Lea menatap wajah teduh pria di hadapannya. Ia bukannya tidak pernah tahu kalau Erik, pria berkacamata yang sedang menatapnya saat ini sudah menaruh hati padanya sejak bangku sekolah menengah pertama.
Perhatiannya, tatapan teduhnya, senyumannya serasa hanya ditujukan untuk Lea seorang.
Lea tidak sampai hati membawa Erik masuk dalam persoalan hidupnya yang rumit, Erik terlalu baik baginya.
"Kakak tuh bisa aja, hehehe." Lea terkekeh pelan sambil menurunkan tangan Erik yang masih berada di pipinya.
"Loh memangnya kenapa?, atau jangan-jangan memang kamu berminat nih jadi istri kedua Pak Beni?"
"Amit-amit ah kak, aku lebih baik milih sendirian seumur hidup dari pada harus jadi istri kedua dengan cara seperti ini. Bukannya jadi berkah, nanti yang ada malapetaka karena sudah menyakiti hati Bu Devi."
"huusshh ... jangan ngomong seperti itu, hidup berdua itu jauh lebih enak dari pada sendirian tau."
"Masih ada pejantan jomblo disini, kok mau milih hidup sendiri," Kata Erik sambil menyentil dahi Lea.
"Diiihhhh pejantan, kudaaa kali ... hahahaha." Tawa Lea semakin lebar. Erik tersenyum lega, niat untuk menghibur Lea akhirnya berhasil.
"Aku balik pulang dulu. Sudah malam nanti ada hansip lewat, terus lihat kita berduaan malam-malam gini, kita bisa langsung dinikahkan malam ini juga, kan aku jadi seneng huahahhahaa."
"Iihhhh ... Kak Eriiikkk." Erik segera bangkit dari sofa dengan setengah berlari ke arah pintu keluar menghindari cubitan Lea.
"Tutup pintu jangan lupa kunci, intip dulu dari jendela jangan sembarangan buka pintu kalau ada yang datang. Apalagi sudah malam gini." Kata Erik sebelum Lea menutup pintu rumahnya.
"Iyaaa baweeel." Lea mencebik, Erik lalu mengacak rambut Lea dengan gemas.
...🔹️🔹️🔹️...
"Kamu kok ga berangkat kerja?" Ibu menatap heran saat Lea masih asyik tiduran di sofa.
Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi, biasanya jam segini ia sudah berada di kantor.
"Apa aku masih bisa kerja di tempat Pak Beni, kalau istrinya mengancam seperti itu bu?," jawab Lea sambil bangkit dari tidurnya dan duduk di sofa.
"Ibu kan dengar sendiri semalam, bu Devi minta Lea tidak muncul lagi di kantor, Lea tahu diri kok." Lea tertunduk sedih menatap handphone-nya.
"Ibu tenang aja, Lea sudah titip pesan ke teman-teman kalau ada infomasi lowongan kerja segera kasih tau Lea."
"Lea yakin kok pasti cepat dapat, teman Lea kan banyak. Udaahh ... ibu ga perlu khawatir gitu aah."
Lea memasang senyum lebar sambil merengkuh bahu ibunya. Ia ingin memperlihatkan kalau semua akan baik-baik saja.
Lea sedih melihat raut wajah ibunya yang seketika murung saat ia mengatakan tidak bekerja lagi.
Selang beberapa jam kemudian, handphone-nya bergetar terlihat nama yang memanggilnya di layar handphone.
Drrtttt ... drrtttt ...
Pak Beni Calling ...
Panggilan pertama hingga kedua Lea abaikan.
Rasanya malas harus mendengar suara orang itu lagi.
Tapi jika tidak ditanggapi Pak Beni pasti tidak akan berhenti berusaha menghubunginya. Lagipula ia juga belum pamit dan mengajukan surat pengunduran diri.
"Selamat siang Pak." Sahut Lea malas.
"Siang juga Lea, kamu kenapa tidak masuk?, kamu sakit?" Suara Pak Beni terdengar tidak sabar.
"Saya baik-baik saja pak. Maaf sebelumnya, saya tidak bisa datang sendiri ke kantor untuk menyerahkan surat pengunduran diri saya."
"Saya berterima kasih, karena sudah diberikan kesempatan untuk bekerja di perusahaan bapak." Terdengar helaan nafas berat dari ujung di seberang sana.
"Kamu mengundurkan diri, apa karena kemarin istri saya datang ke rumahmu dan marah-marah?"
"Apa dia sudah menyakitimu Lea??" Suara Pak Beni terdengar meninggi.
"Memang benar Pak, bu Devi datang ke rumah saya. Tapi beliau sama sekali tidak menyakiti saya."
Justru bapak yang sudah menyakiti saya dan istri bapak , kenapa orang ini kok tidak sadar sih!. Geram Lea dalam hati.
"Pengunduran diri saya ini tidak ada hubungan apapun dengan bu Devi, saya yang memutuskan sendiri," tegas Lea.
"Oke baiklah Lea, saya terima pengunduran dirimu. Tidak masalah buat saya kamu tetap bekerja atau tidak, toh saya juga yang akan memberikan kamu nafkah."
"Maksud bapak apa?"
"Jika kita menikah nanti tentunya saya yang akan menafkahi kamu kan, jadi benar kamu tidak perlu capek-capek untuk bekerja."
Dasar gilaaa. Lea memaki dalam hati.
"Maaf pak sepertinya sudah cukup jelas tentang pengunduran diri saya, dan saya memohon dengan sangat, tolong jangan ganggu saya lagi." tegas Lea.
"Saya akan datang ke rumahmu, untuk meminta restu pada ibumu." Kata Pak Beni dengan cepat.
"Untuk apa bapak ke rumah saya?, tidak perlu repot-repot karena saya jelas tidak akan menemui bapak. Jadi jangan berpikir untuk datang kemari!." Lea sudah semakin geram dibuatnya.
"Saya tidak datang untuk menemui kamu, tapi saya datang ingin menemui ibumu," ucap Pak Beni dengan penuh rasa percaya diri.
Tanpa basa basi Lea langsung menutup sambungan telpon secara sepihak. Terlalu lama menanggapi omongan Pak Beni membuat kepalanya semakin pening.
Lea sungguh takut sampai kapan Pak Beni berhenti mengganggu seperti ini.
Ia sudah menyebar berita ke teman-teman dan orang yang dikenalnya, bahwa saat ini ia sedang membutuhkan pekerjaan. Namun masih belum ada yang memberikan kabar gembira.
Hampir separuh usaha dan lapangan kerja di daerah ini, mungkin masih milik Pak Beni atau kerjasama dengan perusahaannya.
Jelas suatu saat pasti mereka akan bertemu kembali.
Kampung ini daerahnya tidak terlalu luas.
Para pemuda dan pemudinya lebih banyak bekerja mengadu nasib di kota-kota besar dari pada menetap di daerah kecil ini.
Ingin rasanya Lea ikut merantau merasakan kerja di luar daerahnya.
Ia yang dari lahir hingga dewasa sama sekali belum pernah keluar dari daerah tempat ia tinggal saat ini.
Namun meninggalkan ibu sendiri dalam kondisi sakit-sakitan bukanlah suatu tindakan yang bijak.
"Aaakkhhhh, sakit kepala jadinya kalau mikir yang aneh-aneh." Lea meremas kepalanya yang terasa berat.
Lea memutuskan berbaring sebentar sebelum kembali mencari informasi lowongan pekerjaan dari teman-temannya.
Entah sudah berapa jam ia sudah tertidur. Lea terbangun saat terdengar suara ibunya di ruang tamu sedang berbincang dengan seseorang.
Suara itu?, aakkhhh suara dari orang yang paling tidak mau ditemuinya.
Segera Lea bangun dan keluar dari kamar menuju ruang tamu. Jangan sampai Pak Beni berbicara pada ibu yang tida-tidak.
"Naah, ini anaknya sudah bangun." Ibu menarik tangan Lea untuk duduk di sampingnya.
Sedangkan Pak Beni menyambutnya dengan tersenyum lebar, namun senyuman itu terlihat menjijikan di mata Lea.
"Pak Beni datang mau meminta maaf atas tindakan istrinya semalam." Ibu menjelaskan dengan santai dan masih tersenyum.
Sepertinya Pak Beni belum sampai menceritakan apa yang terjadi antara Lea dan dia.
"Saya sudah menjelaskan pada Pak Beni, kalau Bu Devi tidak melakukan apa-apa." Meski perkataannya tertuju pada ibunya tapi tatapan tajamnya tetap mengawasi Pak Beni.
"Iya benar, tadi pagi Lea juga sudah mengatakan tentang hal itu pada saya." Pak Beni membenarkan.
"Mmmm ... tapi maksud kedatangan saya saat ini bukan itu sebenarnya." Pak Beni menggosok-gosokan kedua telapak tangannya dengan gelisah.
Lea juga gelisah dan khawatir dengan apa yang akan keluar dari mulut Pak Beni.
"Saya ingin melamar Lea menjadi istri saya," tukas Pak Beni dengan cepat.
"Istri?? ..." Ibu menatap bingung bergantian antara wajah Lea yang terlihat marah dan wajah Pak Beni yang tegang.
"Ya benar ... istri kedua saya."
Tidak tahu malu. Geram Lea dalam hati.
Namun di hadapan ibu, ia harus bisa mengontrol emosinya agar ibu tidak merasa curiga.
"Maaf Pak Beni bukan bermaksud tidak sopan, tapi maaf sekali lagi saya tidak bisa menerima lamaran bapak." Lea mencoba tersenyum palsu di hadapan Pak Beni.
"Kenapa Lea?. Apa karena pemuda itu, yang katanya calon suamimu?, benar seperti itu?" Tatapan Pak Beni tajam semakin menusuk.
"Calon suami? ... oohh iyaaa, benar sekali pak, kami memang dalam waktu dekat ini akan segera menikah." Lea nengangguk-angguk sambil mengembangkan senyumnya.
Maafkan aku kak Erik harus membawa-bawa kamu. Salah sendiri juga ngapain pakai bilang calon suami segala.
"Nikah? ... memangnya kamu mau nikah sama sapa nduk kok ibu ga tau?" Lea sempat lupa ada ibu yang ikut mendengar pembicaraanya dengan Pak Beni.
"Maafkan Lea bu, Lea sama kak Erik sebenarnya sudah lama berhubungan tapi belum berani bilang sama ibu." Sambil berbicara dengan ibunya ujung mata Lea mengawasi raut wajah Pak Beni yang menatapnya curiga.
"Ooo, calonmu Erik toh. Ya udah kalau gitu ibu setuju-setuju saja yang penting kamu bahagia." Ibu tersenyum lega
"Tapi.Lea kamu sadar kan, kalau saya yang su---"
"Calon suami saya sudah mengerti. Calon suami saya juga sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu."
"Kami sudah saling mengenal sejak lama dan saling menerima kekurangan masing-masing, jadi bapak tidak perlu khawatir."
Lea segera memotong perkataan Pak Beni sebelum ia menceritakan apa yang sudah terjadi di hotel malam itu.
Dengan pelan dan tegas per kata, Lea menekankan bahwa calon suaminya tidak masalah soal kekurangan kondisi fisiknya.
Wajah Pak Beni semakin menegang, terlihat sekali ia menahan emosi dalam hatinya.
"Maaf ya Pak Beni, ternyata anak saya ini sudah punya pilihan sendiri."
"Tidak jauh-jauh ternyata jodohnya tetangga sendiri, mereka juga sudah saling mengenal sejak sekolah." Ibu terus bercerita dan terlihat tidak menyadari perubahan pada wajah Pak Beni.
"Baiklah kalau begitu saya permisi." Pak Beni bangkit dari duduknya, tapi sebelum benar-benar keluar dari pintu ia berbalik menatap Lea yang saat ini berada di hadapannya.
"Saya tidak akan semudah itu menyerah Lea, saya sungguh menginginkanmu menjadi istri saya." Bergidik Lea mendengar suara berbisik Pak Beni yang hanya bisa didengar oleh Lea.
...🔹️🔹️🔹️...
"Kak maaf ya, kemarin aku terpaksa pakai nama kakak saat Pak Beni datang ke rumah."
Sore ini mereka berdua duduk di teras rumah Lea, setelah setengah hari mereka habiskan berkeliling mencari informasi pekerjaan untuk Lea.
"Pakai namaku?" Alis mata Erik bertaut.
"Aku bilang kalau kakak calon suami hehehe ...." Lea menyengir.
"Laahh kan emang bener, hehehehe ...." Erik terkekeh senang sambil mencomot sepotong pisang goreng yang masih hangat.
"Apaan sih kak, kok malah becanda. Ga tau orang lagi pusing juga." Lea cemberut.
"Kamu kok pucet banget, sakit?" Erik memandang wajah Lea lebih dekat.
"Kecapaian mungkin kak, seharian kita kan di jalan panas-panasan. Mana kalau malam susah tidur gara-gara banyak mikir terus."
"Duuh, kalau kangen ya tinggal telpon saja apa susahnya sih, calon suami ini cuma lima langkah. Tinggal lompat tembok aja sudah sampai, hahahaha ...." Erik semakin tergelak melihat bibir Lea yang semakin maju.
"Mikir cari kerjaan kakaaak, bukannya bantuin kek ... malah godain terus."
"Bingung aku tuh mau kerja dimana, hampir separuh perusahaan di sini ada hubungannya dengan orang itu." Sungut Lea malas menyebut nama Pak Beni.
"Kalau memang sudah mentok usaha cari kerjaan dan belum dapat, ya udah bantu-bantu kakak aja."
"Permintaan design pembuatan furniture kakak semakin banyak jadi kedepannya kakak butuh sekertaris plus-plus nih." Erik tersenyum menggoda.
"Idiiiihhh, plus-plus apaan kak?, Kok jadi mesum gini sih kak Erik." Mata Lea membelalak menatap Erik.
"Looh kok mesum bagaimana, sekertaris plus-plus itu maksudnya plus jadi admin, plus jadi kasir, juga plus jadiiii ... tukang pijat ... huaahahaha." Erik terpingkal memegang perutnya melihat Lea yang semakin kesal.
"Tuuhh kaan." Lea memukul pundak Erik dengan bantal kursi yang dia pegang.
"Ya bener dong tukang pijat, kalau tanganku pegal karna kebanyakan gambar, kan butuh dipijat. Kamu tuh yang kemana-mana pikirannya." Erik masih terkekeh pelan, ia dari dulu sangat senang menggoda Lea yang cepat sekali marah.
"Emang Kak Erik sanggup gaji aku berapa?, tugasnya kok banyak betul." Lea mencibirkan bibirnya.
"Insya Allah aku gaji kamu di awal dengan seperangkat alat sholat, dan mas kawin dibayar tunai. Selanjutnya nafkah lahir dan batin seumur hidup." Erik tersenyum simpul.
Wajah Lea langsung terasa panas mendengar kata-kata Erik yang secara tidak langsung seperti melamarnya.
Erik bukan pria yang jelek, bahkan wajahnya cenderung manis dan kalem. Di sekolah dulu selalu aktif di kepemimpinan.
Otaknya yang encer di dukung dengan penampilan fisiknya yang tinggi dan pembawaannya yang dingin terlihat misterius, membuat Erik jadi idola di kalangan para siswi sekolah mereka.
Hanya dengan Lea saja Erik bisa bercanda santai dan ringan seperti ini, tapi entah mengapa Lea belum dapat membuka hati untuk Erik.
Tidak ada debaran jantung saat bersama dengan Erik seperti yang sering ia lihat di film-film drama korea atau seperti di novel-novel yang ia baca setiap malam.
"Kakak kalau sudah capek pulang aja deh dari pada ngomongnya semakin ga jelas." Lea merasa akhir-akhir ini Erik semakin berani menunjukan perasaannya dan itu membuatnya semakin tidak nyaman.
Lea mengambil satu buah tahu isi lalu mencoleknya dengan sambal petis kesukaannya.
Saat ia akan memasukan tahu ke dalam mulutnya, tiba-tiba dari dalam perutnya seperti ada yang mendorong ingin segera keluar.
Cepat-cepat Lea berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar mandi.
Hooeekk ... hoeekk ...
Erik mendengar suara Lea yang berada di kamar mandi, dahinya mengerenyit seperti memikirkan sesuatu.
Tak berapa lama Lea kembali dengan wajah lelah dan semakin terlihat pucat.
"Kamu kenapa, masuk angin?" Erik menatap khawatir.
"Tau tuh petisnya kok bau banget ya." Lea menutup hidungnya.
"Mmm, sudah basi mungkin. Sudah ga usah dimakan lagi. Sekarang kamu langsung tidur aja wajahmu pucat banget."
"Besok pagi ikut kakak ya, siap-siap jam delapan."
"Kemana?," Tanya Lea.
"Udah besok ikut aja. Aku pulang dulu ya, langsung tidur ga usah mikirin calon suami terus." Erik masih berusaha menggoda Lea.
"Siapa juga yang mikirin situ ... weekkk." Lea menjulurkan lidah.
...🔹️🔹️🔹️...
Sesuai perjanjian jam delapan pagi, Erik sudah berada di teras rumah Lea.
Lea yang sudah bersiap sedari jam tujuh segera keluar menemui Erik.
"Kita mau kemana sih kak," tanya Lea sambil naik di boncengan motor.
Namun Erik tidak menjawab hanya menyalakan motor dan langsung berangkat.
Motor Erik masuk ke dalam area parkir puskesmas.
"Siapa yang sakit?," tanya Lea kembali setelah mereka berjalan beriringan keluar dari area parkir motor.
"Ga ada yang sakit." Erik terus berjalan masuk ke arah bagian pendaftaran.
Dengan arah matanya ia menyuruh Lea untuk duduk bersama pasien lainnya.
Tak berapa lama Erik ikut duduk di samping Lea. Lea masih menatap Erik penuh tanya. Menyadari itu Erik hanya memberikan senyum kecil pada Lea.
"Kalau ga ada yang sakit, terus kita mau ngapain kesini?"
"Memangnya kalau ke puskesmas memang harus sakit dulu ya?" Erik balik bertanya.
"Apaan sih kak, malah balik nanya."
"Ibu Bintang Amalea". Lea terkejut tiba - tiba mendengar namanya disebut dari pengeras suara. Tapi tidak halnya dengan Erik, ia langsung berdiri menuju loket pendaftaran.
Lea masih melongo di tempatnya saat Erik kembali dan berdiri di hadapannya.
"Ayo." Ajak Erik sambil menggamit lengan Lea, karna Lea masih diam tidak bereaksi dengan ajakannya.
"Mau kemana, kok pakai namaku sih." Sambil berjalan Lea sedikit menarik tangan Erik meminta penjelasan.
"Hanya ingin memastikan saja." Erik kembali menarik tangan Lea untuk melanjutkan langkah mereka.
Lea masih terdiam dengan kebingungannya sampai mereka berhenti di suatu tempat yang ternyata juga banyak orang duduk menunggu.
Orang-orang yang menunggu ini mayoritas wanita dengan perut besar ... wanita hamil??.
Lea membaca papan nama yang tergantung di atas pintu ruang periksa.
...Spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Indrayani SpOG...
Mata Lea membesar ia menoleh ke arah Erik yang sedang menatapnya juga dengan sorot mata sendu.
...💠💠💠...
Terima kasih sudah membaca, semoga suka ya 🙏🤗.
Kritik dan saran yang santun serta komen dan like nya ditunggu ya biar semakin semangat jempolnya 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Firgi Septia
mustinya Lea penjarakan si beni
2024-01-02
1
Red Velvet
Erik benar2 lelaki yg sangat peka.
2023-03-24
0
Mayya_zha
erik.. apa setelah tau lea hamil dia mau menikahi Lea
2022-07-01
0