku lihat Mama dulu ya Mbak?"
Qiandra mengangguk disusul Sarah yang berjalan ke arah kamar Mamanya. Begitu Ia menyibakkan pintu. tampak Mamanya sedang memejamkan mata. Sarah menghampiri Sang Mama lalu berbisik.
"Ma, ada Mbak Qiandra datang jengukin Mama," ucapnya lembut di telinga Mamanya namun tak ada respon.
"Ma," panggilnya menggoyangkan bahu Mamanya.
Sarah bergeming di tempatnya. Memperhatikan perut Mama yang bergerak ketika bernafas, lalu berpindah ke mata, mulut lalu...
"Ma, bangun Ma. Bangun! Mama kenapa?" teriaknya sedikit agak kencang hingga dapat terdengar oleh orang yang ada di luar kamar.
Seketika Qiandra, Barra dan David menyusul Sarah yang ada di kamar. Mata Sarah sudah berkaca-kaca menatap berita yang baru saja Ia lihat dari siaran televisi yang tergantung di salah satu dinding kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ibunya anak- anak💕
Mudah"an secepatnya bisa rutin up ya othorku Zheyenk...❤❤❤❤❤❤
sehat selalu dan semangat terus💪💪💪💪💪💪💪💪💪😘😘😘😘😘
2021-11-14
2
Imoest Yaya
sering update please😀
2021-11-14
1