“Tadi itu hampir ... kalau bukan karena gue, cewek loe mungkin bisa cacat seumur hidup!” ujar Bisma dengan tegas.
Morgan terlihat sedikit menghela napasnya.
“Sorry. And, thank you!” jawab Morgan yang tak kalah tegas.
Ara hanya bisa memperhatikan mereka yang sedang bertikai, tak tahu memperebutkan apa.
“Gue gak ada niat sedikit pun, buat ngerebut cewek loe ...” lirih Bisma, “tapi kalau dia ngasih celah, why not?” lanjut Bisma.
Ia tersenyum licik dan berjalan pergi. Morgan menoleh ke arah sampingnya lalu membuang muka padanya.
Bisma tiba-tiba menghampiri Ara, kemudian memberikan secarik kertas padanya.
“Call me, ya?” gumam Bisma dengan nada yang nakal, sembari mengelus rambut Ara dan memberikan kertas tersebut.
Ara mengambilnya dalam keadaan setengah sadar, kemudian Bisma bergerak meninggalkannya bersama Morgan.
Ara diam, tak bergeming.
Morgan terlihat sedang berjalan ke arahnya.
“Dikasih apa kamu sama dia?” tanya Morgan yang sepertinya tak senang dengan tingkah Bisma.
“Hmp ....”
Arasha tak menjawab pertanyaannya, dan malah membuang muka, kemudian berlalu pergi meninggalkannya.
Ara kesal dengan hidup Morgan yang selalu mengatur dan selalu ada di saat yang tidak tepat.
...***...
Saat ini, Ara sudah berada di rumahnya. Ia sedang merenggangkan otot kakinya yang sepertinya sudah mulai sakit.
“Ra ....” Pekik Arash yang terdengar sampai ke kamar Ara yang berada di lantai 2.
Ara yang sedang bermalas-malasan, merasa terusik dengan pekikannya.
Manusia itu, tidak bisa ya memberikan aku sedikit ketenangan? Pikir Ara.
“Ra!” Pekiknya sekali lagi, membuat Ara gusar.
Ara harus menghampirinya, kalau tidak mau dimakan olehnya.
“Ribet amat, sih!” lirihnya sinis, sembari beranjak dari ranjangnya.
Ara menghampirinya dengan berjalan gontai. Kenapa nasibnya malang seperti ini?
“Apaan?” tanya Ara sinis sembari mendelikkan matanya.
Arash mungkin saja tidak terima dengan sikap Ara, sehingga ia juga membalas tatapan mata Ara.
“Ini anak, susah banget dipanggilnya!” bentaknya, membuat Ara membolakan matanya.
Ara tak sengaja melihat ke arah sofa. Terlihat seorang wanita asing, dengan memakai pakaian seperti seorang sekretaris dan juga berdandan dengan dandanan yang hot, yang sama sekali tidak Ara kenal. Ia menyipitkan matanya ke arah wanita sexy, yang sedang duduk bak tuan putri itu.
Bisa-bisanya kakak membawa orang ini! Pikir Ara.
“Siapa, loe?” tanya Ara sinis, membuat kakaknya agak tersinggung.
“Ra, jangan kasar gitu, dong!” bentak Arash, yang sepertinya tak senang dengan ucapan welcome Ara pada wanita ini.
“Apa salahnya? Aku cuma say hello aja, kok!” bantah Ara, membuatnya semakin membelalak.
Ara tidak suka kakaknya membentaknya hanya karena orang asing, yang bahkan baru pertama ia temui itu.
“Gak usah pake say hello segala! Belanja ke mini market, Bibi lagi gak enak badan,” titah kakaknya.
Ara mendelik tak percaya.
Baru kali ini, ia diminta untuk membeli kebutuhan bulanan. Ara tidak terbiasa dengan itu. Biasanya, ia yang meminta kakaknya untuk membelikan sesuatu yang diperlukan, atau meminta Reza untuk ....
Ah.
Sudahlah.
Jangan mengingat laki-laki itu lagi.
“Gak mau,” tolak Ara dengan tegas, sembari menyedekapkan tangannya.
“Mulai ngebantah, ya?” tanya Arash, yang terdengar seperti sebuah ancaman bagi Ara.
Ya. Beginilah nasib anak bungsu.
Ara ingin cepat menyelesaikan pendidikannya, agar tidak terkekang dengan peraturan yang tidak jelas ini.
“Mana duitnya?” tanya Ara sinis, membuat Arash tersenyum.
Arasha sangat benci dengan senyumannya itu.
“Nah, gitu dong,” lirihnya dengan riang, sembari mengacak-acak rambut Ara.
Ara seketika langsung menepis tangan kakaknya, karena merasa sangat risih.
“Apa si? Mana sini duitnya!” sinisnya.
Entah kenapa, rasanya Ara ingin selalu menarik urat saat berbicara dengannya.
Arash merogoh saku celananya, dan mengambil beberapa lembar uang pecahan. Ia memberikannya pada Ara, lalu Ara mengambilnya dengan cepat.
“Wets ... biasa dong. Duit aja cepet,” godanya, membuat Ara ingin sekali memukulnya, “catatan barang yang harus dibeli, udah kakak kirim di pesan masuk,” sambungnya.
“Gak tau, ah!” gumam Ara, yang merasa sudah jengkel dengannya.
Ara melewati wanita itu dengan membelalak ke arahnya, sembari menunjukkan dua jari tangannya ke arah matanya, dan matanya yang mengisyaratkan kalau ia sedang mengawasinya.
Ara pergi dengan perasaan kesal.
Enak saja dia, memerintah seenaknya seperti itu, tapi, ia malah asyik berduaan di sana.
Ara berjalan menuju mini market yang berada di depan komplek rumah. Karena asisten rumah sedang tidak enak badan, akhirnya Ara terpaksa menuruti kakaknya untuk membeli kebutuhan bulanan di rumah.
“Kenapa si harus gue gitu? Kenapa gak dia aja yang jalan gitu? Asik pacaran aja di rumah!” gumam Ara mendengus kesal.
Ara berjalan di keheningan malam.
Sunyi.
Tak ada yang mengeluarkan suara.
Ia menoleh ke arah jam tangan yang ia pakai, di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Ara jadi agak merinding, karena sepanjang menyusuri jalan, tak ada orang sama sekali yang berlalu-lalang.
“Kenapa harus malem-malem gitu? Apa gak bisa besok pagi? Atau besok sore gitu?” gumam Ara yang terlanjur kesal padanya.
“Lagian gue juga mau aja sih, kenapa mau aja disuruh sama dia?”
“Pluk ....”
Ara dengan sengaja menendang botol yang ada di hadapannya.
“Huft ....”
“Kalau bukan karena uang, gue juga gak akan mau disuruh gini sama dia!” lirihnya, yang semakin menjadi.
Ara mendengar suara yang aneh.
“Rrrrrr ... guukkk ... guukkkk ....”
Tiba-tiba muncul seekor anjing yang menggonggong dari arah depan Arasha. Ia kaget dan bingung. Entah apa yang harus ia lakukan, mengingat jalan di komplek ini sangat sepi.
“Ada anjing!” teriaknya.
Ara berlari ke arah belakangnya. Sialnya, anjing itu terus menerus mengikutinya.
“Gimana ini?” Ara kebingungan dan panik.
“Tseeeet ....”
“Aaaaaaaaaaaa ....”
“Guuuk gukkkk ....”
Anjing itu berlari kencang dan suaranya perlahan menurun sampai tidak terdengar lagi.
Namun ada yang lebih Ara takutkan lagi!
Ada tangan hangat yang melingkar di pinggangnya, dan tangan satunya menutup mulut Ara. Ia tak berani menoleh ke belakang.
Hanya bisa pasrah.
Siapa sebenarnya laki-laki ini?
Ia melepaskan pelukannya dan juga melepaskan tangannya dari mulut Ara yang sedari tadi ia bungkam. Ara membalikkan tubuhnya ke arah makhluk misterius itu, yang lalu mengunci tubuh Ara di dinding.
“Loe gak papa?” tanyanya.
Baru Ara sadari, bahwa yang menolongnya ialah ....
“Bisma?” pekiknya kaget tak percaya.
Bisma tersenyum manis pada Ara.
“Kok loe bisa ada di--”
“Stt ....”
Bisma menahan bibir Ara dengan jari telunjuknya, membuat Ara tidak bisa melanjutkan ucapannya.
“Rumah gue tepat di halaman depan gedung ini. Ini bagian belakangnya,” jelasnya.
Ara heran sekaligus kaget.
“Oh ternyata tetangga yang baru pindahan itu, loe?” ucap Ara menyimpulkan sekaligus bertanya.
Bisma hanya mengangguk kecil.
“Jadi lega, biar bisa berangkat ngampus bareng,” Ucap Bisma yang tak disangka, akan mengatakan hal itu.
Ara tersenyum, kemudian suasana menjadi canggung. Baru ia sadari, sejak tadi, Bisma mengunci dirinya di dinding, dengan tubuhnya.
“Emm ... Bis--”
“Ra--”
Ara terkejut, karena mendengar mereka mengucapkan kata secara bersamaan.
“Loe duluan, Ra,” ucap Bisma mempersilakan Ara untu berbicara terlebih dulu.
“Oh gak, loe aja duluan,” tepis Ara, membuat Bisma tertawa kecil.
“Hehe ... okey deh.”
“Haaaaaa ....” Bisma menarik napas panjang.
“Ra ....” pekik Bisma dengan padangan yang sepertinya serius.
Ara memandanginya dengan saksama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 327 Episodes
Comments
Watik Yd
penasaran ni siap yg bkl jd pcr ara
2022-01-03
0
Ninik H.
lanjut ku baca
2021-12-08
1
Cerita Aveeii
anak bungsu jg senasib
#penaautoon
2021-12-08
1