Beni yang sedang menikmati penyatuannya, tersentak saat Lea menendang kakinya.
"Ga mauuu ... pak toloong jangaaann ... hikss ... sakiiitt." Lea terisak menahan perih di bawah sana.
"Leaa sayaang, tahan sebentar yaa." Beni mencoba membujuk, agar Lea sedikit tenang dan tidak memberontak lagi.
Lea yang sudah merasa muak tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, rasanya sama sekali tidak berdaya.
Tubuhnya serasa tak bertulang, tapi kesadarannya tetap terjaga dan inilah hal yang ia benci.
Ia tidak mau mengingat sedikitpun tentang kejadian malam ini.
Lea hanya menahan rasa sesak di hati saat Beni mulai menyentak-nyentak tubuhnya dengan nafas yang menderu di telinganya.
Hancur rasanya hati Lea, orang yang dianggapnya malaikat penolong, seketika berubah menjadi iblis di matanya.
Tidak berapa lama, Beni terkulai lemas di atas tubuhnya. Lea hanya mematung dengan pandangan kosong.
Tanpa ada sepatah katapun, Beni bangkit dari atas badan Lea dan menuju ke kamar mandi.
Setelah terdengar suara air pancuran dari arah kamar mandi, tangis Lea pun pecah tertahan.
Ia bergelung dalam selimut, tidak memperdulikan keadaan tubuhnya yang saat itu masih dalam keadaan polos.
Ayaahhhh ... bawa Lea pergiiii!!! Lea ga mau di sini lagiii yaah ... hikss ... hikss ... sakiiittt ... sakiittt ... ayaahhh .. Lea takut yaaahhh ... Lea rinduuu. ...
Lea hanya bisa menangis dalam diam dengan pikiran yang kosong.
Hari esok yang sebelumnya terlihat begitu indah, seketika gelap baginya.
Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup.
Hampir saja kakinya beranjak ke arah balkon kamar, dan berniat terjun dari lantai sembilan hotel ini.
Namun wajah ibunya yang sedang terbaring lemah karena sakit, membuyarkan semua niatnya.
Tanpa sadar Lea terlelap dalam tidurnya karena masih dalam pengaruh obat yang diberikan Beni.
Beni bukannya tidak tahu kalau Lea menangis sepeninggalnya ke kamar mandi.
Sungguh tidak sampai hati ia memandang tatapan Lea yang kosong dan penuh luka, karena itu ia lebih memilih langsung beranjak masuk ke kamar mandi dan memberikan waktu dan ruang untuk gadis itu mencurahkan perasaannya.
"Maafkan saya Lea." Beni menghampiri Lea yang terbaring bergelung selimut.
Ia duduk di pinggir kasur menatap wajah gadis itu yang masih dipenuhi air mata. Tangannya terulur merapikan rambut yang berantakan, dan menghapus jejak air mata di pipi Lea.
"Saya sangat berharap kamu hamil setelah malam ini. Maafkan saya karena saya sangat menyukaimu. Saya yakin Devi pasti mau menerima kamu sebagai madunya."
Terserah apa kata orang tentangnya, tapi saat ini yang Beni mau hanyalah Lea menjadi istrinya.
Gadis muda yang sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu.
Beni sadar bahwa dirinya memang egois, bahkan serakah karena ingin memiliki dua wanita sekaligus.
Ia menginginkan Amalea menjadi istri mudanya, tapi ia juga tidak mau melepaskan Devi istri yang sudah memberikan dua orang anak yang lucu.
Istrinya pun sudah tahu akan niatnya untuk menikah lagi, tapi ia belum memberitahu wanita mana yang ia pilih.
Saat menyampaikan keinginannya, Devi dengan mentah-mentah menolak niatnya itu.
Ia mengancam jika itu sampai terjadi, tidak akan ada kedamaian dalam rumah tangga barunya.
Beni akhirnya memakai rencana yang licik ini, ia berharap Lea marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Bahkan lebih baik lagi jika Lea hamil, maka semua akan terasa lebih mudah baginya.
Tanpa diminta pun, dengan senang hati Beni akan menikahinya.
Beni sangat yakin dengan begitu, Devi tidak bisa menolak dan menerima Lea sebagai madunya.
Rencana ini sudah ia susun dengan baik dan sangat yakin pasti akan berhasil.
Perlahan Beni naik ke sisi pembaringan, lalu merengkuh bahu Lea mengecup lembut rambutnya dengan sayang.
"Maafkan saya Lea. Saya berjanji setelah ini, semua akan baik-baik saja. Saya pastikan kamu akan bahagia hidup bersama dengan saya."
...🔹️...
Beni terbangun dan merasakan sisi pembaringan yang kosong dan dingin.
Sontak ia terduduk mencari keberadaan Lea yang menghilang dari pelukannya.
Sejenak berikutnya ia menarik nafas lega melihat wanita yang dicari, sedang duduk terdiam dengan pakaian yang sudah lengkap dan rapi.
"Kamu sudah bangun Lea?" tanya Beni mencoba memecah suasana.
Lea masih terdiam tidak menanggapi dengan posisi yang sama.
"Tadi bangun jam berapa?" Lea masih tetap terdiam.
Beni menarik nafas panjang karena merasa diabaikan, "Saya mandi dulu ya, setelah itu kita sarapan dan langsung pulang."
Lea masih terdiam tidak berminat untuk menanggapi perkataan Beni.
Hatinya serasa beku dan mati. Apa yang dirasa saat ini ia pun juga tidak tahu.
Pagi tadi saat ia terbangun, ia berharap semuanya hanya mimpi. Namun begitu ia melihat tubuhnya yang polos tanpa busana, dan Beni yang tertidur seranjang disampingnya, ia tahu bahwa kehancuran hidupnya sudah di depan mata.
"Lea ...." Beni yang sudah mandi dan berpakaian rapi, mengambil tempat duduk di samping Lea.
Ingin rasanya Lea menampar, mencakar dan berteriak serta berlari sejauh mungkin dari hadapan pria ini, tapi kaki dan tangannya terasa lemah dan tidak mau bekerja sama.
"Maafkan saya. Kamu jangan khawatir, saya pasti akan bertanggung jawab ... saya mencintaimu Lea." Beni meraih tangan Lea bermaksud menggenggam tangan wanita yang dicintainya.
**C**iiihhhh, tidak bakal sudi aku memaafkanmu. Tanggung jawab apa yang dimaksud? menikah dengannya?? tidak akan pernah!! Apa tadi dia bilang cinta??, muak sekali rasanya mendengar kata itu dari mulutnya. Kata-kata cacian itu berterbangan di kepala Lea.
Perlahan namun tegas Lea berusaha melepas genggaman tangan Beni. Tidak ada kata yang terucap dari mulut Lea.
Ia bisa saja marah memaki Beni, tapi Lea sadar bahwa saat ini ia masih membutuhkan pekerjaan.
Di kampung kecilnya ini, tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa ia pilih. Apalagi untuknya yang tidak mempunyai pengalaman.
Sedangkan ibunya saat ini sangat membutuhkan biaya rutin untuk pengobatannya.
"Lea---" Beni hendak melanjutkan untuk membujuk Lea.
"Saya mau pulang sekarang pak." Sebelum Beni melanjutkan, Lea segera memotong perkataannya dan langsung berdiri. Ia sudah sangat muak berada dekat dengan pria ini.
"Tapi kamu tidak apa-apa?" Senyum Beni sedikit terbit ia merasa Lea tidak terlalu mempermasalahkan kejadian semalam.
Lea menoleh menatap Beni dengan tatapan tajam dan dahi berkenyit.
Apa maksudnya aku tidak apa-apa? Apa bagi dia ini hal yang biasa? Dasar gilaa!
Menyadari tatapan Lea yang tidak bersahabat, Beni menghapus senyuman dari wajahnya.
"Maksud saya, apa ada badan kamu yang terasa sakit?" lanjut Beni perlahan.
Lea hanya menggeleng dan mendengus menahan emosi.
"Baiklah mari kita pulang saja." Merasa respon Lea semakin dingin, Beni memilih untuk mengalah terlebih dulu.
...🔹️...
Sudah hampir sebulan setelah kejadian malam naas itu, Lea masih bekerja di perusahaan Beni.
Tapi sikap dan sifatnya sudah sangat berubah. Tidak pernah tersenyum, dan tidak mau menatap wajah Beni saat berbicara.
Sungguh Beni dibuat bingung atas sikap Lea. Ia berharap Lea menangis datang kepadanya untuk meminta pertanggung jawaban.
Malah yang ada sikapnya semakin dingin, dan menunjukan permusuhan. Sangat jauh dari rencana yang dibuatnya.
"Duduk dulu Lea." Beni menahannya saat akan keluar ruangan.
Saat ini Beni ingin menyampaikan niatnya meminta Lea menjadi istri keduanya.
Ia ingin tampil sebagai pria yang bertanggung jawab di hadapan Lea.
"Bagaimana kabarmu?, kamu baik-baik saja?" Lea masih diam tidak bereaksi.
"Maksud saya mmm ... apa mungkin ada tanda-tanda kamu hamil?"
Lea mendongak menatap wajah Beni. Memang sempat sebelumnya ia merasa takut akan hal itu, namun ketakutannya itu sirna saat tamu bulanannya kembali hadir.
Lea menggeleng singkat lalu menunduk lagi.
Terlihat raut kekecewaan di wajah Beni, ia berharap perbuatannya pada Lea malam itu membuatnya segera hamil agar semua yang di rencanakannya berjalan lancar.
"Saya ingin bertanggung jawab Lea." Beni menggeser duduknya mendekati Lea, "Saya akan menikahi kamu."
"Saya tidak mau!," tegas Lea.
"Kenapa Lea?, saya yang sudah mengambil kesucianmu dan saya akan bertanggung jawab."
"Saya tidak mau hidup bersama pemerkosa!!." Lea menatap Beni dengan mata yang berkaca.
"Saya melakukan itu karena saya mencintai kamu." Beni berusaha merengkuh pundak Lea, namun ditepis kasar dengan rasa marah.
"Jangan paksa saya pak!!, saya benci bapak!!. Saya benci pemerkosa!!."
"Saya pastikan kita tetap akan menikah Lea!. Saya akan katakan pada orang-orang, bahwa kamu dan saya punya hubungan dan sudah pernah tidur bersama."
"Mereka pasti akan meminta saya segera menikahi kamu. Apa kamu tidak kasihan pada ibumu Lea, jika beliau mendengar berita ini dari mulut orang lain?"
Beni seperti sudah kehabisan kesabaran dengan sikap keras Lea.
Suaranya yang biasa terdengar lembut, saat ini seperti menusuk telinga.
"Saya sangat mencintai kamu Lea, bahkan sejak kamu masih menggunakan seragam sekolah." Beni kembali merendahkan suaranya dan berusaha mendekati Lea.
Lea yang merasa takut dan merasa terancam, segera berlari ke luar dari ruangan Beni.
Ia mengambil tasnya dan segera berlari keluar dari kantor.
Lea merasa bingung tindakan apa yang akan dia ambil. Di satu sisi ia tidak mau berdekatan dengan Beni, tapi ia sangat membutuhkan pekerjaan ini.
Tapi di satu sisi juga, ia merasa takut dengan ancaman Beni yang akan membuka aib apa yang sudah terjadi antara ia dan atasannya.
...🔹️...
Dok ... dok .. dok ...
Suara pintu rumah Lea terdengar cukup keras diketuk orang.
"Siapa Lea? coba kamu buka pintunya, mungkin penting malam-malam gini bertamu." Ibu yang ada di dalam kamar terbangun.
"Pelacuurrrr!!." Tubuh Lea terdorong dan jatuh ke lantai saat baru saja membuka pintu.
Devi istri dari Beni dengan mata sembab dan merah memandang Lea dengan marah.
"Ada apa ini?" Ibu meraih pundak Lea dan membantunya berdiri.
"Tanyakan pada anak ibu yang sudah dengan kurang ajarnya merayu suami saya!" Devi menunjuk Lea dengan telunjuknya.
"Leaa ... benar apa yang dikatakan itu??" Melihat wajah ibu antara bingung, marah dan sedih membuat hatinya tercubit.
"Ibuuu ...." Cucuran air mata Lea tidak terbendung.
"Apa maksudnya Leaaa, coba ceritakan ibu tidak mengerti kalau kamu hanya menangis seperti ini." Ibu memegang kedua pipi Lea.
"Anak ibu sudah merayu suami saya, untuk ke hotel dan tidur dengan dia!," sembur Devi penuh emosi.
"Tidak mungkin, ini pasti fitnah." Netra ibu membulat.
"Jelas saja mungkin pasti karena harta. Mungkin saja anak ibu ingin mendapatkan hidup yang lebih layak. Heeii, jangan berharap kamu bisa menjadi istri kedua suamiku dasar pelacur!!" Devi hendak meraih dan menarik rambut Lea tapi tiba-tiba tangannya ditahan seseorang dari belakang.
"Jangan pakai kekerasan di dalam rumah orang." Devi berbalik menatap orang yang sudah berani mencampuri urusannya.
"Siapa kamu?, ini urusan kami kalau tidak mengerti persoalannya, lebih baik kamu keluar!" Devi berteriak.
"Maaf bu, tapi ini juga urusan saya."
"Saya calon suaminya Lea, jelas saya tidak suka, jika ada orang yang menuduh calon istri saya yang tidak-tidak. Apalagi ingin melukainya." Erik tersenyum menantang.
Devi bergantian menatap Erik dan Lea berusaha mencari kebenaran lewat tatapan mata mereka.
Lea yang masih merasa kaget dengan ucapan Erik, hanya terdiam menatap temannya itu. Dalam hati ia sangat bersyukur Erik datang di saat yang tepat.
"Baik ... tapi ingat Lea, saya tidak mau melihat wajah kamu di kantor suami saya lagi." Devi segera merapikan baju serta rambutnya, dan beranjak ke luar tanpa menoleh sedikitpun.
"Kak Erik terima kasih ya." Lea menatap pemuda di hadapannya dengan mata yang masih basah.
Erik Saputra kakak kelas Lea sejak dari SMP, dan juga tetangga rumah Lea.
Sejak dulu sampai sekarang masih menyimpan rasa pada Lea, namun tidak bisa ia ungkapkan karena ia tahu Lea hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang kakak.
"Ga apa-apa, tadi aku baru aja mau masuk rumah tapi dengar ada suara orang teriak dari dalam rumah kamu."
"Syukurlah sepertinya aku datang di saat yang tepat, perempuan itu hampir saja menyakiti kamu."
"Maaf tapi tadi aku mendengar sedikit, kamu ada masalah apa dengan suami wanita itu?" Saat Ibu kembali masuk dalam kamar, Erik mencoba mencari tahu permasalahan yang terjadi
"Itu Bu Devi istrinya Pak Beni, bos aku kak."
"Pak Beni meminta aku untuk menjadi istri keduanya."
"Lalu kamu mau?" Erik mulai meradang.
"Jelas aku tolak kak, tapi ...." Air mata Lea kembali menetes.
"Kenapa Lea?"
"Pak Beni ... dia sudah memperkosa aku." Lirih terisak suara Lea, ia tak ingin ibunya mendengar ini.
"Apaa? ...."
"Kapan itu Lea??"
"Kenapa bisa terjadi??"
Bertubi-tubi Erik melemparkan pertanyaan yang semakin membuat Lea sakit mengingat malam itu.
Tangis Lea semakin menyayat, Erik yang menyadari kesalahannya, memeluk Lea untuk sekedar memberikan ketenangan.
Ia sadar sebagai korban, Lea pasti merasa berat untuk mengingat apalagi untuk menceritakan kembali.
"Pak Beni mengancam aku, jika tidak mau menjadi istri keduanya ia akan menceritakan apa yang sudah terjadi."
"Aku harus bagaimana kaak ... aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah menghancurkan aku!!."
"Tapi aku takuuttt ..."
Erik semakin memperkuat pelukannya berusaha mencoba memberikan perlindungan.
"Orang itu tidak akan berani menyakiti kamu Lea." Erik menangkup wajahnya, menatap mata Lea dan menghapus air mata yang masih terus menetes.
"Aku akan melindungi kamu, aku jamin tidak ada yang akan berani macam-macam sama kamu. Jadi kamu tenang aja."
"Tadi aku juga bilang ke Bu Devi, kalau aku calon suamimu. Pasti dia akan mengatakan hal yang sama pada suaminya itu."
"Kalau saja orang itu masih berani mengganggu kamu, yaah kita menikah aja." Erik tersenyum lebar dengan kedua tangannya yang masih memegang pipi Lea.
...❤❤...
Haaiii Terima kasih sudah membaca semoga suka.
Like dan komen ya.
Kritik dan sarannya juga ditunggu 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Frans Fs
Lea yang malang /Whimper/
2023-11-01
0
Red Velvet
Kasian Lea, Beni sungguh tega sekali anda🤨
2023-03-24
0
Maya●●●
aku mampir thor
2022-09-26
0