Satu minggu sudah Nenek Tari meninggalkan Anye sendiri di dunia ini. Hal itu membuatnya seolah-olah menjadi mayat hidup, ditambah kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung dengan status belum menikah. Ia tak pernah membayangkan bagaimana nantinya tanggapan orang-orang saat tahu dirinya hamil di luar nikah.
Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidupnya tetapi ia teringat akan pesan Neneknya untuk selalu kuat dan menggapai cita-citanya walau tak ada lagi Nenek disisinya.
Ia juga sempat berniat untuk menggugurkan kandungannya, tapi lagi-lagi gagal karena pesan Neneknya selalu terngiang-ngiang. Ditambah ia takut resiko fatal apabila melakukan aborsi.
Meskipun sedang berduka atas meninggalnya Nenek tercinta dan juga masalah tentang kehamilannya yang ia sendiri pun tak tahu harus bagaimana, Anye tetap bekerja seperti biasa, menyembunyikan kesedihan dan kekalutannya di hadapan orang lain.
Ya, hidup terus berjalan, siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang berjuang. Anye selalu menyemangati diri sendiri bahwa suatu ketika ia akan menemukan jalan keluar dan nasib baik berpihak padanya. Ia yakin itu, selagi ia masih berusaha dan juga disertai doa tentunya.
"Nye."
Panggilan itu membuyarkan lamunannya, ia pun terkesiap. Sampai-sampai pulpen yang ada di tangan kanannya meluncur bebas ke lantai.
"Eh..ma-maaf Pak, Bapak manggil saya?" tanya Anye gugup.
Anye memang memilih menyebut pasangan suami istri pemilik perkebunan dengan panggilan bapak dan ibu. Padahal baik Pak Irawan maupun Bu Lusi sudah meminta mengubah panggilan dengan Om dan Tante saja seperti dulu waktu mereka masih bertetangga.
Namun Anye menolak dengan alasan menghormati beliau yang merupakan pimpinan tempat ia bekerja.
Pria paruh baya itu tersenyum." Kamu melamun?" Hanya dijawab gelengan serta senyum tipis dari bibir Anye.
"Saya cuma mau kasih tau, Kayla sedang dalam perjalanan pulang, mungkin sekitar jam lima sore sudah tiba di bandara, apa kamu mau ikut kami ke Jakarta untuk jemput Kayla sekalian jalan-jalan."
Pak Irawan tau bahwa suasana hati Anye pasti masih sedih, maka dari itu ia sudah sepakat dengan istrinya untuk mengajak Anye jemput Kayla, itung-itung refreshing.
"Owh Kayla akan pulang Pak? saya senang mendengarnya, terima kasih atas niat baik Bapak, tapi lebih baik saya menunggu Kayla di sini saja, lagi pula pekerjaan saya masih banyak yang belum close," ucap Anye mencoba menjelaskan.
"Ya sudah setelah ini Om dan Tante akan langsung ke Jakarta, jangan lupa makan."
Pak Irawan beserta istri memang sangat menyayangi Anye. Mereka menganggap Anye seperti anak kandungnya. Wajar saja karena mereka hanya memiliki satu anak yang sudah lama tinggal di New York.
"Baik Pak. Bapak dan Ibu hati-hati di jalan, salam buat Kayla ya Pak, nanti kalau sudah di sini saya temui di rumah."
Pria paruh baya tersebut menjawab dengan anggukan lalu segera keluar kemudian mengendarai mobilnya. Setelah kepergian Pak Irawan, Anye kembali hanyut dalam pekerjaannya. Banyak pengiriman yang pending karena ia tidak bekerja selama dua hari saat Neneknya meninggal.
Hari sudah malam. Saat Anye akan membaringkan tubuhnya di atas kasur terdengar ketukan pintu. Ia bertanya-tanya siapa kira-kira bertamu malam-malam begini. Mengingat Anye belum mempunyai teman yang akrab di daerah ini. Dengan tetangga sekitar pun ia hanya menyapa sekedarnya apabila bertemu. Anye segera berjalan ke arah pintu. Saat membuka pintu, ia pun dikejutkan dengan satu teriakan yang cukup menyakitkan indera pendengarannya.
"Anyeliiirrrr!" teriak Kayla sambil merentangkan kedua tangannya yang siap untuk memeluk Anye."kangen..kangen..kangen," imbuhnya mengeratkan pelukan.
"Astagfirullah Kay, aku pikir siapa malem-malem bertamu sambil teriak-teriak," ucap Anyelir kemudian mengurai pelukannya.
"Hahahahaa." Hanya tawa yang keluar dari mut Kayla.
"Kamu sudah sampai? masuk yuk, di luar dingin," ajak Anye.
Mereka pun masuk. Tak lupa Anye menutup pintu. Lalu mereka menuju sofa yang ada di ruang tamu. Mereka pun duduk di sana.
"Baru aja nyampe, makanya langsung ke sini. Tadi Ayah cerita katanya kamu udah sebulan lebih tinggal di sini."
"Iyah, ehm...mau minum apa?"
"Alaah kaya sama siapa aja, gak usah repot-repot, kalau mau ntar ambil sendiri. Nye...aku turut berdukacita atas meninggalnya Nenek Tari."
Diingatkan akan Neneknya, wajah Anye kembali murung bahkan matanya sudah berkaca-kaca.
"Maaf Nye, bukan maksudku buat kamu sedih, sabar ya. Insya Allah Nenek udah bahagia di sana," ucap Kayla menenangkan Anye sambil mengusap-usap punggungnya.
Tak terasa air mata Anye mengalir begitu saja. Entah karena teringat Neneknya atau sedang meratapi nasibnya atau mungkin juga karena keduanya. Tiba-tiba Anye berdiri kemudian berlari menuju kamar mandi demi untuk memuntahkan isi perutnya.
"Kamu sakit Nye?" Tanya Kayla khawatir. "Mau aku buatin teh hangat?" tawarnya kemudian.
"Aku gak papa Kay, mungkin cuma kecapean."
"Tapi muka kamu pucat banget. Aku tidur di sini malam ini ya, temenin kamu takut kenapa-kenapa," ucap Kayla.
"Langsung tidur aja yuk, aku cuma butuh istirahat aja kok."
Pagi harinya Anye perut Anye kembali mual, ia pun tak bisa menahannya, cukup lama ia di dalam kamar mandi karena muntah terus menerus. Hal itu membuat Kayla makin khawatir, sehingga ia memaksa Anye untuk berobat ke dokter.
"Ayok Nye aku anterin ke dokter, kamu lemas gitu, muka kamu udah seperti mayat tau gak."
"Aku gak papa Kay."
"Jawabannya gak papa terus, jangan-jangan kamu hamil ya," ucap Kayla.
Sebenarnya Kayla hanya bercanda melontarkan kalimat seperti itu. Tapi lain halnya dengan Anye yang langsung menegang. Tak lama bahunya bergetar yang menandakan ia menangis. Kayla yang melihatnya menjadi kebingungan.
"Ma-maaf Nye, aku cuma bercanda."
Tubuh Anye ambruk, ia menangis sambil merangkul lututnya sendiri. Kayla menghampiri lalu memeluknya dari samping. Akhirnya Anye menceritakan semuanya, termasuk memberitahu tentang kehamilannya.
Anye pun menanyakan apakah Kayla mengenal orang yang bisa menggugurkan kandungan. Tentu saja hal itu langsung ditentang oleh Kayla. Kayla menyarankan agar Anye tetap mempertahankan kandungannya, jangan sampai ia berbuat dosa dengan menghilangkan nyawa yang tak berdosa.
Kayla juga menawarkan kepada Anye untuk ikut dengannya ke New York. Ia nantinya beralasan bahwa kampusnya membutuhkan seorang asisten dosen, tapi memang salah satu dosennya membutuhkan asisten. Karena Anye pintar maka Kayla menawarkan pekerjaan itu.
"Untuk sementara kamu boleh tinggal dengan ku, selamanya juga boleh sampai kamu bosan," jelas Kayla.
Setelah berbicara dengan kedua orang tua Kayla, Anye segera mengurus paspor dan surat penting lainnya untuk dibawa ke New York. Hari itu pun tiba, Anye telah sampai di negeri Paman Sam, ia berdoa semoga kehidupan nya bisa lebih baik, ia bertekad memulai hidup baru dengan lingkungan baru tentunya dengan darah daging yang sedang ia kandung.
"Oek...oek...oek."
Tangisan kencang menggema di seluruh ruang persalinan. Anye bersyukur ia bisa melewati kehamilannya tanpa kesulitan dan sekarang bayi yang dikandungnya selama tiga puluh sembilan minggu telah terlahir ke dunia.
"Selamat Nyonya, bayi anda perempuan dan ia sangat cantik," ucap salah satu perawat sambil memperlihatkan bayi dalam gendongannya.
Hati Anye menghangat ketika pertama kali menatap sepasang mata bulat itu. Bibirnya mungil dan berwarna pink. Kulitnya putih bersih dan rambutnya pun lebat dan halus.
***
Lima tahun kemudian
"Elen, Mamah pergi ke kampus dulu ya Sayang. Kamu boleh menyelesaikan semua ini tapi jangan lupa makan dan tidur siang. Nanti minta dibantu oleh Bibi Mary ok?" ucap Anye pada gadis cantik berusia empat tahun.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum, tak lupa memberi kecupan pada pipi kanan dan kiri Mamahnya. Ia melambaikan tangannya kepada sang Mamah.
Ya, gadis itu adalah Elena Rose putri cantik dari Anyelir. Elena sekarang sudah berusia empat tahun. Ia sangat hobi sekali melukis, bahkan lukisannya mempunyai nilai jual yang tinggi.
Setelah melesaikan satu lukisannya, Elena segera merapikan alat lukisnya. Lalu ia keluar dari ruangan melukis tersebut dan tak lupa menguncinya. Anyelir memang sengaja mbuatkan ruangan khusus melukis untuk Elena, karena sudah satu tahun ini Elena sudah menghasilkan ratusan lukisan. Beberapa lukisan itu ada yang dijual ada juga sebagai koleksi. Elena melukis untuk dirinya sendiri, tak jarang ia juga mendapat pesanan dari orang-orang penting.
Walaupun baru berusia empat tahun Elena tidak seperti anak lainnya yang seusia dengannya. Ada kalanya ia bermain, tapi waktunya banyak digunakan untuk melukis dan membaca. Elena sudah bisa menulis dan membaca sejak umur dua tahun.
Hal tersebut diketahui Anyelir pada saat ia sedang mencari-cari ijasah SMAnya. Lalu Mary, orang yang bantu-bantu di rumah Anye ikut mencari dan karena ia asli Amerika maka iya bertanya kepada Anye seperti apa tulisan ijasah itu. Anye menuliskannya di sebuah kertas lalu memperlihatkan kepada Mary. Hal itu dilihat juga oleh Elena yang sedang sibuk menyusun lego.
Elena berjalan ke sebuah lemari di ruang tamunya, kemudian membuka laci dan mengambil sebuah kertas yang bertuliskan ijasah kemudian diserahkan kepada Anye. Anye dan Mary pun terkejut lalu Anye mencoba membuat tulisan ambilkan sepatu merah Mamah. Tak lama Elena membawa sepatu merah Mamahnya.
Mulai saat itu jika menginginkan sesuatu maka Elena akan menuliskan di sebuah notebook electric. Elena memang anak yang cerdas tapi ia tidak pernah berbicara. Suara yang dikeluarkan dari mulutnya hanya teriakannya saja saat ia merajuk. Seperti sekarang ia melemparkan piring dan gelas yang ada di meja makan. Ia juga melempar vas bunga ke arah Bibi Mary.
"Aakhh...aakhh...aakhh," teriak Elena sambil melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya.
"Elena Sayang jangan seperti ini, kamu mau apa Sayang?" tanya Bibi Mary mencoba membujuk Elena.
Elena menggelengkan kepalanya sambil terus berteriak dan melempar barang-barang.
Praaang bunyi gelas pecah karena menghantam tembok. Bibi Mary langsung memeluk Elena dari belakang lalu menggendongnya menuju kamarnya. Bibi Mary sempat kewalahan karena Elena yang terus meronta dalam gendongannya. Lalu ia membaringkan Elena di tempat tidur sambil memegangi tangan dan kaki Elena.
"Elena Sayang kamu harus tenang, jika menginginkan sesuatu bicaralah pada Bibi dengan baik, kalau Bibi bisa pasti akan Bibi berikan. Kau bilang ingin bertemu Papamu. Kalau kau ingin punya Papa. Kau harus jadi anak yang baik jika ingin punya Papa," ucap Bibi Mary menenangkan Elena.
Ajaib. Elena langsung tenang seketika. Kalimat itu seolah mantera yang mampu menyihir Elena untuk tenang. Apabila sedang ada Anye, Elena cukup dipeluk dan diusap-usap olehnya.
Saat Anyelir pulang dari kampus Bibi Mary menceritakan kejadian tadi.
"Kenapa Elen seperti itu ya? Padahal ia anak yang cerdas, langsung tanggap apabila diberitahu, tapi kalau sudah hilang kontrol pasti akan mengamuk seperti itu," ucap Anye.
"Mungkin Nona perlu bicara berdua dengan Elena. Mungkin saja Elena butuh lebih dekat dengan Nona," saran Bibi Mary.
Anye berpikir mungkin Elena kesepian karena jujur saja sudah tiga tahun ini Anye lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Ya semenjak tinggal di sini, Anye menjadi asisten dosen di NYU (New York University). Ia sekarang juga akan menyelesaikan S1 nya di NYU.
Setelah berbicara dengan Elena, maka Anye memutuskan akan membawa Elena kemana pun ia pergi, termasuk apabila ia kuliah atau mengajar. Hal itu bertujuan agar Elena terbiasa bertemu dengan banyak orang.
"Elen siap ikut Mama ke kampus?" tanya Anye.
Gadis kecil itu pun mengangguk dengan antusias. Ia sedang mempersiapkan apa saja yang harus dibawa ke kampus Mamanya. Tak lupa ia membawa satu set alat lukis kecil yang bisa dengan mudah untuk dibawa kemana pun. Lengkap dengan stand, cat air, kuas, dan juga kanvas.
Tiba di kampus, Anye mengajak putrinya ke ruangan khusus asisten dosen. Anye pun meminta Elen untuk duduk di kursinya.
"Sayang, sepuluh menit lagi Mamah ada kelas. Kamu mau menunggu di sini atau di taman belakang?" tanya Anye pada putri cantiknya.
Elena menjawab dengan menunjuk kursi yang sedang didudukinya.
"Ok, dua jam lagi Mama kembali. Kalau Elen bosan, Elen boleh ke taman belakang, di sana Elen bisa melukis di bawah pohon. Tapi ingat setelah dua jam harus kembali ke sini."
Elena mengangguk lalu menyodorkan pipinya untuk dicium oleh Anye.
CUP
Satu ciuman mendarat tepat di pipi gembul Elena.
Kelas musik berakhir lima menit yang lalu. Semua mahasiswa mulai berhamburan keluar. Setelah merapikan tasnya sang dosen pun keluar kelas. Pintu kelas tidak sepenuhnya tertutup. Baru beberapa langkah dosen wanita tersebut menghentikan langkahnya lalu menoleh ke kalas yang baru saja ditinggalkannya.
Terdengar dengan jelas alunan biola dengan nada yang indah. Alunan biola itu terdengar syahdu yang seolah-olah menyampaikan akan kerinduan seseorang.
Karena penasaran, dosen wanita yg diketahui bernama Emily itu pun kembali ke kelas tadi. Segera ia membuka pintunya dan dia mendapati seorang gadis kecil yang cantik dengan lincahnya memainkan biola.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
gun ting tang
sangat bagus,aku suka alurnya👍
2023-04-04
0
Obie Agoes Arra
Thor dr td cerita Anye z, kok gak ad crt Ken x???
2021-11-27
1
Atha Mie
mampir kak bila berkenan
trmksh
2021-10-18
2