"Dokter..dokter!!" teriak Melati ketika mendapati ibunya kejang. Dia keluar ruangan dengan berteriak seperti orang gila memanggil dokter irawan.
Dokter Irawan yang merasa terpanggil pun segera keluar dari ruangannya dan menghampiri Melati yang sudah bersimbah air mata.
"Kenapa, Mel? Kenapa kamu menangis?" tanya dokter Irawan seraya menggenggam pundak Melati.
"Ibu, Ibu saya, Dok. Tolong!!" Melati segera menarik tangan dokter Irawan untuk menuju ke kamar sang ibu.
Dengan segera dokter Irawan memeriksa keadaan ibu Melati yang sudah tak bergerak itu. "Kamu keluar dulu, Mel. Biar kami memberi pertolongan untuk ibumu."
"Tapi saya ingin menemani ibu saya, dok." kekeh Melati.
"Tapi biarkan kami melakukan tugas kami, Mel. Jadi saya harap kamu bisa mematuhinya demi keselamatan ibumu,"
Melati pun di dorong keluar dari ruangan oleh suster. Agar dokter dan suster bisa bekerja dengan maksimal dalam menyelamatkan ibu Melati.
Cukup lama Melati menunggu. Perasaan cemas dan takut menggelayuti hatinya kini. Dia takut terjadi sesuatu dengan sang ibu.
Dia masih ingat jika sang ibu makan dengan lahapnya. Beberapa kali meminta di suapi dan sangat manja. Tak ada firasat apapun tentang apa yang di lakukannya tadi malam. Karena dia sangat menikmati kesembuhan sang ibu.
Melati juga melupakan sejenak tentang pernikahan rumitnya bersama Arka, dan berniat akan bercerita dengan sang Ibu setelah dia keluar dari rumah sakit.
Melati mondar-mandir menunggu pintu terbuka. Dia sudah tak sabar menanti kabar sang ibu.
Ceklek..
Melati gegas menghampiri pintu itu dan muncullah dokter Irawan dari sana.
"Bagaimana dok keadaan ibu saya?" tanya Melarti tak sabar.
"Maaf, Mel. Mungkin ini yang terbaik bagi ibumu." Dokter Irawan menunduk dengan wajah sendu. Ada rasa kecewa yang tergambar di sana karena tak berhasil menyelamatkan ibu Melati.
"Ma_maksud dokter?" Melati menatap dokter dengan tatapan tak percaya. Dan menyakini dirinya hanya salah dengar dengan ucapan dokter Irawan.
Dokter itu menghembuskan nafas berat sebelum mengatakan sesuatu pada Melati.
"Maaf, Mel. Kami tak bisa menolong ibumu. Ibumu sudah meninggal dan terbebas dari rasa sakitnya saat ini. Yang sabar ya, Mel??"
Duar..
Bagai tersambar petir rasanya mendengar berita jika sang ibu meninggal. "Nggak, nggak mungkin!!"
Melati menggeleng, masih tak mempercayai apa yang terjadi saat ini.
Dia sangat yakin jika ini hanya sebuah prank semata.
Melati menatap dokter Irawan dengan senyum getir, berharap dokter salah mendiagnosa ibunya. "Dokter bercanda, kan? Ini nggak lucu, dok? Ini sama sekali nggak lucu." teriak Melati tanpa sadar.
Tanpa terasa air matanya pun menetes di pipinya. Dia terlalu sakit menghadapi kenyataan yang menimpa hidupnya.
Dokter Irawan memeluk Melati yang nampak terpukul itu, "Kamu yang sabar, Mel. Mungkin itu yang terbaik untuk ibumu. Ibumu sudah sembuh, Mel. Beliau nggak sakit lagi."
Melati menangis, meraung dalam pelukan dokter Irawan. "Ibu!! Jangan tinggalin Melati, Bu!! Ibu nggak boleh ninggalin Melati. Ibu harus hidup bersama Melati, Bu!!!" Teriaknya histeris.
Wajar saja Melati seperti itu, karena selama ini hanya ibunya yang dia punya. Dan sekarang ibunya telah tiada, lalu dengan siapa dia akan hidup sekarang?
Sedangkan Arka, Arka sama sekali belum pernah menanyakan keadaannya sejak dia meninggalkannya kemarin pagi.
Melati masuk ke dalam ruangan sang ibu dengan di papah dokter irawan. Dengan perlahan dia membuka kain penutup yang menutupi wajah ibunnya.
"Ibu!!!! Jangan tinggalin Melati, Bu. Melati hidup sama siapa jika ibu ninggalin Melati sendiri. Bangun Bu, bangun!!!" Pecah sudah air mata yang sedari dia tahan ketika akan melihat jenazah sang ibu.
Melati mengeluarkan semua emosinya ketika berada di hadapan jenazah sang ibu. Agar Ibunya tau jika Melati sangat kehilangan dirinya.
Dia terus menangis seraya memeluk jenazah sang Ibu yang nampak tersenyum cantik itu. Dia berharap ini hanya mimpi, dan ketika dia membuka mata dia melihat ibunya tersenyum indah menatap dirinya.
Namun itu hanya angan semata, ibunya tetap terpejam kala dia membuka matanya. Dan saat itulah kesadarannya mulai pulih jika ibunya telah tiada.
***
Melati memandang gundukan tanah merah itu dengan tatapan kosong. Dia masih berat dan tak percaya dengan apa yang menimpanya kini. Ingin sekali dia ikut terkubur dengan sang ibu, agar dia tak menjalani hidup sendiri dan menjadi sebatang kara di dunia ini.
Dia lebih memilih mati bersama sang ibu, dari pada harus hidup tanpa wanita yang selalu membuatnya kuat dalam menjalani liku-liku hidup di dunia ini. Wanita yang selalu memberinya semangat kala rasa lelah menerpa hidupnya.
Dia sakit, dia sedih bahkan terpuruk ketika sang ibu meninggalkannya. Semangat hidupnya pun ikut terkubur dengan jenazah yang sudah di timbun dengan tanah itu.
"Ibu, Melati sama siapa, Bu? Kenapa Ibu tega ninggalin Melati? Melati mau ikut saja denganmu, Bu. Melati nggak mau sendirian, Bu." Tangis pilu Melati dengan memeluk gundukan tanah itu.
Dia tak memperdulikan pakaiannya yang kotor dan basah. Karena yang dia butuhkan sekarang adalah pelukan hangat sang Ibu kembali dia rasakan. Jika bisa, dia ingin sang Ibu bisa hidup kembali, dan berharap sang Ibu hanya mati suri.
Dia memejamkan matanya dan emnikmati kesendiriannya. Diabtak ingin di temani siapapun, karena dia hanya ingin bersama ibunya.
Hingga sebuah tangan memegang pundaknya, mengelusnya pelan seolah memberi kekuatan.
Melati mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter!!"
Dokter Irawan tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Melati yang terpuruk seperti itu.
Melati mengangkat tubuhnya dan duduk di samping pusara sang Ibu. Menatap kembali gundukan tanah itu, dan air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu kembali ketika mengingat ibunya.
"Kamu harus kuat, Mel. Mungkin ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi, Mel."
Dokter Irawan mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Melati kembali tenang.
"Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan tadi pagi masih bisa bercanda bersama Melati. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini? " jawab Melati di sela isakan tangisnya.
"Iya, Ibumu sudah sembuh, Mel. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini?"
Melati menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Melati, Dok,"
Tangis Melati makin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya.
Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun dari sisinya.
"Kamu harus kuat, kamu juga harus melanjutkan hidupmu yang terus berjalan. Kamu nggak bisa hanya diam meratapi kematian ibumu, Mel." tegur Dokter Irawan. Dia tak tahan melihat Melati yang sangat berantakan. Dia merasa kasihan karena tiada sanak saudara yang berada di pemakaman untuk berbagi kesedihan. Hanya air mata dan penyesalan yang Melati lontarkan untuk menghilangkan kesepian.
"Sudah, ayo kita pulang. Biar aku yang antar kamu pulang sekarang?"
Melati menggeleng tegas, "Nggak. Melati nggak mau. Melati nggak mau ninggalin ibu sendiri di sini. Melati nggak mau, Dok!!"
Melati kembali menangis memikirkan sang ibu yang dalam gelap di sana. Dadanya ikut sesak merasakan sesak dan gelap yang di rasakan ibunya sekarang.
"Hari akan mulai gelap, Mel. Kamu nggak bisa sendiri di sini, Mel?"
"Melati ingin menemani sang ibu agar tak sendirian, Dok. Jadi Melati harap, dokter mau ninggalin Melati sendirian di sini."
"Melati.." panggil seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Nina Amalia
😭😭😭😭😭😭
2021-09-24
0
Diana M
😥😥😥😥
2021-09-24
0
Setyawati Arnie
lanjut
2021-09-21
0