Sesampainya di rumah, lagi-lagi Nashira di kejutkan dengan keadaan rumahnya yang sudah ramai oleh lelaki bertubuh besar dan tinggi berpakaian serba hitam yang cukup menakutkan, seperti preman.
“Hei, apa yang kalian lakukan di rumahku?” teriak Shira, melihat keadaan rumah yang sudah acak-acakan dan sebagian barang tengah sibuk diangkut oleh mereka. Nashira pun berlari menuju kamarnya.
“Hey, itu kotak jam tangan punyaku, kembalikan! Jangan diambil!” teriak Shira, saat melihat seorang lelaki dari gerombolan itu membawa kotak jam tangan miliknya di kamarnya.
Lelaki itu langsung mendorong tubuh Shira dengan keras, membuat Shira terjatuh. Shira kembali bangkit untuk merebut kotak itu yang berisi jam tangan hadiah dari neneknya dulu.
“Pak, jam tangan ini jangan disita, Pak. Ini pemberian dari nenekku,jangan mengambilnya!” Nashira masih berusaha untuk merebut kotak jam tangan itu. Jam tangan yang seharga 150 juta rupiah hadiah dari neneknya empat tahun yang lalu, sebelum neneknya meninggal.
“Maaf, Nona, semua barang mewah dan berharga yang ada di rumah ini sudah menjadi milik Tuan kami. Sekarang lebih baik, Nona mengemasi pakaian, Nona. Atau, Nona akan kami usir paksa dari rumah ini!” tegas lelaki yang tiba-tiba muncul di belakang Shira.
“T-tapi, Pak. Itu kan barang punyaku.” Shira masih berharap kalau barang itu tidak akan diambil.
“Tidak ada! ... Cepat Anda kemasi barang-barang, Anda, dan keluar dari rumah ini secepatnya! Karena rumah ini kini telah menjadi milik Tuan kami, mengerti!” tegas lelaki bertubuh tinggi itu dengan suaranya yang sangat keras menakutkan.
Dengan air mata yang terus beruraian dari kedua matanya, terpaksa Shira harus menuruti perkataan lelaki itu. Ia pun segera mengemasi pakaiannya. Sungguh berat rasanya, akan tetapi ia tiada daya dan upaya untuk melawan mereka.
Dan mau tidak mau ia pun harus segera pergi meningglakan rumahnya.
Sebelum ia benar-benar pergi meningglakan rumahnya, ia mematung tepat di halaman rumahnya yang cukup luas itu. Ia memandangi rumahnya dengan sendu, mengingat begitu banyak kenangan yang tersimpan di rumah
tersebut.
“Ya Tuhan ... apa harus seperti ini kau mengambil hartaku?” lirihnya begitu sedih. Air mata nya sudah mulai menyurut, matanya semakin tampak sembab. Ia pun buru-buru membersihkan sisa-sisa air mata yang masih ada
di pipinya. Lalu, meyakinkan diri untuk pergi melangkah meninggalkan rumah.
Tiba-tiba, sebuah mobil melintas di samping jalanan rumahnya.
Tin ... tin ... tin.
Suara kelakson dari mobil yang baru berhenti itu, membuat Shira menoleh ke arah sumber suara yang mengganggunya. Shira sudah tahu siapa pemilik dari mobil tersebut. Dan saat kaca mobil terbuka, terlihat Haris dan Luna yang menatap penuh ejek padanya.
“Aduh … kasihan banget ya, nyonya rumah diusir dari rumahnya sendiri. Ops, lupa itu kan rumahnya udah disita ya, haha. Jadi bukan Nyonya rumah lagi, melainkan calon gelandangan ha ha ha ha....” Luna mencela penuh kepuasan.
“Untung aja aku memilih Luna, kalau tidak. Mungkin sekarang kau sudah merepotkanku. Tidak menyesal aku mengkhianatimu!” ujar Haris yang membuat luka di dalam hati Shira samakin memburuk.
“Kurang ajar sekali mereka ini. Apa mereka tidak puas sudah mengkhianatiku, dan sekarang malah datang mengejekku,” batin Shira antara kesal dan sedih.
Shira sebisa mungkin kembali menahan tangisnya, ia tidak boleh menunjukan kelemahannya di depan mereka berdua. Ia harus kuat, sebisa mungkin harus bersikap tenang.
Shira melepita kedua tangannya di dada, lalu tersenyum kecut ke arah mereka. “Haha, memang benar ya, tukang selingkuh ya cocoknya sama pelakor. Di mana-mana juga, lalat hinggapnya pasti ke sampah! Bukan ke bunga!”
tegasnya, langsung berlalu menarik kopernya meninggalkan mereka.
Luna yang mendengar ia langsung terhenyak. Seolah tidak terima, wanita itu semakin panas dan mengeluarkan kata-kata pedasnya.
“Huh dasar, sudah miskin sombong. Gue doain lo biar jadi gelandangan sana!” teriaknya penuh emosi.
Membuat langkah Shira terhenti, lalu ia menoleh ke belakang dan mengacungkan jari tengah tangannya kepada Luna. Nancy yang melihatnya langsung meringsut kesal.
“Dasar freak! Berani-beraninya lo begitu sama gue!” teriak Luna dari dalam mobil.
“Udah, Sayang, biarkan dia seperti itu,” ucap Haris, mencoba menenangkan Luna.
“Tapi, Beib. Dia kurang ajar sama aku!”
“Sudah ... sudah, nanti kita kasih pelajaran dia di kampus.”
***
Langit senja sudah berubah menjadi gelap, udara dingin semakin menguar kuat terasa di kulit. Shira masih kebingungan untuk menentukan arah dan tujuannya saat ini. Ia hanya bisa berjalan-jalan di trotoar, melewati
jalanan malam yang cukup ramai.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar, entah harus kepada siapa ia meminta bantuan, yang pasti untuk saat ini tidak ada satu orang pun yang bisa ia harapkan. Meminta bantuan pada
teman-temannya, jelas mereka tidak ada yang mau menolong. Kerabat orang tuanya pun sama, tidak ada yang bisa dijadikan tempat singgah. Apalagi hubungan
kelurga Shira dengan kerabat-kerabatnya itu terbilang tidak baik.
“Tidak mungkin ‘kan aku pergi ke kostan dia?” gumamnya. “Aku terlalu banyak merepotkannya, apalagi saat ini aku tidak punya uang.” Ia mengeluh dengan pasrah.
Shira mengembuskan nafasnya pelan. Ia melihat jam di ponselnya sudah menunjukan pukul 22.00 malam. Uang yang ia miliki pun tinggal sedikit lagi, Rp. 50.000,- mungkin hanya cukup untuk makan sampai besok pagi.
“Ya Tuhan … aku harus bagaimana?” Ia menjongkokkan tubuhnya di sisi jembatan. Jembatan besar yang di bawahnya ada sungai yang cukup lebar dan dalam.
“Tidak mungkin ‘kan aku harus menjatuhkan tubuhku ke sungai itu?” gumamnya pelan. Ia benar-benar sangat depresi, harapan hidupnya seolah menipis.
“Arghhh!!!” teriaknya frustrasi berat.
“Lihat! Dia di sana!” teriak seseorang yang menunjuk pada Shira.
Bersambung...
Makasih yang udah mau baca sampai sini, author sayang kalian. :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Pitaz Nafs Nafs
sabar dulu yaa Shira
2022-03-03
1
Shellia Vya
Siapa kira2 ya 🤔
2022-02-27
0
Desy
semangat Shira...
2022-02-22
0