Linggar
Hari terakhir pertandingan.
Setelah kemarin menang di babak semi final menandakan team mereka berhak melangkah ke final.
Dan hari ini penonton semakin ramai jika dibandingkan dengan hari-hari kemarin.
Ia sangat bersemangat. Apalagi saat matanya menangkap sosok Rindi dan teman-temannya di barisan paling depan memberi dukungan pada teamnya.
“Bikin three point ah! Biar tambah keren!” Pikirnya.
Kini ia telah berdiri di three-point line. Saatnya membidik!
Dan shoot! Buk.
Hore! Masuk! Three point!
Itu kata-kata yang terdengar di
telinganya saling sahut menyahut.
“Kak Linggar!” Teriak teman-teman Rindi. Ia hanya tersenyum ke arah sana, lalu kembali melanjutkan permainan.
Semangat seras bertambah hingga beberapa kali.
Meskipun pada akhirnya teamnya tak mampu memburu point yang dicetak oleh team lawan hingga akhir permainan. Menjadikan mereka harus bangga walaupun hanya berada di posisi ke dua.
Ah pasti Rindi merasa kecewa! Diotaknya yang lebih memikirkan perasaan Rindi dibandingkan teman-teman se teamnya dan juga pelatih.
Tak apalah setidaknya ia ingin mengajak Rindi ikut mengangkat piala sambil berpose di depan kamera, berdua.
Pasti terlihat sangat manis.
Mereka pasangan serasi. Pikirnya lagi.
Dan ia terlihat seperti anak ayam kehilangan induknya, saat tak mendapati Rindi tak berada dalam jangkauan matanya.
Arrrkkhh, tak bisakah Rindi menunggunya sebentar saja untuk melihatnya mengangkat piala?
Berlari meninggalkan temannya yang lain ke arah tempat Rindi tadi berdiri.
“Liat Rindi gak?” Tanyanya pada seseorang yang masih di sana. Kemudian kembali melontarkan pertanyaan yang sama pada beberapa orang yang ia ketahui berasal dari kampus yang sama.
“Sudah keluar tadi sama teman-temannya.” Jawab seseorang yang tidak ia ketahui pasti siapa.
Tak peduli siapa itu, tapi terima kasih atas info yang memeng sudah bisa di tebak.
Rindi yang tak terlihat di sana, pastinya sudah pulang. Ia tahu.
Kini ia harus berpacu dengan waktu hanya demi mencari Rindi sebelum gadis itu benar-benar pergi meninggalkan alun-alun.
Ia tak memiliki informasi lebih tentang Rindi. Nomor telpon, jam kuliah atau bahkan motor yang sering digunakan Rindi. Dan ia harus mengetahui tentang semua ini.
"Arrrggg, Rindi."
Kakinya terus berlari menuju ke arah parkiran motor, mencari sosok yang gadis mini nan chuby itu. Mengejar cintanya. Ah bukan-bukan, calon cintanya.
“Rindi!” Teriaknya saat melihat seseorang yang paling mirip dengan postur Rindi. Meskipun tak begitu yakin karena gadis itu telah lengkap dengan helm dikepala.
“Rindi!” Teriaknya kembali, hingga beberapa kali. Dan motor itu berhenti setelah teman yang berada duduk di jok belakang terlihat menepuk pundaknya, mungkin Lilis.
Ia kembali berlari menghampiri kedua gadis yang masih berada di atas motor.
“Ada apa kak?”
Benar gadis itu Rindi. Terlihat saat ia mulai menaikkan kaca helemnya.
“Pulang?” Tanyanya yang masih sibuk mengatur napas. Ini seolah lebih menegangkan dibandingkan saat tadi bertanding.
“Iya, ini juga mau pulang!” gadis ini mulai terlihat cemberut.
“Bareng!” Tangannya mulai terlurur untuk kembali meraih tangan Rindi.
“Tapi motorku!” Rindi yang mencoba menolak untuk pulang bersamanya. Tapi ia harus gigih untuk mengajak gadis itu.
Ini hari terakhir pertandingan, hari terakhir bisa mengajak Rindi untuk pulang bersama. Untuk besok ia tak tahu hari seperti apa lagi yang akan ia lewati.
Meskipun hanya pulang tapi dia ingin setidaknya bisa bersama Rindi terlebih dahulu.
“Titip ke Lilis!” Kini pandangannya beralih pada gadis yang dibelakang. Loh kok bukan Lilis.
“Lilis ke mana?” Tanyanya.
“Ikut Dini naik mobil.” Gadis itu mulai menjawab dengan nada dingin.
“Ya udah minta tolong sama? Siapa sih? Teman kamu itu aja?” Kembali memberikan perintah, sambil menunjuk gadis yang duduk di jok belakang. Gadis itu juga telah cemberut.
Ia tahu ini salah satu teman Rindi yang kemarin ikut menyaksikan acting mereka.
Ia tak peduli, meskipun seribu wajah yang cemberut, asalkan ia pulang bersama Rindi.
“Emang ada apasih kak?” Rindi.
“Gak papa, aku Cuma mau anterin kamu aja!” Ia mulai menarik tangan Rindi, “ayo!” Tak boleh ada penolakan.
“Ya udah ke sana deh, rempong tau.” Tantri yang sedari tadi melihat perselihan antara dua orang dihadapannya.
“Dasar bucin!”
“Katanya gak pacaran, bucinnya minta ampun.” Kalimat itu pasti ditujukan untuknya.
Bucin?
Siapa yang bucin? Dirinyakah?
Terserah mau bilang apa, yang jelas Rindi pulang bersamanya.
“Ya sudah ayo!” Desaknya lagi pada Rindi yang masih betah duduk di atas motor.
Rindipun turun dari motonya meskipun terdengar decakan dari bibir sang gadis yang menandakan ia sedang kesal.
Ia tak boleh membuang waktu, harus cepat membawa Rindi menjauh dari motor itu sebelum berubah pikiran.
Dan alam pikirannya mulai tersadar saat melihat dirinya telah berada di area parkir tanpa membawa perlengkapannya hanya untuk mengejar Rindi. Apa yang sedang terjadi padanya, bahkan iapun bingung.
“Kita ke dalam dulu, ranselku kelupaan gara-gara kejar kamu!” Ia kembali ke dalam dengan menggandeng tangan Rindi.
Sang gadis hanya menurut.
Di motor sana, sebuah mobil berhenti menurunkan seorang penumpang dan beralih naik ke motor. Mungkin itu Lilis yang sedang mengambil alih motor Rindi. Ia tak ingin membahas itu bersama Rindi.
“Dari mana sih?” Tanya Arman sambil menyerahkan tas ranselnya.
“Thanks.” Tangannya terulur mengambil ransel miliknya.
Benar-benar teman sejati.
Menolong disaat genting.
“Pacaran mulu!” Ejek Arman.
Pacaran? Bucin? Heh, kata-kata baru untuknya.
“Pulang?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Yoi, duluan!”
“Ok, sekali lagi thank’s.” Ucapnya lagi sambil mengankat tangan dengan tanda ibu jari.
“Ayo!” Ajaknya lagi pada Rindi. Gadis itu terlihat semakin cemberut. Tak apa, asal bersamanya.
“Aku mau ganti baju!” Ucapnya. Dan seperti biasa, Rindi menutup mata dan berbalik ke arah jendela.
Dan saat Rindi terlihat sedang memainkan ponselnya, ia segera ingat jika belum memilik nomor Rindi.
“Bagi nomor dong!” Ucapnya pada Rindi.
“Buat apa?” Dasar gadis gak peka.
“Ya buat hubungin kamu! Tadi aku cari keliling gak ketemu, mau telpon kamu gak punya nomor. Jadi lari-lari terus. Ya sudah bagi nomor dong!” Ucapnya sambil sesekali melirik pada Rindi.
Rindi tak punya pilihan lain, mereka akhirnya saling bertukar nomor.
Satu kemenangan bagi Linggar. Ia memiliki akses baru untuk bisa terus berbicara dengan Rindi. Hati bersorak.
“Jajan dulu?” Tanpa menunggu jawaban Linggar menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket.
“Mau yang mana?” Tanyanya pada Rindi saat mereka telah berdiri di depan rak makanan ringan. Kali ini hanya ingin memberi kesempatan untuk memilih sendiri, sekaligus mencoba melihat apa yang menjadi kegemaran gadis itu.
To Be Continued!
Sekali lagi jempolnya di goyang!
Episode ketiga jangan lupa komen and vote.
Sekalian bunga dan kopinya sebagai semangan buat dinda.
Salam sayang buat para reders!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Miss Rumm
Halo kak, maaf baru balas.
Terima kasih atas kunjungannya, dan tunggu kehadiran dinda bertamu.
2022-03-04
2
Rose_Ni
Mau yang mana?
Beli Minimarketnya,boleh?
2022-03-02
1