Ketiga wanita yang ada dihadapan Sella hanya terdiam sambil terus menatap keluar jendela. Mereka kemudian duduk dengan terburu-buru didekat Sella. Flinna dan Rika berkata bersamaan,
"Tadi ada orang yang mencurigakan." Kata-kata mereka membuat Sella mengerutkan dahinya dan mengamati keadaan disekitar rumah mereka.
"Mencurigakan? Jadi itu yang membuat ibu kuatir?" tanya Sella. Ketiga wanita itu mengangguk bersamaan.
Sella beranjak dari duduknya dan keluar rumah, mengitarinya dan berdiri didepan toko sambil melipat kedua tangan didepan perutnya. Ia tidak melihat apapun yang aneh, atau mencurigakan, semua biasa-biasa saja.
Tapi naluri melindungi muncul saat ada seorang pria yang berpakaian serba hitam dan berkaca mata hitam, menghampiri tokonya dan ingin membeli sebungkus rokok.
Sella belum pernah melihat dan mengenal pria seperti ini dilingkungannya. Setahu Sella, orang seperti ini hanya bekerja untuk lembaga, perusahaan atau orang-orang tertentu saja.
Saat melayani orang berwajah sangar itu, Sella menatap wajahnya dengan tajam, mencari sebuah kebenaran tentang jati diri laki-laki itu. Tatapan mata Sella seolah ribuan panah dewa Arthemis, sang dewa pemburu pada kisah legenda Yunani kuno, yang siap meluncur kearah musuhnya. Tapi Sella tidak menangkap sinyal kejahatan dimatanya.
Setelah orang itu pergi, Sella mendekati ketiga wanita yang tengah ketakutan. Ia tersenyum tipis sambil memeluk Flinna.
"Ibu, tenanglah. Tidak ada apapun yang bisa menyakiti ibu selama ada aku." kata Sella menenangkan ibunya.
Tentu saja Sella menghkawatirkan ibunya, karena dari pengalamannya selama merawat Flinna, perempuan paruh baya itu akan tertekan bila muncul rasa kekhawatiran yang berlebihan, tidak boleh ada dalam pikiran dan perasaan Flinna, hal buruk yang dapat memgganggu mentalnya.
"Orang itu seperti mengamati rumah kita dan mondar-mandir sejak tadi." kata Flinna dan diangguki oleh Runa dan Rika.
"Maksud ibu, laki-laki yang tadi membeli rokok?" tanya Sella, dan ketiga wanita yang duduk di sofa usang itu kembali mengangguk.
"Tidak usah kuatir. Sepertinya, dia pria baik-baik. Mungkin memang dia seorang pengangguran yang dibayar untuk menjaga kita. Atau... dia orang yang menyukaiku, bu." kata Sella sambil tertawa.
Ia mencoba mengalihkan perasaan khawatir ibunya, karena Flinna hanya boleh merasakan bahagia, agar semua baik-baik saja. Ia yakin dengan nalurinya bahwa pria yang mencurigakan itu tidak bermaksud jahat. Berprasangka baik itu bagus, kan?
"Kau ini." kata Flinna menyenggol lengan Sella dengan siku tangan.
"Haha. Itu lucu kan, bu. Kupikir ibu akan senang bila aku menikah?" kata Sella masih dengan tertawa.
"Kakak. Ini tidak lucu. Ibu hampir menangis tadi karena orang itu sempat melongok kesegala arah di sisi rumah kita." kata Runa.
Mendengar kata-kata Runa, Sella menarik tangan adiknya dengan keras.
"Apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan? Bagaimana kalau ibu sakit? Apa kamu sanggup mengurusnya?" kata Sella lirih, tapi penuh tekanan.
'Dasar adik menyebalkan.'
"Kakak, aku sudah mencoba menenangkan ibu, tadi. Aku sudah bertanya pada orang itu, tapi dia diam saja."
"Apa yang kamu tanyakan?"
"Ada urusan apa kesini? Apa anda mencari sesuatu, pak? Tapi dia hanya melirikku saja lalu pergi."
"Ya, sudahlah. Lain kali kalau ada hal seperti ini hubungi kakak."
"Aku sudah menelponmu, tapi kakak tidak perduli."
"Oh, maafkan aku. Mungkin aku sedang dijalan. Pergilah belajar. Biar aku yang mengurus ibu." kata Sella seraya kembali mendekati ibunya dan mengajaknya bicara hal-hal yang ringan agar Flinna melupakan kekhawatirannya.
Setelah ibunya tenang dan kembali melakukan aktifitas kesukaannya menjahit pakaian, Sella bernafas lega. Ia tak ingin kejadian saat dulu ia masih anak-anak yang menjelang remaja, terulang kembali. Saat-saat yang sangat melelahkan baginya. Dimana ia harus bekerja, sambil menyelesaikan sekolahnya sementara ibunya tidak bisa berbuat apa-apa karena depresi yang diderita.
Saat itu ayahnya pergi bersama wanita lain yang ternyata telah menjadi istri ayahnya. Mereka tidak berdaya, dan hanya bisa menangis karena rasa sakit kehilangan kasih sayang seorangbayah. Sedangkan mereka juga tidak memiliki uang.
Sella hampir saja menitikkan air mata memgingat bagaimana tubuh lemahnya harus menanggung beban seberat itu demi ibu dan adiknya. Sakit sekali perasaannya, tapi ia tak bisa mengungkapkannya pada siapapun. Ia terbiasa menanggung lukanya sendiri, merasakan lelahnya sendiri, hingga ia menjadi setegar ini. Walau pada akhirnya ia jadi sangat membenci ayahnya yang seorang laki-laki.
Sambil menenangkan hatinya yang mengingat masa lalu, Sella menyibukkan dirinya di toko, mengecek stock barang, mencatat pesanan dan melayani pembeli yang silih berganti datang.
Sampai sore, lalu menjelang malam, kini Sella mulai merasa was-was. Pria itu masih ada disekitar rumah mereka. Sella menceritakan kegelisahan hatinya pada Rejan. Adik laki-lakinya ini mengerti, untuk waspada tanpa menimbulkan kecurigaan ibunya kembali.
"Sebenarnya siapa mereka, bahkan sepertinya jumlah mereka bertambah." gumam Sella.
Ia dan Rejan, sama-sama berlatih ilmu beladiri dengan baik, tapi kalau harus menghadapi pria-pria kekar itu, hanya ia sendiri dan Rejan, tentu tidak akan sanggup. Sella hanya berharap semua kekhawatiran mereka salah.
***
Di tempat lain diruangan kantornya, Alrega duduk di sofa besar yang berada di depan meja kerjanya. Ruangan yang cukup besar dengan fasilitas mewah, membuat siapapun betah tinggal berlama-lama di dalamnya. Bahkan bila lelah, Alrega akan beristirahat dikamarnya yang ada disebelah bufet tempati untuk menyimpan berbagai macam buku.
Zen juga duduk di depan Alrega sambil mengamati laptopnya. Sesekali mereka menyeruput kopi panas yang tersedia di atas meja.
"Apa saya boleh bertanya, tuan?" tanya Zen memecah keheningan, hari sudah merambat pada malam, tapi Alrega belum hendak pulang.
"Hemm." gumam Alrega.
"Kenapa anda ingin menemuinya, gadis itu. Apa ada hubungannya dengan nona Delisa?"
"Ck! Kau masih memanggilnya nona."
"Ya. Deli maksud saya."
"Aku tidak akan marah. Panggil dia sesukamu saja." kata Alrega, dia diam sejenak seperti beefikir lalu berkata lagi, "Kau bisa membawanya besok?'
'Aku bisa membawanya saat ini juga, tapi dengan alasan apa. Aku tidak mungkin membuat keributan dalam keluarga itu, kan?'
"Bisa, tuan." jawab Zen sambil menatap Alrega sejenak. Lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Pasti kau sudah menyimpan anak buahmu, berjaga di rumahnya. Apa aku benar?"
"Benar" Zen menjawab dengan menatap Alrega serius.
"Apa kau mencurigaiku?"
"Maaf, tuan.'
"Ya. Kau benar. Tentu ada hubungannya dengan Deli."
'Jadi tebakanku benar, anda akan menikahi gadis itu karena Delisa kembali?'
"Tapi tuan, dia perempuan yang sudah menipu anda." sahut Zsn.
'Bahkan kupikir dia tidak akan mau menikah dengan anda.'
"Apa kamu tidak mengerti juga? Dia orang yang tepat."
'Bahkan dia bukan tipe anda'
"Baik, tuan. Saya faham." jawab Zen datar.
"Siapa pemilik Davilla sekarang. Aku ingin membelinya dengan harga yang pantas." kata Alrega mengalihkan pembicaraan.
'Perempuan bodoh itu, menjual gedung semegah itu dengan harga murah. Dia bahkan tidak bisa menghargai dirinya sendiri, menjual hadiah mas kawin dengan harga yang tidak pantas.'
"Davilla, sejak bukan milik Deli lagi, sudah berpindah tangan sebanyak dua kali. Itu yang saya ketahui. Mereka tidak merawatnya dengan baik."
"Karena itu beli Davilla kembali. Gedung itu harus berada ditangan yang tepat. Aku mendedikasikan gedung itu untuk pasangan hidupku. Bagaimana aku membiarkannya berada ditangan orang lain."
Membangun sebuah gedung yang sebagus Davilla, akan membutuhkan waktu lama, sedangkan Alrega ingin memiliki gedung itu dengan maksud tertentu. Jadi akan lebih baik kalau membelinya kembali, secepatnya.
'Ck! Anda benar-benar akan balas dendam dengan perempuan itu rupanya. Baiklah, anda selalu tahu apa yang akan anda lakukan. Aku hanya mengikuti rencana anda saja.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Hajime Nagumo
🙄🙄🙄🙄🙄
2022-03-07
8
Aris Pujiono
bikin penasaran ceritanya
2022-01-03
6
Hanum Anindya
salut sama Della yang mau mengurus ibunya.
2021-12-11
10