“Cium dulu, baru kau boleh turun!” pinta Ben dengan wajah datarnya. Tak lama seringai pun muncul.
“Kau ini!” Rose memukul bahu lelaki itu dengan wajah malu-malu.
“Baiklah!” Kemudian dia terkekeh sendiri. Harus Rose akui bahwa dia tidak munafik, dia juga selalu menginginkan bibir seksi kekasihnya itu.
Cup
“Begini saja sudah cukup, kan! Kalau begitu aku turun!” Rose tahu sebenarnya tidak akan ada kata cukup bagi mereka berdua setelah menyatukan bibir mereka. Jadi sebenarnya Rose hanya bermaksud untuk menggodanya saja.
“Mana mungkin cukup!” Pria itu menaikkan sebelah sudut bibirnya. Lalu segera Ben menyerang bibir Rose dengan gerakan bibirnya yang lihai.
Setelah menjalin hubungan beberapa lama ini, akhirnya Rose dapat menyeimbangkan diri ketika menautkan bibir mereka. Ben yang sudah profesional selalu membimbingnya dengan aktif.
Hingga adegan romantis seperti ini pun bisa berakhir cukup lama daripada sebelum-sebelumnya. Kadang mereka mengakhiri hal itu sampai bibir Rose bengkak. Dan setelah itu mereka tertawa bersama.
Tuk,, tuk,,
Seseorang mengetuk jendela kaca. Hal itu juga merupakan sebuah hilal, pertanda jika mereka harus menghentikan kegiatan mereka saat ini.
Keduanya menatap jendela mobil sambil menyeka sekitar bibir mereka yang basah. Cukup gugup, apalagi Rose yang mengira jika kegiatan mereka tadi sudah dilihat oleh orang lain.
“Relly!” Ben berdesis menahan kesal. Mengganggu! Tidak bisakah asistennya itu membiarkan dirinya merasa senang untuk beberapa saat lagi?!
Ketika Rose menoleh, bukan hanya ia melihat wajah Relly yang canggung, tapi juga sudah ada Baz dan Bervan tak jauh di belakangnya.
“Nona!” Relly menyapa Rose di luar mobil sambil meringis pada orang di sampingnya.
Tapi apa daya, memang ini nasibnya sebagai bawahan! Tuan Baz telah memerintahkannya untuk mengetuk jendela mobil, memberi peringatan bahwa waktu bermesraan mereka di dalam sana sudah habis.
Karena Baz tak ingin menyakiti matanya sendiri, akhirnya dia menjadikan Relly sebagai tumbal. Alibinya adalah ingin memegangi Bervan saja agar tidak hilang.
Jadi, sambil menenggelamkan kepalanya ke leher, Relly mengetuk kaca gelap jendela mobil itu. Dia memejamkan matanya kuat-kuat agar tak melihat hal yang tidak semestinya. Dan lagi sepasang mata berharganya ini bisa mendadak buta jika harus dipaksa melihat hal-hal seperti itu terus.
Baiklah, dia di tengah-tengah! Terpaksa dia menuruti perintah Tuan Baz. Bukan bermaksud berkhianat pada tuannya sendiri, tapi situasinya menuntutnya melakukan hal itu. Mereka harus segera pulang sekarang. Lagipula mereka semua belum makan malam. Dan perutnya sekarang sudah lapar.
“Ah, ya!” Sebenarnya yang canggung juga wanita itu. Rose gugup karena saat ini bibirnya masih terasa tebal dan lembab. Tak ingin dia orang-orang berpikiran aneh, meskipun kenyataannya begitu, sih!
“Bervan! Kau sudah mendapatkan gulalinya? Ayo, masuk!” Rose mengeluarkan pertanyaan retoris. Kemudian tangannya melambai mengajak anak kecil itu kembali ke dalam mobil.
Bervan setengah berlari menuju Rose yang sudah menantinya. Kemudian Baz menyusul. Ketika masuk, dia langsung menggelengkan kepalanya setelah sengaja menatap pria bertopi koboi di belakangnya! Benar-benar tidak tahu tempat!
Ben tak peduli! Dia mencibir dengan setengah bibirnya. Dia yakin, lelaki itu tidak akan mengeluhkan hal ini jika dia sudah menemukan pasangannya sendiri.
Di tengah perjalanan, mereka memutuskan untuk singgah di sebuah restoran. Sebelumnya di dalam mobil, tiba-tiba perut mereka berdendang bersamaan. Hal itu pun membuat seisi mobil dipenuhi oleh gelak tawa.
***
Dua hari pun berlalu, hari ini adalah hari yang Rose janjikan untuk mengajak Bervan pergi ke tempat yang dia inginkan. Karena begitu semangatnya, Rose sudah bangun pagi-pagi sekali juga sudah menyegarkan diri.
Melihat pantulan kaca, wanita itu mengacungkan jempol pada bayangan dirinya sendiri di sana. Dia sudah siap dengan celana jeans dan kaos putih yang agak kebesaran. Untuk momen ini, Rose memilih tampilan casual dilengkapi dengan sepatu sneakers dan juga tas selempang yang imut.
“Sudah siap! Ayo berangkat!” ajaknya pada dirinya sendiri di kaca. Dengan senyum riang, dia berjalan keluar kamarnya. Melihat ke jam beker di samping tempat tidurnya, sebenarnya ini masih pukul setengah tujuh pagi.
***
“Bervan... Ben... Baz... Relly!” Rose mengabsen dengan menyenandungkan nama mereka semua.
Setelah tiga kali memanggil dengan nada yang sama, akhirnya menyusut sudah kesabaran yang dia miliki.
“Bervan! Ben! Baz! Relly!” Sekarang dia berteriak dengan suara tegas seperti seorang komandan wanita yang sedang memanggil prajuritnya.
“Kemana mereka pergi?” tanyanya pada pelayan yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
“Saya belum melihatnya sejak tadi, Nona!” jawab pelayan itu sopan.
“Kemana Paman Alex?” Rose bertanya lagi. Ia yakin Paman Alex pasti tahu keberadaan keempat laki-laki itu saat ini.
“Paman Alex sedang menyiram tanaman di halaman belakang. Tapi memang sejak tadi kami tak ada yang melihat tuan-tuan. Mungkin saja mereka masih tidur, Nona!” Rose melihat ke arah pelayan itu menjelaskan keberadaan Paman Alex. Dan membenarkan kemungkinan yang dikatakan oleh pelayan itu mengenai keempatnya.
“Baiklah, terima kasih!” Dia tersenyum lalu berbalik pergi. Rose berpikiran bahwa memang para lelaki itu masih terjebak di alam mimpinya saat ini.
***
Ceklek!
“Ya, ampun!” Rose terperanjat kaget saat pintu yang ia tuju terbuka sendiri dari dalam. Padahal ia belum memutar kenop pintunya. Lalu Relly muncul dari balik kusen pipih itu. Dengan mata panda juga wajah dan rambut yang sama kusutnya.
“Selamat pagi, Nona!” sapa Relly setengah sadar sambil menahan diri untuk menguap kembali. Rasanya masih sangat mengantuk dan matanya berat sekali untuk terbuka lebar.
“Pagi... “ Nada suaranya melemah saat Relly kemudian dengan acuh melewatinya begitu saja.
Padahal Rose belum bertanya apa pun. Mengapa Relly keluar dari kamar kakaknya?! Yang sementara ini ditempati oleh Bervan bersama Ben dan Baz yang memang bertugas menemani anak kecil itu di kala malam.
Rose menoleh ke arah Relly pergi dengan wajah mengantuknya. Ternyata laki-laki itu melanjutkan tidurnya lagi di atas sofa. Relly membanting dirinya dengan keras seolah lemah tak berdaya. Rose tidak mempedulikannya lagi, ia meneruskan langkahnya masuk lebih dalam di kamar itu.
“Kalian!” Sejenak dia tertegun melihat pemandangan ini.
Baz tidur terduduk di lantai. Sedangkan Ben, benar memang dia tergeletak di tempat tidur, namun posisinya serampangan. Yang membuatnya henyak dalam diam adalah mereka berdua sama-sama memegangi tangan Bervan yang terbaring pucat. Sebuah sapu tangan ditempatkan di dahi keponakannya.
***
“Sepertinya tadi aku bertemu dengan Nona Rose!” gumam Relly tidak jelas saat dia masih setengah sadar di atas sofa. Saat ini dia memang tengah mengumpulkan nyawanya untuk bersatu kembali.
“Nona Rose!” gumamnya lagi sambil menggaruk beberapa bagian tubuhnya. Matanya masih setengah terbuka.
“Nona!” Dalam sepersekian detik dia bangun dan mendudukkan diri. Kesadarannya ditarik paksa sampai ia membuka matanya lebar-lebar.
“Aduh! Aku lupa memberitahu Nona!” Lalu kedua tangannya menggaruk kepalanya dengan gusar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments
Gia Gigin
lanjut
2021-11-23
0
Wati_esha
Hmm Bervan demamkah? Mereka tidak berani
minta tolong pada Rose? 🤔
2021-10-15
0