Sekitar empat jam lebih Lea dan Erik berada dalam bus yang membawa mereka ke kota kedua terbesar di Indonesia.
Selama empat jam lebih itu pula, mereka berdua saling bercerita dan bergurau seakan lupa apa yang sudah terjadi di belakang sana.
"Kamu sudah kasih kabar Nina kalau kita sekarang sudah sampai di terminal?" Erik menyusun tumpukan tas, koper dan kardus merapat di bangku yang Lea duduki.
Erik lebih memilih untuk tetap berdiri, sambil mengawasi hiruk pikuk pengunjung terminal bus siang hari ini.
"Sudah, tadi aku sudah kasih kabar satu jam yang lalu sebelum kita sampai ke sini." Lea sibuk mengipas-ngipas mengusir peluh tubuhnya menggunakan kertas karton yang ditemukannya di bangku ruang tunggu.
Kota besar ini sangat panas, sangat jauh keadaan dari kampungnya yang masih teduh berbukit dan banyak pepohonan.
"Coba pastikan lagi dia sudah sampai mana, jangan sampai bilangnya otewe tapi masih di dalam selimut ... kebiasaan lama," sungut Erik sambil mengambil alih karton dari tangan Lea, lalu membantu mengipas istrinya yang sudah hampir mandi keringat.
Tidak menunggu lama dering telepon Lea berbunyi, tampak nama Karenina di layar handphone Lea.
"Dimana?" Nina setengah berteriak di seberang sana.
"Aku di deket musholla Nin kamu di mana?, besar banget nih terminal ... sebelah barat timur utara selatannya aku ga tau."
"Tunggu di situ jangan ke mana-mana, biar aku yang kesana aja." Nina mengakhiri panggilan teleponnya.
Tampak sebuah mobil city car berwarna kuning mendekat ke arah mereka. Nina keluar dari sisi pengemudi sambil berteriak merentangkan tangan, "Leeaaaaaak." Mendengar suara teriakan khas memanggil namanya, Lea segera bangkit menghampiri kawannya dengan setengah berlari
"Nyinyootttt." Mereka berdua saling berpelukan dan setengah meloncat-loncat tidak mempedulikan pandangan aneh dari pengunjung terminal yang lewat.
"Kangeeenn akuu." Lea memeluk Nina sambil sedikit menggoyang-goyangkan badannya.
"Halaaahh, gaya dateng-dateng bawa suami, mau pamer? Ga kasian kamu sama aku. Gebetan aja belum ada, kamu sudah bawa suami kesini." Nina berlagak sewot sambil mendorong pelan badan Lea.
"Ohh yaa, aku mau kenalin suami aku." Sengaja Lea menekankan kata suami untuk menggoda Nina.
"Sayang ... siniiii." Lea melambai memanggil Erik yang sedang duduk menjaga barang mereka, sambil mengamati dua sahabat lama yang saling melepas rindu.
Dipanggil sayang oleh Lea membuat Erik sedikit gugup sehingga tidak sengaja menjatuhkan beberapa kardus yang sudah di susunnya.
"Ini Kak Erik suami aku ... ini Nina sahabat aku kak." Lea memperkenalkan antara Erik dan Nina.
"Iyaa dah tau kan dulu juga satu sekolah, aku juga yang sering di titipin salam untuk kamu sama Kak Erik ... yaa kan kak." Nina mengerling menggoda.
Erik hanya mengangguk bersikap sok dingin sama seperti saat masih sekolah, sambil berpura-pura membetulkan kacamatanya. Gerakan yang menjadi kebiasaannya saat salah tingkah.
"Ga apa-apa kenalan lagi, formalitas aja hihihi." Lea terkikik melihat gaya Erik yang sudah dihafalnya.
"Yuk ah langsung aja panas banget di sini, aku antar ke tempat kalian tinggal sementara ya." Nina membantu Lea dan Erik memasukan barang mereka ke dalam mobilnya.
Sepanjang perjalanan, Lea tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat deretan gedung bertingkat dan padatnya kendaraan yang melintas.
Hampir satu jam mereka dari arah terminal masuk menembus pusat kota Surabaya. Sampailah mereka di suatu pemukiman padat penduduk.
Terlihat rumah-rumah yang saling berdempetan, ada beberapa sekelompok ibu-ibu berkumpul duduk sambil berbincang di pinggiran jalan, dan anak-anak yang berlarian saling mengejar tanpa memedulikan kendaraan yang melintas di samping mereka.
Nina memberhentikan mobilnya di sebuah rumah mungil berpagar pendek.
"Ayo turun dulu, barangnya nanti aja terakhir diturunkan. Kalian lihat-lihat aja dulu ya." Nina membuka pagar dan pintu depan lalu mempersilahkan mereka berdua untuk masuk.
"Lea dan Erik berkeliling melihat rumah yang bernuansa kuning gading ukuran type 36, dengan dua kamar ukuran standart dan satu kamar mandi terletak di luar kamar.
Suasananya cukup nyaman dan bersih, ada taman kecil di depan rumah dengan sekali lihat Lea sudah menyukai rumah itu.
"Bagaimana ... suka?" tanya Nina. Lea hanya mengangguk, sambil terus berjalan mengelilingi tiap sudut rumah.
"Aku pilih rumah ini karena dekat dengan tempat kerjaku. Tuh ... kalau kamu keluar rumah kelihatan ada gedung tinggi di depan, nah kantor papaku salah satunya yang ada di situ," jelas Nina.
Gedung perkantoran tempat Nina bekerja bisa di tempuh dengan berjalan kaki dari tempat Lea tinggal nantinya, dengan menyusuri jalan tikus istilahnya.
"Waahh ... keren Nin tempat kamu kerja." Lea memandang kagum gedung bertingkat di depannya yang hanya terlihat separuh dari rumah kontrakannya.
"Kamu mau cari kerja?, kalau mau nanti aku tanya deh ke bagian HRD," tawar Nina.
Lea hanya melirik ke arah Erik yang memberikan kode padanya seakan mengatakan kamu kan lagi hamil.
"Aku sih nanti-nanti aja dulu kerjanya, biar Kak Erik aja duluan yang cari kerja," kata Lea sembari menarik kursi untuk duduk.
"Masih suka buat design furniture kan Kak?" tanya Nina beralih ke Erik.
"Siniin album designnya, aku ajukan ke bagian produksi tempat aku kerja. Kalau cocok bisa jadi tenaga design freelance."
"Perusahaan tempat kamu kerja bergerak dalam bidang apa memangnya Nin?" tanya Erik antusias.
"Papa aku tuh join mendirikan perusahaan sama temennya di bidang property, bangun perumahan-perumahan di sekitar daerah Jawa Timur ini. Mulai dari type standart sampai elite," jelas Nina dengan rasa bangga.
"Nah, kalau design furniture kak Erik cocok sama permintaan calon pembeli, kan asyik tuh." Lea dan Erik saling bertatapan dengan mata berbinar.
"Okelah Nin selesai beres-beres rumah ini, aku kumpulin dulu portofolio designku, nanti aku serahin ke kamu. Semoga berhasil dan bisa jadi rejeki baby kalau sudah lahir." Erik tersenyum sambil merangkul bahu Lea.
Nina membelalakan matanya, "Kamu sudah hamil Lea??" tanyanya sambil berjalan mendekat dan menyentuh perut Lea sekilas.
"Waahh .. terlalu kamu Lea, ga cukup bikin nyesek aku bawa suami ke sini eh, calon anak sudah di bawa juga." Nina merengut melirik Lea.
Sahabatnya ini dari dulu tidak pernah berubah, baik dari cara bicaranya yang tanpa filter juga bentuk badannya yang cukup subur.
Hanya bentuk dan warna rambut yang sepertinya mengikuti trend di kota besar.
"Hmmm, tapi diam-diam tokcer juga Kak Erik, ga nyangka sok dingin gitu ga perlu tunggu lama sudah jadi jilid dua." Meskipun niat Nina berbisik tapi karena suaranya yang terlewat lantang, Erik yang duduk di sebelah Lea tetap bisa mendengar.
Tockcer? ... hhhuuuhhh, nyentuh ujung kancing bajunya aja belum sempat sudah dianggap tokcer ... aminin dulu lah. Erik membatin sedih.
Lea hanya tersenyum kikuk menanggapi celetukan Nina sekaligus melihat reaksi Erik yang mendadak lemas.
...❤❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Mayya_zha
kasian
2022-07-03
0
El_Tien
thoor kenapa gak di ruang ber AC sih nunggu nya kasian kepanasan
2022-04-04
0
Wie Yanah
erik ini ujian😉
2022-03-13
1