“Ben!” pekik Rose seraya menutupi kedua daun telinganya. Ia dibalut oleh rasa terkejut juga ketakutan.
Seorang bawahan yang membawa koper miliknya pun melakukan hal yang sama di belakang punggungnya. Jantungnya seperti akan melompat dari tempatnya bernaung saat ini. Matanya terpejam ketakutan. Teman-temannya benar-benar cari mati!
Ketika Rose membuka matanya yang tadi tertutup rapat, ia melihat sebuah asap mengepul di tengah lapangan di hadapan mereka. Anggota Harimau Putih yang sedang berlatih di sana terlihat sudah menyingkir dengan cepat. Mereka meringkuk bersamaan dalam satu koloni.
Begitu asap terbawa angin, nampak sebuah lubang kecil di sana. Beruntung orang-orang itu memiliki refleks yang tinggi, sehingga masih bisa menghindar dari tembakan yang Ben layangkan.
Mereka bergumam-gumam, mensyukuri bahwa nyawa mereka masih terselamatkan. Akan tetapi karena hal itu, mereka pun semakin bertanya-tanya penyebab dari marahnya bos mereka.
Apa karena wanita itu? Apakah wanita itu begitu penting bagi bos mereka sehingga bos mereka terlihat sangat marah? Mereka bermain teka-teki dengan pikiran mereka sendiri.
Pria bertopi koboi itu masih menundukkan kepalanya. Aura suram yang dikeluarkannya membuat orang, bahkan Rose sendiri canggung untuk bertanya. Jadi saat ini, ia memilih untuk diam sebentar sambil menunggu ekspresi apa yang akan kekasihnya itu tunjukkan.
Petinggi Harimau Putih yang tadi menyambut Ben dan Rose di halaman parkir pun mendengar suara keras itu. Mereka segera membalikkan badan untuk meninjau situasi, termasuk Zayn dan Anggie.
Melihat awan gelap dan guntur menyambar di atas kepala Ben, mereka mencoba memahami situasi dengan cepat.
Relly yang menyaksikan hal ini di belakang pun segera mengambil langkah lebih dulu. Sepertinya hal ini terjadi dengan sebab yang sama dengan yang di halaman parkir tadi.
Dia mengetahui temperamen bosnya begitu baik. Menurut penilaiannya, jika ia tidak segera turun tangan, mungkin mata semua anak buahnya yang berada di sana hanya akan tinggal sebelah saja.
Meskipun terkadang konyol, lelaki itu masih bisa diandalkan dan dihormati. Dia mengangkat dagunya kepada rekannya yang lain, juga pada Anggie dan Zayn. Memberi instruksi dengan matanya.
Sebelum maju, dia juga menatap Rose. Kekasih bosnya itu lantas menganggukkan kepalanya setelah mengerti situasi. Rose ulas senyumnya yang tak berdaya ketika memandangi kekasihnya yang begitu posesif.
“Semuanya!” Ketika mengeluarkan suaranya yang keras, anggota Harimau Putih yang masih berada di sana dan tengah kebingungan pun menatap ke arah Relly.
“Berkumpul di lapangan tembak sekarang!” perintahnya sambil berlalu dan diikuti oleh petinggi Harimau Putih yang lain.
Tak lepas dari kebingungan, anggota yang lain pun mengekori Relly dan yang lainnya. Mereka bergegas sambil bertanya-tanya.
“Lapangan tembak?” Rose bertanya sendiri dengan suara teramat pelan.
Di depan matanya sudah nampak lapangan yang begitu luas dan berbagai alat untuk berlatih bela diri berbaris di pinggir garis.
Jadi masih ada lapangan yang lainnya lagi? Sebenarnya seberapa besar markas Harimau Putih ini? Matanya menampakkan jejak kekaguman. Dia semakin menantikan masa dimana dia dibawa mengelilingi tempat ini. Sepertinya sangat menarik!
"Sayang!” Rose mendesah manja sambil memeluk lengan lelaki di sampingnya.
Rose masih ingat tugas yang harus dia lakukan saat ini. Dia menyandarkan kepalanya ke lengan atas kokoh pria itu. Lantaran tinggi badannya hanya mencapai sebatas itu. Dia menggesek-gesekkan kepalanya di sana, bertingkah semakin manja. Seperti anak kucing kecil yang merindukan belaian induknya.
Orang yang membawa kopernya pun menganga melihat perubahan di wajah bos besarnya itu begitu cepat. Dia melihat bos besarnya itu segera mengangkat wajahnya dan menatap nona Rose dengan kelembutan. Meskipun belum hilang amarahnya yang sebelumnya.
Ia mengatupkan mulutnya dengan rapat-rapat, kemudian menelan ludahnya dengan kesusahan ketika melihat adegan selanjutnya.
“Pakai ini!” Ben melepas topi kebangsaannya dan meletakkannya di kepala Rose. Bahkan Ben sengaja menurunkan pinggiran topinya yang lebar, guna menutupi wajah cantik Rose.
Ia tidak rela berbagi wajah cantik itu dengan orang lain. Bahkan jika hanya mengagumi saja pun tidak boleh. Jangan harap!
“Ayo!” ajaknya masih dengan suara dingin yang kental. Kesalnya belum sepenuhnya hilang lantaran kekasihnya itu dipandangi oleh para anak buahnya secara berjamaah.
Rose membenarkan posisi topi itu agar terasa nyaman di kepalanya. Tapi dia tidak mengubah tata letaknya, Rose biarkan saja keinginan Ben seperti ini, agar lelaki itu puas. Kemudian dia ikut melangkah sambil menaikkan kurva di bibirnya.
Anak buah Ben yang membawa koper Rose pun mengikuti sambil merengek dalam hati. Sepertinya sekarang ia disiksa oleh adegan romantis yang terus berlanjut ini.
Dia sekarang mengerti, bahwa posisi Relly selama ini, yang selalu berada di sisi bos besarnya tidaklah mudah. Terlalu banyak siksaan yang mesti diterima.
***
Ben membawa Rose ke ruangannya. Ruangan yang biasa ia jadikan tempatnya bekerja, juga terdapat sebuah kamar di sana. Walau terkadang lelaki itu memilih untuk tidur di sofa panjang yang terdapat di ruang kerjanya itu.
Anak buahnya yang membawa koper milik Rose segera menghilang setelah mengetahui bahwa bos besarnya tak memberikan titah padanya lagi.
Bersyukur malah dia dalam hati, sebab akhirnya bisa melarikan diri!
“Jadi ini ruanganmu, hem?” Rose bertanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang cukup besar itu.
Terlihat seperti kantor seorang pengusaha. Namun kesannya segera berubah ketika matanya disajikan deretan senjata api terpajang di salah satu sudut ruangan. Mereka bertahta di dinding sana dengan jumawa.
Ben membiarkan Rose memindai seisi ruangan. Memperhatikan wanita itu menyentuh beberapa barang yang menarik perhatian dari kursi kerjanya yang besar dan nyaman.
Bibirnya tersenyum kecil. Siapa sangka jika pada akhirnya ia akan membawa seorang wanita ke dalam ruangannya yang kaku ini.
Meskipun beberapa kali dia pernah memanggil wanita bayaran, tidak pernah sekali pun ada yang menginjak ruangan pribadinya ini. Relly pasti akan menyiapkan untuknya satu ruangan lain. Atau paling-paling mereka berakhir di sebuah hotel.
“Kau akan belajar menggunakannya nanti!" seru Ben dari belakang meja kerjanya ketika melihat Rose menyentuh salah satu pistol yang menempel di dinding.
Ia lupakan perihal wanita-wanita itu. Itu adalah masa lalu. Rose tidak boleh mengetahuinya. Atau paling tidak, tidak sekarang!
“Benarkah?” Rose menoleh dengan kejutan di matanya.
“Aku sungguh menantikannya!” Suaranya terdengar senang dan antusias. Rose segera berjalan ke arah kekasihnya berada.
“Tapi sebelum itu, kau harus belajar bela diri lebih dulu!” Ben mengangguk di wajah tenangnya. Dia membenarkan hal itu, tapi tubuh Rose harus siap dulu untuk mempelajari hal yang lebih banyak lagi.
Menilai tubuh kekasihnya itu, Ben yakin jika Rose tidak memiliki dasar ilmu bela diri sama sekali. Makanya wanita itu sampai memiliki pengalaman pahit seperti itu. Tapi paling tidak, pada dasarnya Rose memiliki tekad yang kuat. Ben harap tekad itu akan Rose jaga dalam pengembangan dirinya nanti.
“Kau juga menyukai bunga?” jemari lentik Rose membelai kelopak bunga lili putih yang selalu hadir di atas meja kerja lelaki itu.
Ben tertegun sebentar.
Benar! Setelah bertemu dengan Rose untuk yang kedua kalinya kala itu, ia memang memerintahkan seseorang untuk selalu meletakkan setangkai lili putih segar di atas meja kerjanya. Ben melupakan hal ini!
“Iya!” jawab Ben sekenanya dengan suara lemah.
Ia masih malu untuk mengungkapkan hal ini kepada Rose. Sesekali pria itu melirik ke samping di saat Rose sibuk memperhatikan bunga lili putih yang terasa menyejukkan matanya di antara semua kekakuan ruangan monokrom itu.
“Aku jadi ingat pertemuan kedua kita!” Rose belum menoleh ketika mengucapkan kata-katanya. Dia masih sibuk memperhatikan setangkai bunga segar itu.
Dia malahan menceritakan bagaimana kala itu ia bertemu dengan Ben. Karena sudah bersedia membawanya untuk bertemu dengan Victor, kakaknya, maka dari itu Rose merasa harus berterima kasih kepada Ben.
Ia tak mempunyai apa-apa saat itu. Maka ketika melihat rangkaian bunga di meja, dia mendapatkan ide. Sebenarnya bunga lili yang Rose berikan hanya bunga acak yang ia ambil dari vas bunga yang terdapat di ruang tamu villa tempat mereka bertemu kala itu.
Uhuk! Uhuk!
Mendengar hal ini, Ben tiba-tiba tersedak di tenggorokannya. Ia pikir bunga itu bermakna spesial bagi Rose. Ternyata hanya bunga acak semata yang wanita itu raih dengan tangannya.
“Kau ... kau baik-baik saja?” tanya Rose khawatir sambil membantu mengusap punggung lebar kekasihnya.
“Tidak apa-apa! Aku tidak apa-apa!” Ditanggalkan segelas air putih yang selalu tersedia di sisi meja kerjanya.
Baiklah! Meskipun bunga lili putih itu tidak memiliki kesan spesial untuk Rose. Tapi baginya, baru kali itu ia mau menerima pemberian dari seorang wanita. Ben menekan sedikit rasa kecewanya.
“Jadi, bunga apa yang kau sukai?” Kemudian ia bertanya dengan penuh minat pada wanita yang kini tengah berdiri di sebelahnya.
“Sesuai namaku! Rose! Aku suka bunga mawar” jawab Rose cepat. Matanya menatap lurus sambil membayangkan dirinya memeluk sebuah buket besar bunga mawar merah.
“Oke!” balas Ben singkat.
Mulai besok dia akan memerintahkan seseorang untuk mengganti lili putih itu dengan beberapa mawar merah. Sepertinya akan terlihat lebih segar ruangannya itu dengan nuansa merah.
Melihat ekspresi aneh kekasihnya, Rose hendak bertanya. Namun ia urungkan sebab Rose merasa hal itu tidak terlalu penting untuk ia pertanyakan.
“Jadi ... kenapa kau marah tadi? Apakah karena cemburu pada bawahanmu sendiri?” tanya Rose setelah mengingat hal ini. Suasana hati Ben sudah bagus, makanya dia bertanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Wati_esha
Terima kasih update nya.
2021-10-26
0
Wati_esha
Susaaaah ... bawahsn sendiri dicemburui. 😜
2021-10-26
0