🌺
🌺
Anna memperhatikan gerak gerik kakak laki-lakinya sejak dia turun dari kamarnya beberapa saat yang lalu. Bangun pagi-pagi sekali, olahraga dengan semangat, dan wajahnya tampak sangat ceria. Pria itu bahkan kini sering tersenyum tanpa sebab. Tidak! dia terlalu sering tersenyum akhir-akhir ini.
Kemeja melapisi kaus oblong di dalamnya dengan celana jeans yang jarang dia pakai, penampilannya tampak santai namun rapi, dengan rambut hitamnya yang begitu klimis. Dia memang selalu berpenampilan rapi setiap hari, tapi beberapa hari ini tampak sangat berbeda, dan Arya terlihat terlalu rapi. Apalagi di akhir pekan seperti ini.
"Abang ada pertemuan diluar kantor?" Anna bertanya, dia menyuapkan roti bakar yang dibuatnya untuk sarapan mereka.
"Tidak ada." jawab Arya yang menyeruput kopi panas miliknya dengan perlahan.
"Atau mau kondangan?" tanya Anna lagi.
"Tidak." pria itu masih cuek dan sibuk dengan sarapannya. Dia makan dengan semangat, bahkan terlalu bersemangat untuk ukuran pria dewasa sepertinya.
"Ada kencan ya?" Anna mulai menggodanya, dan hal tersebut sukses membuat Arya menghentikan kegiatannya. Dia mendongak seraya menelan makanannya dengan cepat.
"Uh, ... aku berharap sih iya. Terus cepet nikah, biar abang nggak kesepian pas aku tinggal nanti. Nggak apa-apa ngeduluin aku juga, aku rela." gadis itu meracau.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Nggak kenapa-kenapa sih, tapi hari ini abang kelihatan beda, mau pergi ya?" dia bertanya lagi.
"Iya."
"Kemana?"
"Kamu kepo!"
"Ih abang mulai rahasia-rahasiaan? beneran ada kencan ya? sama siapa? abang ikut biro jodoh juga? mau aku anter nggak, kebetulan hari ini aku free." Anna menawarkan.
Arya menjengit.
"Bener kan, abang ada kencan? cieeee ....
"Huss! belum apa-apa kamu sudah ribut!"
"Tapi beneran kan?"
Arya mengulum senyum, dan dia hampir mengatakan sesuatu.
"Haa, ... beneran. Sama siapa? aku kenal nggak orangnya? harus kasih tahu kak Alya sama Alena nih, uhh .. aku ngak sabar. Pasti mereka juga seneng, akhirnya!!" racaunya lagi dengan begitu bersemangat, seraya meraih ponselnya di sisi lain meja makan.
Arya menahan diri, dia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Melihat reaksi adiknya yang satu ini memang cukup mengerikan untuknya, apalagi jika dua adiknya yang lain tahu.
Bisa ribut. batinnya.
Dan Vania benar, ketiga adiknya akan bereaksi berlebihan apalagi jika mengetahui sosok perempuan yang kini telah menjalin hubungan dengannya.
"Abang pergi dulu lah." pria itu menyelesaikan sarapannya, kemudian bangkit.
"Lho? aku ikut." adik perempuannya itu ikut bangkit.
"Buat apa?"
"Mau nemenin abang?" Anna tersenyum lebar.
"Nanti disangkanya abang punya pasangan? dan aneh juga, masa kencan bawa-bawa adik?" Arya beralasan.
"Dih... dia nggak nyadar dulu waktu aku ijin ketemu sama Kang Rendra juga ikut?" Anna mengingatkan saat pertama kali dirinya berkencan denga tunangannya, Arya terus mengikuti kemanapun mereka pergi.
"Itu beda." tukas Arya.
"Sama aja bang."
"Beda lah, kamu kan adik abang, ya harus abang awasi." jelasnya.
Anna menarik satu sudut bibirnya keatas.
"Bukannya kamu sibuk? pernikahan kamu sebentar lagi lho, banyak yang harus kamu persiapkan?" Arya mengingatkan.
"Dih, ... siapa bilang? kan udah ada Vania, aku serahin semuanya sama dia. Ngapain aku capek-capek ngerjainnya sendiri kalau udah sewa W.O?"
Pria itu terdiam.
"Ciee ... malu ya? gitu aja malu? ngikutin orang pacaran nggak malu? giliran abangnya diikutin nggak mau?" ejek Anna.
"Ck! Abang pergi lah." ucap Arya, yang kemudian buru-buru tancap gas begitu mencapai mobilnya yang sudah siap di pekarangan rumah mereka.
🌺
🌺
Vania menunggu dengan tenang di depan kedai miliknya, saat tempat itu masih belum buka, dan dua orang pegawainya baru saja tiba.
"Hari ini aku mau pergi ya, mau lihat keperluan pernikahannya klien. Kalian bisa kan ditinggal?" Vania berujar.
"Bisa, nggak apa-apa." jawab salah satu pegawainya.
"Oke, aku paling balik nanti sore."
"Baik."
Dan berbarengan dengan itu, mobil Arya muncul. Vania segera bangkit dan berlari ke arahnya.
"Nggak usah turun, ... kita langsung pergi." ucap Vania, menahan pria itu yang hampir turun dari mobilnya.
Arya menurut, dan dia tetap berada disana.
"Ayo kita pergi!!" gadis itu dengan bersemangat.
"Ck! serasa bawa anak TK!" gumam Arya.
"Ya anggap aja gitu." jawab Vania yang mendengar dengan jelas ucapan pria di balik kemudi.
Mobilpun meluncur membelah jalan kota pada pagi itu, menuju ke beberapa tempat yang ditunjukkan Vania sebelumnya.
***
Mereka tiba di sebuah pasar terbesar di kota Bandung, segera menuju ke pusat aksesori dan kebutuhan pesta yang biasa Vania kunjungi untuk penyelenggaraan pernikahan dan beberapa pesta yang sering dia tangani.
Empat buah kotak karton sudah siap di sebuah meja di bagian depan, Vania memeriksanya dengan teliti. Ratusan cendera mata pernikahan Anna yang sudah dipesan jauh-jauh hari sebelumnya.
"Angkut Bang!" ucap Vania seraya membawa dua buah karton ditangannya, dan dia sisakan dua karton lainnya untuk Arya.
Mereka membawanya kedalam mobil di parkiran.
"Setelah ini kemana lagi?" Arya bertanya.
"Pasar bunga."
"Untuk apa?"
"Ya pesen bunga lah, masa pesen batagor?" Vania menjawab.
Arya mencebikan mulutnya sekilas.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di sentra perdagangan bunga potong segar. Berbagai jenis bunga langsung menyambut begitu mereka turun dari mobil. Wangi berbagai macam bunga dari yang paling lembut hingga paling menyengat langsung menguar di indera penciuman, memang menegaskan suasan di tempat itu seperti apa.
"Pesen melati yang kayak biasanya ya bu? ukuran standar, beberapa buat sanggul, hiasan siger juga buat siraman. Aku ambil minggu depan." Vania langsung memesan begitu mereka tiba di sebuah kios.
"Oke, ... yang lainnya?" jawab pedagang yang nerangkap sebagai perangkai bunga untuk berbagai keperluan itu.
"Yang kayak biasa aku pesan aja. Buat dekorasi, hiasan meja, sama buat mempelai." jawab Vania.
"Siap, ... ibu siapkan."
"Oke, nanti aku yang ambil sendiri."
"Masih buat klien?" tanya si pedagang.
"Iya, biasa bu."
"Neng nya kapan? buat klien melulu." perempuan tersebut berkelakar.
"Hehe, ya buat klien dulu lah ... aku mah nanti-nanti aja."
"Nantinya kapan? tuh, udah ada yang nunggu." perempuan itu melirik kepada Arya yang berdiri di belakang.
"Eeee ..." Vania menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Udah ya bu, ... nanti aku balik lagi kesini." Vania menghindar.
Huuh, ... kenapa semua orang selalu mengatakan hal seperti itu? gumamnya dalam hati.
"Ayo bang, ..." Ajaknya kepada Arya yang betah menungguinya di bagian luar kios tersebut.
"Sudah selesai?" Arya bertanya.
"Udah, ..."
"Bunganya nanti?" tanya Arya lagi.
"Iyalah, kalau sekarang bisa layu." mereka keluar dari tempat tersebut.
"Lagipula, kenapa kamu yang melakukan ini semua?" keduanya berjalan bersisian menelusuri lorong pasar bunga tersebut. Tangan Vania menggapai dengan lembut setiap bunga potong yang dia lewati.
"Aku udah biasa."
"Maksud abang, biasanya dari bagian dekorasi kan yang mengurus masalah bunga, dan semacamnya, kenapa kamu melakukannya sendiri?" lanjut Arya.
Vania berhenti berjalan, lalu dia mendongak kearah pria di depannya.
Ada yag aneh?
Dia bilang apa barusan? batinnya.
"Vania?" Arya memanggil saat dia menyadari gadis itu teringgal di belakag.
"Ya?"
"Kenapa diam?"
"Ng ..." dia bergumam, kemudian melanjutkan langkahnya sehingga mereka berjalan bersisian.
Vania menunduk untuk menatap tangan kanannya ketika merasakan sesuatu yang hangat merayap disana. Arya yang meraih tangannya dan menautkan jari mereka berdua.
Dia melirik kepada pria disampingnya seraya menggigit bibir bawahnya dengan keras.
"Seharusnya kamu tinggal duduk manis dan memerintahkan orang lain untuk melakukan hal seperti ini. Lagipula, seharusnya ini tugas dari tukang hias kan?"
"Tapi aku suka melakukannya. Abang tahu, ketemu macam-macam orang, memilih bahan, memilih bunga, dan memastikan semua yang klien aku dapat adalah yang terbaik. Itu menyenangkan." jawa Vania.
"Tapi energi kamu habis untuk mengurusi hal seperti ini, padahal ada banya hal penting yang bisa kamu kerjakan." tukas Arya.
"Buat aku ini juga penting. Memberikan pelayanan terbaik kepada klien, dan melihat mereka puas dengan apa yang aku kerjakan. Hati aku rasanya bahagia, kayak ... barengam sama abang kayak gini." sebuah senyum tersungging di bibirnya.
Dan Arya tak bisa menahan diri untuk terus menatap wajahnya.
"Kamu ... mau beli bunga?" dia menawarinya saat mereka melewati satu kios penjual berbagai macam bunga mawar.
"Nggak lah ...
"Yakin? disini bunganya bagus-bagus." mereka berhenti berjalan, dan Arya menatap bunga-bunga cantik yang berjejer rapi tersebut.
Vania terdiam sebentar, dia juga menatap kearah sana.
"Abang mau ngasih aku bunga?" dia kemudian bertanya.
"Orang yang berkencan biasanya begitu 'kan?" pria itu menjawab dengan pertanyaan, dia menoleh.
"Kencan?"
Arya menganggukan kepala sambil tersenyum.
"Anggap saja hari ini kita sekalian berkencan." katanya, lalu tergelak.
"Dih, ... kencan di pasar bunga?" cibir Vania.
"Dimana saja bisa." tukas Arya.
Gadis itu mencebik.
"Jadi, mau bunganya tidak?" tawar pria itu lagi.
"Kalau yang kencan itu nggak nanya mau bunga atau nggak. Tapi langsung di kasih."
"Abang salah ya?" Arya tertawa.
"Hmm ...
"Lupa." katanya.
"Emangnya dulu waktu sama kak Hana ngga gitu ya?" Vania mengalihkan pembicaraan.
"Ng ... kenapa jadi membahas Hana?"
"Mau tahu aja."
"Seingat abang, ... nggak. Kami hanya belajar bersama, saling tukar buku, terus ...
"Ah, ... bete jadinya kalau bahas mantan." Vania memotong perkataan.
"Kan kamu yang tanya?"
"Ralat, nggak jadi." gadis itu kembali berjalan, menarik Arya menjauh dari tempat tersebut.
"Eh, ... ini bungaya bagaimana? kamu tidak mau?" Arya mencoba menghentikannya.
"Ngga usah."
"Yakin?"
"Iya. aku sukanya bunga bank." gumam Vania, namun Arya mendengarnya dengan jelas.
"Mata duitan."
"Biarin. Lagian abang nggak romantis, masa kencan nawarin bunga kayak gitu?"
"Abang memang bukan orang yang romantis." Arya tertawa.
"Ya udah, makanya nggak usah. Aneh jadinya. Kalau mau, beliin aku bunga hidup aja, jangan bunga potong."
"Bunga hidup?"
"Iya, bunga potong paling kuat semingguan. Jadi bunga hidup aja, biar hidup selamanya kalau aku rawat. Kayak sayangnya aku sama abang." katanya kemudian.
Arya tertegun.
"Kan aku jadi aneh kalau deket abang, suka ngelantur jadinya."
"Tidak apa-apa, abang suka kamu yang ngelantur seperti ini." Arya melepaskan tautan tangan mereka, lalu mengacak puncak kepala Vania dengan gemas.
"Abang ish, ..." keluh gadis itu, seraya merapikan rambutnya.
"Yang abang acak rambut aku, yang berantakan hati aku." katanya lagi, dan membuat Arya tertawa kemudian merangkul pundaknya.
🌺
🌺
Bersambung ...
Cieeeee ... pacaran 🤣🤣🤣
biasa genks, ... like,komen sama hadiahnya jagan lupa.
lope lope segudang😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Rita Sumarwati
uluh... uluh
2023-08-06
0
Nunung 79
neng Vania udh kaya kang Deni Cagur aja'nie 😀
2022-10-05
1
Kireina
yg suka gombal malah vania..lucu🤣🤣🤣
2022-08-10
1