Nilai Sebuah Kesetiaan
Riuh gemuruh sorak suara memenuhi lapangan basket sebuah alun-alun kota. Bahkan beberapa penonton sempat melompat dan berlari memasuki lapangan.
Bunyi peluit panjang menandakan lomba telah berakhir dengan kemenangan di tangan kampus Trimadha.
Sorak kemenangan dilengkapi dengan senyum kebanggaan pada seluruh anak kampus. Tapi tidak dengan seorang gadis yang tengah berdiri terpaku di sudut lapangan. Pandangannya terpaku pada sepasang muda-mudi yang
sedang bergandengan tangan. Sangat jelas bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
“Kamu gak papa?” Lilis yang jelas melihat kesedihan di mata temannya.
“Kita samperin, kita samperin!” Andini yang kini sudah mengebu-gebu.
“Tunggu dulu! Perjelas dulu! Jangan langsung main labrak!” Lilis yang selalu bijak
“Perjelas apa lagi? Tuh kan liat?” geram Andini saat melihat sang lelaki mulai merangkul pundak gadis yang berada di sampingnya.
“Ayo ah!” Tantri yang juga mulai gemas melihat aksi perselingkuhan di hadapannya.
Ini tak dapat dibiarkan! Jelas-jelas ini perselingkuhan. Lelaki itu adalah kekasih sahabat mereka, Rindi. Dan sekarang lelaki itu kini bersama gadis lain? Gadis yang jelas sangat mereka kenal. Heh, mengesalkan.
Andini terus menarik tangan Rindi untuk mendekati sepasang kekasih yang masih asik dengan dunianya sendiri. Dibantu Tantri, sementara Lilis ikut berjalan di belakang mereka.
“Fery.” Saat Rindi menyebut nama lelaki yang kini telah berada dihadapan empat sekawan itu.
Sang lelaki berbalik di ikuti oleh sang gadis. Keduanya terperangah, hanya mampu menatap tanpa sepatah katapun.
“Kalian jadian?” Entah pertanyaan itu tepat atau tidak.
Karena tangan sang pria masih setia merangkul pundak sang gadis, seolah menggambarkan bahwa kalimat yang baru saja terdengar itu benar adanya. Dan tanpa ada yang menyangkal seorangpun, baik dari pihak pria maupun
wanita.
“Dasar penghianat!” Andini yang kini tidak mampu menahan geramnya.
“Gak papa kok! Selamat buat kalian!” Rindi yang menyumbangkan senyumannya dihadapan sepasang kekasih selingkuhan.
Ia harus tegar, tak boleh ditindas.
Patah hati? Tak boleh!
Apalagi hanya karena seorang lelaki yang tak setia. Tak sepatutnya ia menangis. Itu justru membuat keadaannya semakin menyedihkan.
Apalagi harus bertengkar dengan teman sendiri karena memperebutkan seorang lelaki. Bagus jika lelaki itu akhirnya memilihnya, jika tidak? Maka bertambahlah porsi malunya.
Setidaknya kali ini mungkin ia harus mengalah.
“Loh kok?” Pekikan dari Andini yang seolah tak terima dengan sikap tenang terlebih lagi di dampingkan dengan ucapan selamat.
Mana ada kata selamat dari seorang kekasih yang telah dihianati?
“Ini adil buat kita. Aku juga punya seorang kekasih, nanti aku kenalin yah kalau ada waktu!” Mungkin tak apa ia sedikit berbohong demi harga diri.
“Hah?” Serentak dari para temannya.
Rindi meninggalkan tempat kejadian perkara di mana ada sepasang selingkuhan dan ketiga temannya yang menatapnya heran.
Apa tadi? Punya kekasih katanya?
Mengapa ide ini tak ia bicarakan dulu pada teman-temannya yang lain hingga membuat mereka juga terpaku mendengar kalimat itu.
Ia terus berjalan menunduk. Tak bisa dipungkiri hatinya kini tengah porak-poranda. Ingin menangis. No! No! Tahan dulu. Ada kamarnya tempat meluapkan segala perasaannya.
Bugk.
“Aww,” ia meringis saat sebuah dada telah berada di hadapannya. Sambil mengelus-elus dahinya.
Apakah orang ini raksasa? Hingga kepalanya hanya mampu mencapai dada orang ini. Bahkan ia harus mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah sang pemilik dada.
Dan astaga. Ia menabarak salah satu pemain yang tadi ia beri dukungan, sebelum pandangannya melihat kekasihnya bersama gadis lain.
Pantas saja tinggi, pemain basket. Batin Rindi.
“Ma-maaf kak.” Ia terseyum canggung dihadapan sang pemain basket.
“Kamu gak papa?” Sambil tersenyum.
Hem ganteng. Ramah. Mungkin bisa diajak kerjasama.
“Kak,” lanjutnya dengan suara melemah.
“Ya, ada apa?”
“Boleh minta bantuan?”
“Apa?”
Rindi tak menjawab, namun langsung menyambar tangan dan berbalik ke arah belakang.
“Aku pulang duluan yah!” Teriak Rindi sambil mengangkat tangan Linggar yang kini telah berada dalam gengamannya.
Linggar
Ia memandang takjub pada salah satu ciptaan Tuhan yang kini telah berada di hadapannya. Dan saat gadis ini tersenyum, nampak gigi ginsul menghiasi menambah kesan manis. Tubuh mini dengan sedikit berisi di lengkapi
dengan pipi chubynya. Emm pasti empuk.
Ia bukan tak tahu siapa gadis ini. Tahu, meskipun hanya sekedar tahu nama dan wujud.
Gadis itu adik tingkatnya. Dan salah satu temannya pernah menyimpan perasaan khusus pada sang gadis, tapi sayang temannya terlambat karena gadis ini rupanya telah memiliki kekasih.
Dan saat sang gadis meminta bantuan, ia hanya bisa menatap heran dan bertanya-tanya pada diri sendiri tentang bantuan apa yang bisa ia berikan saat mereka baru saja bertemu.
Ia terkejut saat Rindi meraih tangannya, menggenggam tangannya lalu berbalik ke arah belakang dengan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi sembari berpamitan pada teman-teman sang gadis, mungkin minta
diantar pulang.
Di sana ia menangkap satu sosok yang diketahuinya sebagai kekasih Rindi sedang menggenggam tangan lain . Hem, dari sini ia mulai mengerti keadaan. Kekasih sang gadis selingkuh.
Dan dirinya kini di jadikan kambing hitam.
Apakah sebutan itu cocok untuknya yang tak mengetahui alur cerita yang dilakoni oleh gadis ini dan langsung menariknya masuk ke dalam cerita ini.
Baiklah, mari bermain gadis!
Ia turut menyumbangkan senyuman ke arah sana dimana mantan sang gadis berdiri dikelilingi oleh gadis-gadis lain yang ia ketahui sebagai teman-teman Rindi.
Ia turut mengoyang-goyangkan gengaman tangan mereka yang terangkat hanya untuk memberi kesan nyata pada permainan yang kini menyeretnya.
“Kita pulang?” Tanyanya pada Rindi yang langsung diangguki.
Mereka berjalan keluar lapangan sambil bergandengan tangan. Otomatis pemandangan itu mampu mencuri perhatian teman-teman dan para pendukung yang masih berada di lapangan.
“Aku bawa motor sendiri.” Ucap Rindi sambil berusaha melepas genggaman tangannya.
Heh, enak saja. Habis manis sepah dibuang. Dan mulai saat ini kita akan tetap bermain entah sampai kapan.
“Mereka masih lihatin kita.” Linggar yang justru semakin mempererat gengaman tangannya.
“Simpan motormu di mana?” Linggar saat mereka telah berada dekat parkir.
“Di sana.” Rindi sambil menunjuk ke sisi kanan alun-alun.
“Kuncimu mana?” Linggar mengulurkan tangan meminta kunci motor Rindi.
Rindi memberi sebuah kunci sesuai permintaan Linggar.
“Arman.” Linggar sambil mengangkat tangannya memanggil seseorang.
“Ada apa?”
“Tolong bawain motornya, aku pulang sama dia.” Setelah memberikan kunci pada seorang pria yang diketahui
sebagai Arman, Linggar menunjuk ke arahnya.
“Tapi aku pulang sama Lilis.” Protes Rindi padanya.
Kunci motor kembali ke tangan Linggar.
“Ya sudah, kita suruh lilis yang bawa motormu pulang.” Linggar menarik tangannya yang masih berada dalam
gengaman kembali ke dalam lapangan.
“Apaan gak jelas banget!” gerutu seseorang yang baru saja mereka tinggalkan.
Menghampiri teman-teman dan kekasih yang baru beberapa menit saja ia putuskan.
“Lilis.” Sapanya yang sebenarnya mencari yang mana sosok Lilis yang dimaksud Rindi diantara sekumpulan
orang-orang.
“Ya,” jawab seorang gadis yang kini ia yakini sebagai Lilis.
“Kamu tolong bawa motor Rindi, biar aku yang antar dia pulang!” ucapnya sembari memberikan kunci motor Rindi.
Tak urung tingkahnya semakin mengerutkan kening mereka yang di sana.
Sementara Rindi terlihat cemberut dengan bibir yang maju berkerucut sambil melirik teman-temannya.
“Ayo.” Linggar yang kembali menarik tangannya yang hingga detik ini sama sekali tak pernah lepas semenjak
Rindi mulai menggenggamnya.
Linggar terus membawanya kembali ke luar lapangan yang juga kembali menjadi bahan tontonan.
Ke arah tempat parkir mobil dan menghampiri sebuah mobil sedan merah. Jadi kita naik mobil nih ceritanya.
Berdua? Dengan laki-laki yang baru ia dekati.
Ahhhh ia seperti gadis murihin yang telah berhasil menggaet seorang lelaki kaya.
“Kak.” Rindi ingin melayangkan protes pada Linggar saat lelaki itu telah membuka pintu mobil dan mendorong
pundaknya untuk masuk ke dalam mobil.
Linggar berputar ke sisi sebelah dan masuk duduk tepat di samping Rindi.
“Aku mau ganti baju dulu, boleh?” Linggar sambil melirik ke arah Rindi.
“Di sini? Sekarang?” pekik Rindi yang seolah protes pada Linggar yang ingin membuka bajunya saat mereka hanya
berdua dalam mobil.
“Kamu bisa tutup mata dulu!” Sambil meraih sebuah tas ransel yang berada di kursi belakang.
“Aku kan bisa pulang sendiri. Kok bawa aku ke mobil kakak. Kakak gak ada maksud apa-apakan?” Rindi yang mulai
sendu.
Bukan sendu mungkin lebih ke rasa takut.
“Apa-apakan apa maksud kamu?” Linggar yang menatapnya bingung.
“Aku Cuma mau bantu kamu pergi dari kekasih kamu itu. Kamu diselingkuhinkan?” Tebaknya mantap.
Rindi hanya mengangguk dengan tatapan ke arah kaki sendiri di lengkapi dengan bibir yang masih saja
mengerucut.
“Ya, sudah aku antar pulang. Tapi tutup mata dulu dong, aku mau ganti baju nih!”
“Aku buka nih, aku buka!” Linggar sambil memegang sisi bawah bajunya.
Ia bukan lelaki yang over pede hingga harus memamerkan tubuhnya pada seorang gadis. Terlebih lagi gadis yang
baru saja akrab dengannya.
Rindi mulai menutup mata dengan kedua tangannya, tak lupa berbalik ke arah jendela mobil membelakangi Linggar.
“Pasang seat belt dulu!” Linggar yang mulia menghidupkan mesin mobil.
“Udah belum?” Rindi ternyata masih menutup matanya.
“Udah, dari tadi. Cuma ganti baju kan?” Linggar tersenyum saat Rindi mulai membuka mata dan melihat kearahnya.
Dan mereka mulai meninggalkan alun-alun kota.
To Be Continue.
Meskipun ini episode awal, tapi mulai sekarang bisa di biasakan buat pencet like, dan merangkai kata di kolom komentar.
Atau sekalian berbagi secangkir kopi dan seikat bunga, dinda gak marah kok. Malah senang gak ketulungan.
Lope-Lope Yu!
Lope-Lope Yu!
Lope-Lope Yu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
meli andriyani
salam kenal kak..mampir sambil baca kisah rima
2024-09-30
0
Yanti Melani
lanjut
2024-09-06
0
Erna M Jen
kayaknya ceritanya bagus nih 👍
2024-09-05
0