Setelah kejadian itu, hubungan Pak Nurdin dan Naima semakin dekat. Mereka bagaikan Ayah dan anak. Nana sering berkunjung ke rumah Pak Nurdin untuk bermain atau hanya sekedar ingin memastikan bahwa ayah dari sahabat nya itu baik-baik saja. Dia ingin menjaga Pak Nurdin sesuai permintaan sahabat terbaiknya.
Hubungan kedua keluarga itu kini semakin erat, tidak ada sekat penghalang menyatunya kedua keluarga tersebut, walaupun tanpa sebuah ikatan yang diharapkan.
Kondisi ayah Naima sudah membaik, ia bahagia melihat kondisi putrinya kini sudah kembali ceria, tidak seperti minggu-minggu lalu. Beban dipikirannya pun berkurang, ternyata kejadian menolak lamaran itu tak sesuai dengan pikiran buruknya. Dan sekarang malah berbuah manis, hubungan ia dengan sahabatnya itu malah semakin erat.
-
“Hallo ... Assalamualaikum Pak,” ujar Naima menjawab panggilan telpon yang berasal dari Pak Nurdin.
“Waalaikumsalam Nana. Gimana kabarmu Nak? Ayah Ibu mu sehat?” Tanya Pak Nurdin di sebrang sana.
“Alhamdulillah kita semua disini sehat pak. Gimana kabar Bapak?” Tanya Naima.
“Alhamdulillah Bapak sehat Nak. Hari ini kamu sibuk gak?”
“Untuk hari ini Nana gak sibuk Pak, kan libur kerja. Emang kenapa?” Sahut Naima sambil mengeringkan rambut dengan handuk, karena ia baru saja selesai mandi.
“Bisa antar Bapak ke perkebunan karet yang ada di Ci Jangkar Na? Biasa rutinan setiap minggu Bapak harus memantau perkebunan disana.” Jelas Pak Nurdin di seberang sana. Ia meminta Naima untuk menemaninya memantau perkebunan teh yang dikelola sepupu dari almarhum istrinya.
“Inn Shaa Allah bisa Pak, nanti pukul 9 Nana kerumah Bapak yah,” ucap Naima sambil menyisir rambut menggunakan tangan kanan.
“Gak perlu Na. Nanti Bapak ke rumah kamu aja, sekalian silaturahmi. Udah lama gak jumpa sama ayah kamu.” Terang Pak Nurdin dengan senyum hangat.
“Yaudah Pak, Nana tunggu di rumah aja yah.”
“Iya Na. Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam” Jawab Naima mengakhiri sambungan telepon dari Pak Nurdin.
-
“Pokoknya kamu harus melenyapkan wanita itu! Gimana pun caranya!” Perintah seorang wanita kepada 4 lelaki bertubuh besar berkulit hitam dengan tato penuh di lengan dan lehernya, serta banyak tindik di wajahnya.
“Siap bos, sesuai yang bos perintahkan!” Ucap salah seorang preman yang berwajah sangar. Mungkin ia preman yang paling berani diantara yang lainnya.
“Ini kesempatan kita setelah sekian lama, kamu lakukan tugasmu dengan baik seperti dulu. Mereka sekarang akan pergi ke perkebunan di Ci Jangkar, terus awasi mereka. Lalu eksekusi sesuai rencana. Kalian jangan sampai meninggalkan jejak, kalian harus membunuh wanita keparat itu! Biar hidupku tenang!” Ujar wanita itu dengan senyum sinis yang menyeramkan. Ia menatap ke empat anak buahnya, dengan tatapan tajam.
“Siap laksanakan bos!” Jawab serempak empat preman itu dengan senang. Karena mereka mendapatkan job yang bayarannya cukup besar.
Untuk melenyapkan nyawa seseorang, pekerjaan yang sangat mudah bagi mereka, karena itulah jenis pekerjaan mereka sebagai pembunuh bayaran.
“Awas kalian jangan sampai gagal! Saya sudah membayar kalian dengan sangat mahal!” ucap tajam mata itu menelisik satu persatu wajah preman itu.
“Kami janji, tidak akan mengecewakan bos. Tunggu kabar baik dari kami nanti!” ucap preman itu dengan percaya diri. Lalu ia tersenyum penuh dengan keyakinan, bahwa mereka dapat menghabisi targetnya itu.
“Ok saya tunggu kabar dari kalian! Jika kalian berhasil, saya akan tambah bayaran kalian.” Sahut wanita itu sambil siap-siap meninggalkan markas tersebut.
“Dengan senang hati bos.”
“Kalian ingat! Jangan sampai membunuh lelaki tua itu, tugas kalian hanya fokus pada wanita kampung itu! Kalian jangan sampai mencelakainya sedikit pun! Karena dia asset berhargaku, ATM berjalanku!” Ucap wanita itu berjalan meninggalkan markas itu dengan menenteng tas branded nya.
“Baik bos!”
-
Perkebunan teh milik Pak Nurdin sangat luas, dengan posisi yang strategis di bawah kaki gunung waleran. Setiap pendaki yang akan mendaki gunung waleran pasti melewati hamparan perkebunan teh milik nya itu.
Di perkebunan teh Pak Nurdin terletak pabrik yang lumayan besar, pabrik teh yang sudah lama beroperasi sejak zaman Belanda. Pemiliknya turun temurun dari kakek sampai ke cucu. Kebetulan Pak Nurdin keturunan generasi ke tiga penerus perkebunan itu atas wasiat kakek nya dulu sebelum meninggal. Dia sengaja memperbesar pabrik itu, agar memudahkan mata pencaharian masyarakat di bawah kaki Gunung Waleran, guna membantu perekonomian di desa tersebut dari gurat kemiskinan.
Keinginan Pak Nurdin. Agar masyarakat desa tersebut tak perlu bekerja jauh-jauh ke kota, mereka dapat memanfaatkan peluang usaha, bekerja di pabrik teh miliknya.
Tenaga kerja disana mengutamakan bapak-bapak dan ibu-ibu, karena di usia yang sudah tak produktif lagi, jarang orang yang menggunakan tenaganya tersebut. Pak Nurdin mengharapkan seluruh masyarakat di Ci Jangkar menjadi produktif dan berpenghasilan. Sehingga membantu pertumbuhan taraf ekonomi kampung tersebut.
Siang hari, Pak Nurdin bersama Naima baru saja sampai di pabrik teh tersebut. Mereka di sambut hangat oleh para karyawan yang sudah menunggu kedatangan mereka.
Pak Nurdin sangat di gemari karyawan nya, karena ia baik dan pembawaannya sederhana. Ia tidak menyombongkan diri dan bersikap semena-mena pada bawahan nya, walaupun ia pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.
-
“Bapak, boleh Nana pergi dari tempat ini? Nana bosan disini.” Ucap Naima kepada Pak Nurdin yang masih setia mengecek keuangan ditemani beberapa bawahan, diruang pribadinya.
“Emang kamu mau kemana Na?” Tanya Pak Nurdin melirik ke arah Naima, sambil merapihkan letak kacamata nya.
“Nana mau lihat-lihat perkebunan teh disini, soalnya Nana belum pernah.” Jawab Naima sambil tersenyum memandang Pak Nurdin.
“Yaudah, tapi bapak gak bisa temanii yah. Masih banyak berkas yang harus Bapak periksa,” ucap Pak Nurdin kembali melihat kearah berkas yang menumpuk di depannya.
“Iya pak gak papa, orang Nana udah besar ini. Jadi gak perlu Bapak antar hehe” Kelakar Naima sambil tersenyum.
“Yaudah, kamu ditemani sama nak Reza yah. Nak Reza tolong temani anak saya.” Pak Nurdin berbicara dua arah kepada Naima dan Reza. Reza merupakan salah satu staff kantor perusahaan teh tersebut.
“Baik pak.” Jawab Reza dengan tersenyum, lalu menunduk.
“Tapi menurut Nana gak usah deh Pak, takut mas nya lagi sibuk,” ucap Naima dengan perasaan tak enak melihat kearah Reza.
“Gak ada penolakan Nana, kamu diantar Nak Reza. Nak Reza kamu gak sibuk kan?” Tanya Pak Nurdin kearah Reza, menatapnya lembut.
“Kebetulan sekali tidak Pak.”
“Tuhh kan Reza gak sibuk Na. Kalian mainnya jangan jauh-jauh yah. Nak Reza saya titip anak saya, jangan sampai dia kenapa-kenapa!” Ucap Pak Nurdin menitipkan Naima kepada Reza, agar dia menjaga Naima jangan sampai terluka.
“Inn syaa Allah Pak. Mari Pak,” Pamit Reza menatap lembut kearah Pak Nurdin, lalu kearah Naima.
“Nana pergi dulu Pak,” Pamit Naima sambil mencium takdzim tangan Pak Nurdin.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam”
-
Naima dan Reza berjalan keujung perkebunan teh yang dekat dengan pegunungan. Mereka berjalan diselingi obrolan seputar Gunung Waleran. Mereka tak menyadari, bahwa mereka sudah berjalan terlalu jauh dari kantor perkebunan.
“Wah disini pemandangan nya indah juga.” Naima berjalan di depan Reza. Reza mengawasi Naima dari belakang.
“Sangat indah Nona.” Jawab Reza dengan senyum lebar.
“Jangan panggil saya Nona, panggil Nana aja. Saya bukan Nona kamu,” ucap Naima kesal, karena dari tadi Reza terus saja memanggilnya dengan sebutan nona.
“Saya gak enak nona,” ujar Reza mensejajarkan langkahnya dengan Naima
“Ishh Nana bukan nona. Aku risih mendengar nya!” Kesal Naima menatap tajam Reza
“Baiklah Nana” Sahut Reza sambil menundukkan wajahnya. Ia di buat kagum oleh pribadi sederhana Naima.
“Nahh gitu, biar enak di dengarnya dan bikin akrab.” Senyum Naima kearah Reza
“Sudah lama kamu kerja disini?”
“Lumayan lama, sekitar 5 tahunan. Ketika Nona Meira masih hidup. Saya sudah bekerja disini.” Terang Reza menyebut nama almarhum Meira, yang meninggal 2 tahun lalu.
“Emang usia kamu berapa?”
“Saya 24 tahun Na, kamu berapa taun?" Tanya reza menatap kearah Naima
“Aku baru 22 tahun, ternyata kita cuman beda 2 tahun yah.”
Sementara itu di pojok perkebunan teh, 4 orang mengawasi Naima dengan bersembunyi di bawah pohon besar di pojok perkebunan yang terlihat sepi.
“Sebentar lagi dia kesini! Loh siap-siap, tuhh liat dia kesini.” Instruksi preman paling sangar, yang di dapuk sebagai seorang bos.
“Ok bos, ayoo kita keluar.”
Empat preman itu keluar menghadang kearah Naima dan Reza, kebetulan posisi Naima dan Reza lumayan jauh dari kantor perkebunan.
“Siapa kalian??” Panik Naima menatap ke empat orang itu bergantian.
-
Bersimbing
Jangan lupa tinggalkan jejak♥️
Kuyy lah like, comment, sama vote nya. 🤗
Hatur nuhun
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Nani nanay
lnjuttt atuh thor meni sauted pisan gereget jadina....sing seur we update na ny thor meh puasss heeee
2022-10-26
2