Ban 2. Pria Yang Berbeda
Sella melihat kembali makanan yang tergantung di motornya, itu makanan dari ibu Rere, wanta itu selalu memberi Sella makanan bila ia mampir ke rumahnya. Setiap ibu selalu memiliki kasih sayang yang sama.
Sella teringat percakapan mereka tadi, saat wanita itu memberinya sebungkus makanan. Ia belum sempat menyalakan mesin motornya, saat ibu Rere mendekat.
Ia berkata, "Ini, untuk adik dan ibumu. Aku membuatnya sendiri."
"Apa ini, bu?" tanya Sella.
"Brounies kering, ini enak ... Bawalah."
"Terimaksih."
Sella menerima dengan senang hati, ia tersenyum sambil melambaikan tangan pada keluarga kecil yang bahagia itu. Kemudian ia melajukan motornya kembali dijalanan menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Sella meletakkan bungkusan makanan di meja, yang langsung diserbu oleh adik perempuannya.
"Nah ini, cemilan kesukaanku yang enak, kakak beli, ya?" Kata Runa sambil menikmati cemilannya.
"Tidak. Ibu Rere yang membuatnya," jawab Sella sambil mengibas-ngibaskan topi ke wajahnya yang memerah karena gerah.
Itu kebiasaannya, menggunakan topi yang ia dipakai, menjadi kipas. Ia selalu memakai topi kemana pun ia pergi, untuk menutupi rambut ikalnya yang susah diatur.
"Oh, aku kira ada laki-laki yang menyukaimu lalu memberi kakak hadiah ini," kata Runa.
"Oh, ternyata serendah itu penilaianmu tentang jodohku, dengan laki-laki yang hanya memberikan cemilan seperti ini sebagai hadiah?" Sella melirik adik perempuannya dengan kesal.
"Haha. Bukan ... bukan begitu kakak, tapi boleh juga standar kakak soal laki-laki yang bakal jadi suami."
"Aaah, diam kau. Aku sudah bilang kan, aku tidak butuh laki-laki di dunia ini dan aku benci mereka, selamanya!"
"Kakak. Apakah itu berarti kakak membenciku juga selamanya?" kata Rejan yang tiba-tiba muncul dari balik kamarnya dengan wajah cemberut. Ia adik laki-lakinya.
"Kamu adalah adikku. Mana mungkin aku membencimu," sahut Sella, seraya berdiri dengan cepat dan memeluk pundak adik laki-lakinya dengan tangan kanannya.
"Tapi aku juga laki-laki," kata Rejan menepis tangan Sella dan kembali masuk ke kamarnya.
Sella mencebikkan bibir dan mengangkat kedua bahunya, lalu duduk kembali di sofa.
"Sese, rubahlah prinsip konyolmu itu," kata Flina. Wanita yang sudah melahirkan tiga orang anak itu, menepuk-nepuk bahu Sella.
Flinna duduk berdampingan dengan kedua anak perempuannya, sambil membelai rambut Sella yang terburai panjang sampai kepinggang.
Sella sangat menyayangi ibunya. Banyak sudah pengorbanan yang dilakukannya demi wanita itu. Ia seorang janda yang ditinggal suaminya pergi, demi wanita lain, yang lebih cantik dan lebih muda dari dirinya.
"Tidak semua pria sama seperti ayahmu, belum tentu juga nasibmu akan sama sepertiku. Jadi bukalah hatimu, agar kamu bisa bertemu dengan laki-laki yang baik dalam hidupmu," kata Flinna penuh kasih sayang. Wanita yang senang berkebun itu tersenyum manis.
"Ibu, kak Sese punya standar tinggi pada laki-laki ... wajar ia tidak mau menikah kecuali ...." kata Runa sambil menahan tawa.
"Apa?!" Kata Sella.
"Kecuali dengan laki-laki yang bisa memberimu segalanya," sahut Runa.
"Mana ada laki-laki seperti itu?" Kata Sella sambil menepuk keras punggung Runa
"Jangan berhayal terus, belajar sana yang rajin, sebentar lagi kamu ujian, apalagi kamu mau kuliah, kan?"
Pengalaman buruk yang Sella alami saat ditinggal sang ayah, membuatnya takut pada laki-laki sekaligus membencinya. Ia menganggap semua laki-laki akan seperti ayah, yang menyakiti ibunya.
Ia tak ingin disakiti juga seperti yang terjadi pada ibunya. Sikap buruk sang ayah, mengakibatkan ibunya depresi, membuat ia harus berusaha bertahan hidup dan menyelesaikan sekolahnya sendiri.
Adik-adiknya masih kecil saat semua itu terjadi. Ia bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya seorang diri, tanpa kehadiran seorang laki-laki.
Karena itulah Sella kemudian bertekad, tidak akan menikah selamanya. Ia merasa mampu menghidupi ibu dan adik-adiknya, walaupun dengan penghasilan seadanya. Bahkan ia sering kelaparan karena makanan yang ia dapatkan, ia berikan semua pada adik-adiknya.
"Baik, tuan putri Sese yang galak, aku akan sangat rajin belajar biar aku dapat beasiswa. Jadi tuan putri galak, tidak perlu membiayai kuliahku." Runa berkata sambil beranjak meninggalkan Sella dan ibunya, melangkah ke kamarnya.
"Bagus. Itu baru adikku," sahut Sella sambil mengacungkan jempolnya, tapi Runa menyambut dengan menjulurkan lidahnya.
***
Keesokan harinya di ruangan Alrega.
Laki-laki berwajah bersih dan memakai kemeja putih itu, duduk tenang di kursi kerjanya sambil membolak balikkan file di atas meja. Ekspresi wajahnya berubah-ubah, saat membaca isi file ditangannya.
Ia menoleh kearah pintu, saat terdengar suara ketukan.
"Masuk!" Katanya seraya kembali melihat berkas di tangannya, setelah tahu siapa yang datang.
Zen masuk dan menutup pintunya kembali, ia mendekwti Alrega dengan wajah pias dan berkeringat.
"Mana ... Apa kau tidak menemukan perempuan itu?" tanya Alrega, sambil mengernyitkan keningnya. Heran melihat Zen yang datang sendiri tanpa seseorang yang dicarinya.
"Maafkan saya, tuan," hanya itu yang bisa dikatakan Zen.
Pagi itu, ia mengumpulkan semua petugas kebersihan yang ada dan mencari perempuan yang kemarin ditemuinya di halaman parkir bawah gedung. Tapi perempuan itu tidak ada.
Zen menyesal, kenapa ia tidak melihat gadis itu dengan teliti? Ia tidak melihat tanda pengenal, yang biasanya menempel disemua pakaian petugas kebersihan perusahaannya.
Seharusnya ia memperhatikan atau mencatat nama perempuan itu, ia harus menghukum pegawai, yang sudah bersantai saat jam kerjanya masih berlaku.
"Apa kau tidak salah kali ini?"
"Maafkan saya, tuan."
"Apa kemampuanmu sudah hilang?" kata Alrega, seraya menatap Zen dengan raut muka masam.
Zen diam, meminta maaf juga percuma karena apa yang diinginkan Alrega, tidak dapat dipenuhinya kali ini.
Sebagai orang yang menjadi tangan kanan Alrega, biasanya ia akan cukup handal. Tapi sekarang sepertinya kesabarannya masih diuji.
Zsn mempunyai beberapa kemampuan yang melebihi kemampuan Alrega. Baik itu ilmu beladiri, kemampuan menyelidiki, atau berbagai macam disiplin ilmu lainnya, yang bisa mendukung pekerjaannya.
Walaupun begitu, ia tetap memilih untuk setia pada Alrega dan keluarganya. Mungkin kalau ia mau, akan seumur hidup melakukannya, demi membalas budi dari kebaikan keluarga Alrega pada kedua orang tuanya.
"Saya akan membawanya besok, tuan." Zen berjanji.
"Sebelum makan siang kau sudah harus menemukannya."
"Baik, tuan." jawab Zen yang kemudian kembali ke ruangannya sendiri.
Alrega menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Matanya terpejam memikirkan sesuatu.
'Ini kebetulan sekali, aku menemukan perempuan itu saat Delisa kembali. Dia rang yang tepat.'
Semua tentang Sella sudah ia ketahui, hanya saja alamat rumah yang ada dalam file itu berbeda. Ia akan mengutus seseorang untuk mencarinya.
Sementara itu, disebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan Alrega.
Zen tengah menghubungi seseorang yang menjadi kepercayaannya, untuk mencari Sella. Ia tengah melihat dari CCTV yang ada dalam gedung dan mencari tahu ada keperluan apa Sella disana.
Setelah beberapa waktu berlalu, Zen menerima sebuah panggilan, ia berbicara ditelepon sambil beranjak pergi. Pria itu menuju sebuah ruangan di lantai dasar, menemuinya Rere, sahabat Sella.
Dalam ruangan itu, Zen duduk dengan menumpuk kedua pahanya secara bersilang di hadapan Rere, yang berdiri dengan tegang. Ia meremas tangannya sendiri, sedangkan kakinya terlihat gemetar. Ia tidak tahu kesalahnnya hari itu, hingga ia dibawa seorang petugas keamanan, dan sekarang ia harus berhadapan dengan orang yang paling disegani di perusahaan.
"Kau punya teman, kan. Katakan siapa temanmu yang kemarin?"
'Temanku yang kemarin, siapa?'
"Teman yang mana, tuan?"
Ia tahu kalau laki-laki yang duduk dihadapannya ini adalah orang yang lebih mengerikan, daripada bos besarnya di perusahaan. Bila bos besar mengatakan sesuatu, maka orang inilah yang akan mengeksekusinya. Bagi Zen, kata-kata Alrega adalah perintah.
Sebagai karyawan rendahan, Rera belum pernah bertemu secara langsung, dengan petinggi perusahaan seperti saat ini.
Ketika membersihkan ruangan bosnya, ia hanya bertugas diluarnya saja. Ada tim khusus yang bertugas membersihkan ruangan mereka. Ketampanan Alrega dan Zen sebagai bos, selalu menjadi pusat perhatian di perusahaan tempatnya bekerja.
"Namanya Sella. Apa kamu kenal dia?"
'Oh, Sese ... Tapi tunggu, darimana dia tahu namanya Sella, ada urusan apa dia mencari Sese, apa aku salah kemarin membawanya masuk ke dalam gedung? Mati aku!'
"Aku lihat dari CCTV, kamu membawa orang yang bukan pegawai di sini, masuk gedung tanpa izin, ini sebuah pelanggaran. Apa kamu lupa peraturan itu, ha?"
"Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Rere berkata sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Kamu pikir kesalahan bisa dihapus hanya dengan meminta maaf. Kamu pikir memaafkan itu mudah, ha?" Suara Zen meninggi.
Kalau memang memaafkan itu mudah, tidak ada gunanya manusia membuat berbagai peratutan di mana pun mereka berada. Tanpa peraturan, maka manusia tidak akan mendapatkan hukuman, bila setiap kali berbuat kesalahn.
Disetiap tempat memiliki aturan dan hukum yang berbeda-beda. Bahkan Tuhanpun membuat peraruran untuk manusia, menciptakan surga dan neraka sebagai balasan atas perbuatannya.
"Tapi, apakah saya akan dipecat hanya karena kesalahan ini?" Rere mulai ketakutan.
Kata dipecat adalah kata yang lebih menakutkan dari pada melihat hantu, saat ia sendiri di malam yang gelap.
"Kau bilang hanya? Apa kau anggap kesalahan ini kecil sampai kau bilang, hanya?"
"Maafkan saya, Tuan. Apa yang bisa saya lakukan untuk menebusya?" Rere mulai menitikkan air mata.
"Hubungi dia," sahut Zen tegas.
Sebenarnya Zen hanya mencari sebuah kepastian, tentang bagaimana kepribadian Sella dari mulut sahabatnya.
"Apa?!"
'Tapi untuk apa? Sella tidak salah. Bahkan dia bukan anak buahnya'
"Hubungi temanmu itu, suruh dia kemari!"
"Baik, baik, saya akan menelponnya," jawab Rere gugup setengah mati.
Heran campur sungkan. Bagaimana ia bisa membawa Sella kemari, alasan apa yang akan ia katakan nanti.
"Berikan nomor ponselnya padaku!" Kata Zen.
Permintaan Zen kali ini lebih mengherankan lagi bagi Rere, meskipun begitu, ia tetap memberikan apa yang Zen minta, memberikan nomor Sella padanya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Nonny
tulisan rapi ga kya aku
2022-02-11
7
Husna_az
aku mampir kakak. maaf baru sempat hari ini😁😁
2022-01-13
6
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
mau bilang apa lagi?
karyamu sangat keren thor.
2022-01-12
5