Sella menghempaskan tubuh mungilnya di atas sofa lusuh yang berada di ruang tamu rumahnya, dan melemparkan tas slempangnya begitu saja. Matanya menatap langit-langit rumah yang bercat putih. Ia berusaha menepis kegalauan yang sejak tadi ia rasakan.
"Huufft..." udara keluar dari mulutnya. Ia masih meyakinkan diri tentang kejadian hari ini di atas atap gedung.
'Benarkah laki-laki itu akan menikahiku. Dia hanya bercanda kan? Ah, mana mungkin si. Dia tidak tahu dimana rumahku, apalagi no ponselku, siapa keluargaku, bahkan dia tidak menanyakan hal-hal mendasar soal itu. Lupakan. Anggap kejadian tadi hanya mimpi yang indah'
Sella tersenyum tipis. Ia kini membayangkan seorang pria yang ia tidak yakin siapa namanya. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya, apakah benar yang ingin menikahinya, dan dia adalah orang yang dulu ada di pesta pernikahan yang sudah dihancurkan olehnya? apakah orang yang dipanggil Zen, itu adalah pengawalnya? Apa mereka bersaudara? Lalu kemana istrinya, apakah ia akan disiksa dirumahnya? Ahk.. semua tidak ada yang terjawab.
'Ah, iya. Kalau tidak salah namanya Alrega Leosan, aku ingat nama yang ada dibeberapa karangan bunga ucapan selamat waktu itu. Tapi siapa nama wanita itu kenapa aku lupa? Ahk...abaikan. Itu tidak penting.'
Sella menenangkan gemuruh dihatinya, ia sulit sekali melupakan penipuan yang sudah ia lakukan, rasa bersalah selalu menghantuinya setiap kali ia mengingatnya. Ia merasa menjadi perempuan jahat yang merusak sebuah pesta. Padahal ia tak tahu pesta pernikahan siapa waktu itu.
"Kau sudah pulang?" kata Flinna yang datang dengan membawa beberapa pakaian yang akan dilipat, ia duduk di samping Sella. Lalu berkata lagi,
"Kalau lelah, istirahat saja. Lalu makanlah. Ibu sudah selesai masak hari ini. Ajak Rika, ia sudah sibuk sendiri sejak tadi." Berkata sambil melipat pakaian.
"Ibu apakah aku pantas menikah?" tanya Sella membuat Flinna menghentikan pekerjaannya sejenak, melihat wajah anaknya, lalu menjawab dengan senyum.
"Tentu saja. Siapa yang tidak tertarik pada wanita secantik kamu?" kata Flinna.
"Ibu tidak usah memujiku. Aku anak ibu, pasti cantik, secantik ibuku," kata Sella seraya memeluk ibunya.
"Sella, kamu tidak hanya cantik, tapi juga wanita yang baik. Katakan pada ibu, siapa laki-laki beruntung yang akan menikahimu?"
"Tidak ada. Aku hanya bertanya saja."
"Oh. Padahal ibu sudah yakin kalau sebentar lagi ada laki-laki yang akan melamarmu. Ibu selalu berdo'a agar Tuhan membalas kebaikan dan pengorbananmu."
"Ibu...aku tidak berkorban apapun. Yang aku lakukan adalah kewajiban sebagai anak yang harus membalas jasa kebaikan ibunya."
"Seorang ibu, punya kewajibannya sendiri yang harus ia lakukan demi anak anak yang disayanginya. Jadi kamu tidak perlu merasa harus membalas kebaikan ibu." kata Flinna,
Setelah menarik nafas panjang, ia berkata lagi,
"Pengorbanan sebesar apapun, akan terasa ringan kalau untuk orang yang kita sayang. Karena kasih sayang yang tulus, tidak akan mengharapkan balasan. Kalau kamu tidak berkorban waktu itu dengan meninggalkan kuliahmu, mungkin kamu sudah jadi sarjana yang sukses sekarang"
"Itu bukan pengorbanan, itu keputusan yang aku ambil karena kemauanku sendiri."
"Ibu beruntung mempunyai anak sepertimu. Lihat...sudah banyak wanita seusiamu yang punya anak."
"Lalu, apa hubungan mereka denganku, bu?"
"Ibu ingin kamu cepat menikah dan ibu bisa punya cucu. Hilangkan tekad anehmu itu. Tidak semua laki-laki sama seperti ayahmu. Dan tidak semua nasib perempuan itu sama seperti ibumu."
'Bagiku itu bukan tekad aneh, tapi prinsip yang bagus'
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Percayalah, Sese.. Kamu sudah banyak berbuat baik untuk ibu dan adikmu, saatnya kamu cari kebahagiaan kamu sendiri."
"Ibu..."
"Ibu yakin, kamu akan punya suami yang baik dan tampan."
Mendengar ucapan ibunya, Sella memeluk Flinna sambil berkata,
"Ibu, aku menyayangimu. Aku akan melakukan apapun untuk ibu. Do'a ibu adalah yang terbaik."
'Ahk... hampir saja aku memasukkan laki-laki itu kedalam daftar orang yang tidak harus dibenci. Dia memang tampan, tapi dia tidak baik. Dia pendendam. Bahkan menikah hanya karena menghukumku. Hukuman Macam apa itu. Aku akan mendapatkan siksaan seumur hidupku, bu. Aku lebih baik tidak menikah, kan?'
-
Menjelang sore hari, Sella terus saja menyibukkan diri di tokonya, ia melakukan banyak hal selain melayani beberapa pembeli. Mencatat beberapa barang yang habis, mengepak beberapa pesanan, membalas beberapa pesan dan sesekali melakukan panggilan.
Sella jarang bertemu dengan laki-laki, sehari-harinya laki-laki yang ia temui selain Rejan, ada juga para kurir pengantar barang, ada juga pelayan di pusat grosir atau tukang tambal ban dan pekerja bengkel, karena motor tuanya sering mogok. Selain itu ia jarang berinteraksi dengan lawan jenis. Ia tak suka lama-lama bicara dengan mereka.
Sella mengikat rambutnya tinggi di atas kepalanya, bahkan kaos putih longgar yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Ia masih berdiri di samping etalase dan mencatat beberapa pesanan ketika ada sebuah mobil BMW hitam yang berhenti di depan tokonya.
Deg. Jantungnya berdegup.
'Ini adalah mobil yang aku lihat ada di halaman parkir gedung itu. Apakah ini dia? Laki-laki itu?'
Mata Sella menatap mobil yang jendela kacanya mulai turun secara perlahan. Tampak sebuah wajah tampan muncul di sana, dengan kaca mata hitamnya. Laki-laki itu tidak turun dari mobil, sepertinya ia hanya melihat-lihat saja.
Sella mengabaikannya. Ia meneruskan mencatat pada buku list pesanannya. Tanpa ia sadari Alrega yang ada dalam mobil itu menatapnya.
'Jadi seperti ini kehidupannya?'
"Zen, kirim beberapa barang kebutuhan rumah tangga yang kira-kira mereka butuhkan, atau ganti saja perabotan rumah mereka, semuanya"
"Baik, tuan. Kapan anda ingin saya mengirim nya?"
"Jangan terburu-buru. Aku takut kalau perempuan itu mati sakit jantung nanti," kata Alrega menahan tawanya.
Ia membayangkan reaksi Sella yang tiba-tiba terserang penyakit jantung, matanya melotot dan nafas yang tersengal-sengal, lalu pinsan, karena ia mendapatkan kiriman barang-barang yang tidak dipesannya. Seketika Alrega merasa lucu, da hampir tertawa.
Alrega sebagai CEO Art Design Group sangat menjaga wibawanya, hingga ia jarang menunjukkan ekspresi berlebihan, apalagi tertawa.
Zen melihat ekspresi Alrega yang terlihat gembira. Ia bernafas lega kalau suasana hati tuannya itu, sedang baik sekarang.
"Pastikan, ketika aku berkunjung nanti aku tidak duduk di kursi rusak."
'Apa anda akan mengujungi rumah kecil itu. Aku saja sudah cukup, tuan'
"Baik..."
Mobil itu tetap di sana, penumpangnya juga tidak turun membuat Sella penasaran dan menghampiri. Ia mendekat pada jendela mobil yang terbuka. Ia terlihat kesal sambil berkata,
"Maaf, tuan. Kalau tidak punya urusan, tolong jangan parkir di depan toko. Anda menghalangi pembeli yang akan masuk." membungkuk hormat dengan senyum ramah.
"Ck. Orang lain memang harus menyingkir kalau aku datang." jawab Alrega sambil mengalihkan pandangan.
'Sombong'
Zen turun dari mobil dan membiarkan pintunya terbuka. Lalu bertanya,
"Apa yang anda butuhkan, nona?" sambil menundukkan kepalanya.
"Orang yang datang ke sini, biasanya orang yang membutuhkan sesuatu. Bukannya bertanya apa yang aku butuhkan." kata Sella.
"Tapi, tidak masalah bagi tuan Rega, kalau anda membutuhkan sesuatu, katakan saja. Maka tuan akan memberikan untuk anda." kata Zen masih dengan ekspresi datarnya.
"Terimakasih atas kebaikan anda, tuan Rega. Tapi saya tidak membutuhkan apapun. Jadi silahkan pergi kalau tidak ada keperluan lain lagi," kata Sella mulai kesal.
"Berikan no ponselmu," kata Alrega masih dengan duduk di dalam mobilnya.
'Untuk apa?'
"Baik." jawab Sella mengambil ponselnya diatas etalase, melihat sekilas lalu menyimpannya kembali. Lalu mencatat beberapa nomor miliknya dalam secarik kertas. Ia memberikan catatan itu pada Zen.
"Ini," kata Sella. Dan Zen menerima catatan nomor ponselnya.
"Coba lihat hp-mu," kata Alrega lagi.
Sella mengeluarkan ponselnya dan Alrega mengerutkan keningnya saat melihat ponsel ditangan Sella.
"Ini, tuan," kata Sella mengulurkan ponselnya pada Alrega. Pria berjas rapi itu tidak mengambilnya, ia hanya melihat sekilas lalu melirik Zen.
"Apa ponsel seperti ini masih bisa dipakai?" Zen diam mendengar pertanyaan Alrega. Tapi Sella langsung menyela.
"Tentu saja. Aku memakai ponsel ini setiap hari. Apanya yang salah?"
"Tidak ada yang salah, nona," kata Zen, ia terlihat sungkan tapi menghargai Sella. Mana berani dia bilang pada calon nona muda kalau ponselnya jelek.
"Buang saja ponselmu itu," kata Alrega, menahan jijik menatap ponsel Sella.
'Memangnya kamu, kita tidak sama... kita tinggal di dunia yang berbeda? Mana bisa asal membuang ponsel begitu saja. Gila ya.'
"Jangan! Enak saja. Aku membelinya dengan susah payah," kata Sella.
Alrega keluar dari mobilnya, dan menutup pintunya dengan keras.
Bukk!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
miawies
like lagi, semangat terus up nya. salam dari QUEEN OF THUNDEROUS
2022-01-23
7
Aris Pujiono
alrega gak niat ganti
2022-01-16
8
HIATUS
semangat kaka😀
2022-01-13
8