Sudah 5 hari melawan perjanjian gaib meskipun tidak secara langsung dilakukan oleh Kosim sendiri. Ia dalam perlindungan Abah Dul dan tiga temannya, Gus Harun dari Banten, Ustad Basyari dari Surabaya dan Ustad Baharudin dari Kalimantan.
Baru sehari semalam Gus Harun berada di rumah Mahmud sudah dapat mengukur seberapa besar kekuatan mahluk gaib yang dihadapinya setelah bertarung melawan siluman-siluman monyet dari Gunung Ng.
Pagi ini ukul 07.25 wib Gus Harun dan Abah Dul sudah merasakan kantuk berat karena semalaman hingga fajar menyingsing bertarung dan menjaga Kosim, istri beserta anaknya dari serangan maha dahsyat siluman monyet.
Gus Harun terlihat letih dengan mata kuyu duduk bersandar di kursi ruang tamu. Semenjak perjalanannya dari Banten yang memakan waktu 8 jam ke tempat Mahmud, Gus Harun belum sempat beristirahat total karena harus menangani gempuran yang menguras energinya.
Sampai-sampai tanpa disadari jemarinya yang semula tak henti meniti biji-biji tasbih mendadak terhenti. Matanya sudah rapat terpejam, Gus Harun nampak terlelap dalam kantuknya.
Sementara Abah Dul sudah lebih dulu tertidur diatas tikar diruang tamu selepas sholat Subuh. Suasana rumah Mahmud tampak sepi, penghuninya masih tertidur nyenyak.
Belum nampak ada tanda-tanda Mahmud dan istrinya keluar dari kamarnya. Begitu pula dengan Kosim, Arin dan Dede, ketiganya masih terlelap di kamar satunya yang bersebelahan dengan ruang tamu.
“Sayurrrr... sayuuurrrr... sayuurrr...” Terdengar suara wanita paruh baya dari depan rumah Mahmud.
Sudah berulangkali penjual sayur keliling itu menyerukan dagangannya didepan rumah Mahmud, namun penghuni rumah tak kunjung muncul. Namun wanita penjual sayur itu tak juga beranjak pergi meskipun tak ada sahutan dari penghuni rumah.
Dia berdiri mematung disamping keranjang sayur diboncengan sepedanya, matanya menatap tajam menyelidik rumah Mahmud. Sorot pandangannya sekonyong-konyong menembus kaca depan yang masih tertutup gorden untuk melihat orang-orang didalam rumah.
Sesaat kemudian ibu penjual sayur itu celingukkan kekanan kekiri depan belakang mengamati sekelilingnya. Tingkahnya sangat mencurigakan.
“Sepi, yang didalam rumah pun sepertinya masih pada tidur,” gumam wanita penjual sayur.
Kemudian wanita penjual sayur itu mengambil sesuatu bungkusan dari dalam keranjang sayurnya. Sejenak ditimang-timang bungkusan kain warna hitam itu lalu dibukanya. Dilihatnya biji-biji bulat hitam sebesar tahi lalat lalu ditumpahkannya kedalam telapak tangan kanannya sedangkan kainnya langsung diselipkan dibalik baju kebaya lusuhnya.
Sekali lagi wanita penjual sayur itu memeriksa sekelilingnya, matanya melihat kesegala arah. Kemudian dia berjalan kesisi kanan rumah Mahmud. Lalu ditaburkannya beberapa biji tepat disudut kanan depan rumah, kemudian meneruskan langkahnya kebelakang. Kembali dia taburkan biji-biji hitam itu diposisi sudut kanan belakang rumah Mahmud.
Kemudian bergegas kembali lagi ke depan tempat sepeda sayurnya di standar. Sangat berhati-hati sekali sebelum melangkah ke sisi kiri rumah Mahmud, sudut matanya berputar melihat sekelilingnya.
Disudut kiri depan rumah Mahmud, wanita penjual sayur itu kembali menaburkan beberapa biji hitam.
Gerakannya sama seperti yang dilakukannya pada sisi kanan yang dilanjutkan menaburkan biji hitam ke bagian sudut belakang. Setelah biji-bijian itu habis wanita penjual sayur itu segera bergegas kembali ke depan.
Disaat bersamaan saat wanita penjual sayur itu muncul dari samping kiri rumah, kepergok Dewi yang keluar membuka pintu depan.
Keduanya sama-sama terkejut, Dewi terkejut bercampur heran sedangkan wanita penjual sayur terkejut campur takut ketahuan apa yang sudah dilakukannya barusan.
“Loh, kok dari samping rumah bu?” Tanya Dewi heran.
“Anu, itu nawarin ibu yang di rumah situ tuh,” jawab ibu penjual sayur mengelak.
“Ohh, yowis saya minta sayur buat sopnya bu sama daging yah,” ujar Dewi tak menghiraukan jawaban ibu penjual sayur.
“Njihh bu, tapi dagingnya tinggal yang ini bu,” kata Ibu penjual sayur sambil menunjukkan dengan ekspresi cemas.
Daging dalam plastik putik yang ditunjukkan ibu penjual sayur itu nampak merah dan masih ada lumuran darahnya.
“oh ya udah nggak apa-apa, kan bagus masih segar,” ujar Dewi.
“iya betu, betul bu..” tukas ibu penjual sayur.
“Jadi berapa bu?” lagi-lagi Dewi tak menaruh curiga sedikitpun dengan tingkah wanita penjual sayur.
“Semuanya 25 ribu aja bu,” jawab penjual sayur.
“Loh, kok murah amat. Dagingnya kan lagi mahal bu,” ujar Dewi heran.
“Biar dagingnya saya kasih bonus saja, ngabisin bu..” kata wanita penjual sayur menyembunyikan senyum sinisnya.
“Oh, syukur alhamdulillah kalau begitu mah, makasih banyak ya bu..” kata Dewi sambil menyodorkan uang pas.
Dewi pun bergegas langsung masuk rumah. Dia tak sadar dibelakangnya sedang diperhatikan oleh wanita penjual sayur dengan sorot mata tajam dan senyum sinis di bibirnya. Lalu buru-buru dia pergi dari tempat itu.
......................
“Masak apa kak hari ini?” suara Arin, sedikit mengagetkan Dewi.
“Aduh, Arin bikin kaget kakak aja. Ini masak sayur sop, kebetulan dikasih murah sama ibu penjual sayur tadi. Padahal ada 2 kiloan ini daging cuma 25 ribu loh,” kata Dewi.
“Masa sih kak, daging kan lagi mahal,” sergah Arin penasaran.
“Ya makanya. Tuh liat mana masih seger lagi, darahnya belum kering. Oya, Dede sama Kosim masih belum bangun?” tanya Dewi.
“Belum Kak. Arin bantuin ya Kak,” kata Arin sambil meraih pisau yang tergantung di rak dapur.
“Rin, biar kakak yang iris sayur. Kamu potong-potong dagingnya ya terus dicuci,” kata Dewi.
“Iya, kak,” jawab Arin.
Beberapa saat lamanya kedua kakak beradik itu sibuk didapur dengan tugasnya masing-masing. Sementara di ruang tamu, Gus Harun tiba-tiba terjaga dari tidurnya.
“Astagfirullah al’aziim..” gumam Gus Harun.
Bergegas Gus Harun membangunkan Abah Dul yang masih terlelap diiringi dengkurannya yang keras.
“Dul, Dul.. bangun Dul...” Gus Harun menggoyang-goyangkan pundak Abah Dul.
“hoooaaaammmm... apa Gus..” jawb Abah Dul malas-malasan menahan kantuk.
“Ayo Dul, bangun dulu, istigfarrrr, istigfar..” tukas Gus Harun.
Setengah malas-malasan Abah Dul bangun lalu duduk menyandar pada dinding dengan mata masih setengah terpejam. Melihat kelakuan Abah Dul, lantas Gus Harun mencengkeram jempul kaki Abah Dul dengan jari telunjuk dan jempolnya.
Ditekanlah kuat-kuat jempol kaki Abah Dul itu oleh Gus Harun sehingga Abah Dul langsung terlonjak berdiri meringis kesakitan.
“Masih ngantuk..?” tanya Gus Harun.
“Mau lagi...?” Ancam Gus Harun.
“Ampun, ampun, ampun Gus... Iya, iya nih udah bangun langsung hilang kantuknya,” sergah Abah Dul.
“Ada apa sih Gus?” tanyanya.
“Dul, saya merasakan ada..” kalimat Gus Harun terputus oleh teriakkan suara Arin dari dapur.
Keduanya langsung bangkit bergegas menuju dapur dimana Arin dan Dewi sedang masak. Terlihat Arin seperti ketakutan memandang daging yang ada di mangkuk yang tengah dicucinya.
“Monyet, monyet...” Suara Arin ketakutan sambil menunjuk-nunjuk daging di atas wastafel dapur.
“Sssstttt.. Arin, arin... itu daging kambing,” kata Dewi mendekap Arin yang panik.
Arin penasaran, ia melongokkan kepalanya dengan perasaan takut melihat daging yang dicucinya.
"Oh iya, daging ya Kak..” Ucap Arin setengah tak percaya.
Melihat kelakuan kakak beradik di dapur, Gus Harun dan Abah Dul langsung balik badan tak begitu menghiraukan kejadian yang barusan dialami Arin.
“Tadi mau ngomong apa sih Gus,” tanya Abah Dul penasaran ucapan Gus Harun.
“iya, tadi entah mimpi atau nggak. Ya antara sadar dan nggak saya melihat ada banyak monyet di rumah ini. Bahkan ada yang masuk membawa bungkusan hitam, dan itu saya menyaksikannya dengan jelas, Dul,” kata Gus Harun.
“Mana, nggak ada Gus. Saya nggak merasakan apa-apa. Hanya mimpi ah,” ujar Abah Dul.
“Ya mungkin juga,” kata Gus Harun sambil garuk-garuk keningnya.
“Ya sudah, ngopi kayanya enak nih Dul,” kata Gus Harun.
“Gus, gus... dari jaman mondok, nggak pernah ngomong nyuruh langsung. Mesti pake pujangga dulu,” sungut Abah Dul langsung beranjak ke dapur.
Manusia tetaplah manusia bukan Tuhan, sesakti apapun seseorang setinggi apapun ilmunya pasti masih ada kelemahannya dan bahkan masih ada ilmu kesaktian lain yang lebih tinggi lagi.
Kesaktian manusia tidak dapat diukur hanya dengan mengalahkan golongan siluman atau jin tertentu atau sebangsanya, sebab dalam tatanan mahluk gaib pun memiliki tingkatan kasta kesaktiannya masing-masing.
Mungkin saja Abah Dul merasa takan mampu menghadapi teror-teror siluman monyet sendirian. Hal itu dia sadari betul makanya meminta bantuan teman-teman seperguruannya yang tingkat kesaktiannya dapat dikatakan sepadan dengan dirinya dan dengan memiliki segala kelebihannya masing-masing.
Seperti pagi ini, mereka tidak tahu ada bahaya yang sedang mengintai....
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 330 Episodes
Comments
Liani Purnapasary
astaga gara 2 si kosim malapetaka brtubi tubi muncul 😔😔
2023-07-12
0
Rosiyatun
hmmm bgs cerita ny mas
2022-03-24
3