Suasana di pagi ini saat sarapan, tidak seperti biasanya yang penuh celotehan Lea dan senyuman Erik.
Lea lebih banyak berdiam diri hanya berbicara seperlunya. Ia bukan marah karena semalam Erik berkata dengan nada tinggi untuk yang pertama kalinya, tapi karena takut melakukan kesalahan lagi.
Erik pun sama, rasa bersalah menguasai hatinya melihat Lea yang sedari tadi menghindar bersitatap mata dengannya.
"Jadwal periksa kandungan lagi hari apa?" Erik membuka percakapan, walaupun sebenarnya ia pun sudah tahu kapan jadwal Lea harus kembali ke dokter.
"Mulai bulan ini sudah harus dua minggu sekali periksanya karena sudah jalan delapan bulan." Lea mengangkat wajah sejenak menatap Erik lalu menundukan kepalanya kembali.
"Bulan depan sudah waktunya lahir?, dan kita belum mempersiapkan apa-apa? ... astaga." Erik meraup kasar wajahnya.
Ia merasa sedikit bersalah karena sudah mengabaikan Lea.
"Kak Erik ga perlu khawatir aku sudah beli lewat online shop, masih beberapa sih hanya yang dirasa perlu aja."
"Nanti sore ya, tunggu aku pulang kantor kita jalan beli beberapa kebutuhan lagi. Kamu juga sudah lama ga jalan-jalan kan?" Lea mengangkat wajahnya mengangguk dan tersenyum tipis pada Erik.
"Kak, aku ijin mau keluar sebentar nanti siang ya."
"Mau kemana?, kamu lagi hamil besar ... bahaya, kalau ada perlu tunggu aku aja."
"Sebentar saja kak, aku nanti naik taxi online, bukan angkot jadi aman aku ga akan kecapaian." Erik mengerutkan keningnya, namun akhirnya mengalah karena berharap Lea kembali sedikit lebih ceria.
'Ya sudah ga apa-apa, tapi kasih kabar kalau mau jalan lalu infokan plat nomer kendaraan juga foto drivernya kirim ke aku ya ... jangan lupa." Lea mengangguk senang.
Melihat senyum lebar yang terbit dari wajah Lea, Erik merasa lega.
Sepeninggal Erik berangkat kerja, Lea dengan cepat menyelesaikan pekerjaan rumah dan bersiap berangkat.
Ia sudah membuat janji dengan psikiater yang ditemukan semalam pada situs halaman pencarian handphone-nya.
Setelah berada di dalam taxi online, Lea segera mengirim pesan berisi plat kendaraan dan foto wajah driver kepada Erik, yang langsung dibalas dengan pesan hati-hati di jalan.
Lea mengamati alamat dan nama klinik yang akan di tuju menurut supir taxi online yang ia naiki, tujuannya tidak seberapa jauh.
Hati Lea sedikit berdegup, apa benar langkahnya mendatangi psikiater?
Apa nanti yang akan diperiksa?, apakah seperti dokter memeriksa pasien?
"Sudah sampai bu, itu klinik yang ibu cari." Sopir taxi online memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah biasa yang terlihat cukup besar, namun ada sebuah pintu yang terpisah bertuliskan :
...dr. Lukman Laksmana, SpKJ...
...Psikiater Kesehatan Jiwa...
Lea merasa ragu karena melihat kata kesehatan jiwa yang terpasang di papan nama, masa iya aku gila?
"Ibu sudah daftar?" Saat akan berniat mundur, seorang wanita bertanya dari pintu yang terbuka. Lea hanya mengangguk lalu masuk kedalam.
Sudah kepalang tanggung walaupun ragu untuk menjalani pemeriksaan, tapi karena sudah sampai apa salahnya dicoba dulu.
Setelah menjawab beberapa pertanyaan singkat tentang data pribadi dari wanita yang ternyata merupakan asisten dokter, Lea dipersilahkan masuk ke ruang periksa.
"Selamat siang Ibu Bintang Amalea?" sapa dokter Lukman yang perawakannya terlihat sedikit halus untuk ukuran seorang pria.
Suaranya yang lembut cukup menenangkan Lea. "Saya panggil siapa nih namanya Bintang? atau Amalea?'
"Lea, dok." dokter Lukman mengangguk tersenyum dan menulis sesuatu di kertasnya.
"Usia berapa bulan kandungannya Lea? ... saya panggil nama saja tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, dok. Usia kandungan jalan delapan bulan."
"Kita duduk di sana yuk, biar sedikit lebih santai." dokter Lukman mengarahkan Lea untuk duduk di sofa single setengah tidur yang terlihat sangat nyaman. Sedangkan dokter Lukman duduk di bangku tepat di sisi Lea.
"Ada keluhan apa Lea sampai kamu memilih untuk datang konsultasi di sini?" dokter Lukman memulai pembicaraan.
"Saya merasa tidak normal."
"Tidak normal seperti bagaimana maksudnya, mungkin Lea bisa kasih penjelasan sedikit?"
" ... mmm ... kelainan seksual." Lea merasa sangat malu sekali mengatakan itu. Ia menyesal kenapa tidak memilih dokter wanita.
Tapi melihat wajah dokter yang biasa saja saat ia mengatakan kelainan seksual, Lea merasa kembali percaya diri.
"Boleh ceritakan kelainan seksual seperti apa yang kamu alami?"
"Saya tidak bisa di sentuh suami ... maksud saya kalau suami saya ingin menyentuh saya untuk berhubungan intim, saya merasa sangat ketakutan, badan saya serasa sulit digerakan."
"Suami pernah melakukan kekerasan fisik, memukul misalnya?" Lea menggeleng.
"Sejak kapan rasa ketakutan ini Lea rasakan saat di sentuh suami?"
"Sejak awal menikah." dokter Lukman yang sedang menulis di bukunya, sontak mengangkat kepalanya menatap Lea heran.
"Apa suami memaksa anda untuk berhubungan intim?" tanya dokter Lukman sambil melihat ke arah perut Lea yang besar.
"Kami belum pernah ...." Lirih suara Lea mengucapkan hal itu sambil membuang pandangannya ke arah jendela.
Dokter Lukman menarik nafas panjang perlahan, lalu menaruh buku serta pena di pangkuannya.
"Boleh ceritakan tentang kehamilanmu Lea?" Lembut suara dokter Lukman terdengar di telinga Lea.
Seketika itu air matanya luruh tak tertahan di pipi, tapi tanpa isakan yang terdengar.
"Tidak apa-apa, lepaskan semua. Kapanpun kamu siap bercerita ... saya akan menunggu."
Ingatan Lea kembali ke malam di mana Beni menjamah tubuhnya. Beni memang tidak melakukannya dengan kasar, yang membuat hatinya sakit adalah figur yang selama ini ia pandang sangat baik, pria dengan keluarga yang terlihat sempurna dan harmonis, orang yang ia percaya setelah ayah dan ibunya tega melakukan hal keji padanya dengan dalih cinta.
Ia merasa seakan salah satu pondasi hidupnya hancur dalam semalam, di tambah lagi jejak kejadian malam itu, saat ini ia bawa dalam perutnya.
Seumur hidupnya tiap ia melihat anaknya ia juga akan memandang masa lalunya.
Perlahan namun pasti cerita kejadian demi kejadian meluncur dari bibir Lea.
Semua kesakitan di hatinya perlahan ikut luruh bersama air mata yang ikut tumpah.
Dokter Lukman dengan tenang dan sabar mendengar dan membiarkan Lea mengeluarkan semuanya.
"Suamimu tahu siapa orangnya dan bagaimana kejadiannya?"
Lea mengangguk, "Dia teman saya sebelumnya, begitu tahu saya hamil ia yang meminta untuk menikahi saya." Dokter Lukman mengangguk sambil tersenyum.
"Apa yang Lea rasakan saat suami ingin menyentuh lebih intim?"
"Takut." Gestur badan Lea berubah, dahi mengkerut dengan nafas mulai tersengal.
"Tidak apa-apa Lea, tapi suamimu bersikap baik bukan?" Lea mengangguk kembali, tubuhnya pun kembali terlihat santai.
"Lihat saya Lea ...." Perlahan Lea memutar wajahnya menghadap dokter Lukman.
"Sudah lebih merasa lebih baik sekarang?" Lea mengangguk pelan.
"Baik Lea, saya tidak perlu memberikan resep apapun untuk kamu, karena kamu baik-baik saja. Apalagi kamu sedang mengandung ... kamu mencintai calon bayimu?"
Mendengar dokter Lukman mengatakan calon bayimu, Lea merasa bayi ini hanya miliknya, hatinya menghangat diusapnya perut yang sudah terlihat semakin besar.
"Tetap fokus hanya kepada calon bayimu, tidak perlu memikirkan apa-apa untuk saat ini. Yang kamu butuhkan hanyalah ... memaafkan dirimu sendiri, dan obat yang paling manjur adalah anakmu. Saya yakin saat anakmu lahir, dan kamu melihat bayimu yang sangat lucu perlahan-lahan ketakutanmu dan kekhawatiranmu akan hilang."
"Saya tidak gila kan dok?" dokter Lukman tertawa pelan mendengarnya.
"Kamu baik-baik saja Lea, hanya rasa trauma masa lalu masih membekas dan itu wajar. Tidak semua orang yang mengalami hal yang sama seperti kamu, dapat pulih dengan cepat dan menurut saya kamu termasuk wanita yang kuat sampai sejauh ini. Butuh proses dan waktu untuk benar-benar pulih dan itu juga butuh dukungan dari orang terdekat. Jika kamu tidak keberatan, konsultasi berikutnya suami bisa diajak juga ya."
Setelah berbincang ringan sejenak dengan dokter Lukman, suasana hati Lea mulai membaik dan merasa sangat optimis bisa menjalani hari-hari selanjutnya.
Dokter Lukman memberikan kartu nama beserta nomer handphone-nya jika sewaktu-waktu Lea membutuhkan konsultasi dari rumah, mengingat hari di mana Lea akan melahirkan semakin dekat ia tidak akan bisa sering datang.
Sambil menunggu taxi online yang ia pesan, Lea bertukar pesan dengan Nina yang menanyakan apakah Erik pulang untuk makan siang hari ini. Lea mengatakan tidak karena ia sedang berada di luar rumah saat ini.
Tak berapa lama taxi online yang ia pesan datang dan berhenti di depan pagar klinik. Lea masuk di bangku belakang penumpang sambil terus bertukar pesan dengan Nina.
"Siapa kamu!" Lea terlonjak mendengar suara bariton dari arah bangku depan sopir.
...❤❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Red Velvet
salah masuk mobil itu Lea🤔
2023-03-25
0
💝GULOJOWO💝
waduuuuhhhh 🤭
2021-12-11
2
Michelle
semangatt
2021-12-09
1