🌺
🌺
"Abang bisa kan nanti siang?" Anna menghabiskan sarapannya pagi itu.
"Apa?"
"Datang ke galerinya temen Vania."
"Mau apa?" Arya menghentikan kegiatan makannya.
"Coba baju pengantin."
"Baju pengantin?" pria itu mengerutkan dahi. "Kan kamu yang mau menikah? kenapa Abang yang mencoba baju pengantin." Arya terdengar panik.
"Iya, itu maksudnya. Aku mau coba baju pengantinnya." jawab Anna.
"Terus kenapa abang juga harus datang?"
"Ya kan mau coba bajunya juga."
"Baju pengantin?" Arya sedikit memundurkan kepala.
"Bukan. Baju pendamping." jawab Anna lagi.
"Oh, ...
"Tapi kalau misalnya abang mau cobain baju pegantin juga nggak apa-apa, siapa tahu ketularan dapat jodoh." gadis itu tertawa kecil.
"Kamu ini."
"Ya habisnya dari tadi yang abang tanyainnya itu melulu, ..."
"Cuma tanya."
"Tanya atau ngarep?"
"Maksudnya?"
"Hehe, ... ngarep juga nggak apa-apa. Siapa tahu di galeri nanti abang ketemu jodoh." Anna tertawa lagi.
"Hmmm ..." Arya menggumam. "Abang berangkat dulu lah. Rendra jemput kan?" dia menghindar, seperti biasa.
"Iya."
"Baiklah ..." Arya bangkit dari kursinya, kemudian pergi.
🌺
🌺
Vania baru saja beristirahat setelah menyelesaikan pesanan pembeli terakhir siang itu, dia duduk bersandar pada kepala kursi, seraya memainkan ponselnya, memeriksa beberapa pesan dan membalas hal yang cukup penting.
"Lagi santai?" suara yang cukup dikenalinya terdengar begitu dekat.
Vania mendongak, dan Raja lah yang berjalan mendekat ke arahnya.
"Tumben?" dia menatap pria itu yang datang sendirian. "Kembaran kakak nggak ikut?" tanyanya.
"Kembaran?" Raja duduk di seberangnya.
"Kak Hardi, kalian kan selalu sama-sama, persis seperti kembaran." gadis itu tergelak.
Raja mencebik.
"Istirahatnya jauh amat sampai kesini?" Vania melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukan jam makan siang.
"Kebetulan lewat, ..." jawab Raja.
"Oh, ... mau aku bikinin minum?" gadis itu bertanya.
"Bolehlah, yang seger-seger." Raja merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Kalau itu nggak usah pesen, ..." Vania terkikik.
"Hah?"
"Kakak lihat aku nggak brasa seger emang?" lanjutnya.
Raja terdiam.
"Canda kak." dia tertawa lagi, kemudian bangkit.
"Mau sekalian sama makanannya nggak?" tanya Vania sebelum pergi.
"Boleh lah, ... mi goreng ya?"
Gadis itu terdiam, tiba-tiba dia teringat kepada seorang balita yang adalah anak dari sahabatnya.
"Mi lulus, ..." gumamnya yang kemudian mengingatkannya pula kepada seorang pria. Vania tersenyum.
"Yeee ... malah senyum-senyum, laper nih!" suara Raja membuyarkan lamunannya.
"Eh, ... iya tunggu sebentar." katanya, dan diapun segera mengerjakan pesanannya.
***
"Kamu memangnya nggak capek jalanin usaha kayak gini?" Raja memulai percakapan saat Vania mengantar makanan pesanannya.
"Ya capek lah, mana ada kerjaan yang nggak capek? Tapi kalau nggak gini, aku mau gantungin hidup sama siapa?" gadis itu kembai duduk di tempatnya semula.
"Ya kenapa nggak tetap di kafe ibu kamu?"
"Aku udah nggak semangat disana."
"Kenapa juga nggak gunakan ijazah kamu? Percuma dong kamu kuliah kalau ujung-ujungnya kerja di tempat yang nggak ada hubungannya sama jurusan yang kamu ambil. Seharusnya kamu udah dapat kerjaan yang bagus sekarang. Jadi guru, misalnya?"
Vania tersenyum, lagi-lagi pandangan berbeda tentang jurusan kuliah dan pekerjaan.
"Emang harus banget ya kerja sesuai dengan jurusan kuliah kita? menurut aku sih, lulusan apapun bisa kerja di bidang apapun selama mereka bisa dan menguasai. Kuliah kan untuk pendidikan dan mengembangkan inteligensi kita, nah kerjaan untuk menopang hidup. Dan menurut aku harus pekerjaan yang kita senangi, jadi kita bisa enjoy pas ngerjainnya. Aku suka hal-hal yang berhubungan dengan makanan, atau acara-acara besar kayak di Wedding Organiser sekarang ini. Kakak tau, itu lumayan menyenangkan. Dan duitnya juga lumayan."
"Aku nggak kepikiran kerja di tempat yang cara dan metodenya nggak aku pelajari di kampus. Bisa-bisa aku ngeblank kalau ngikutin kamu." tukas Raja, yang mulai melahap makanannya.
"Mungkin kita beda."
"Hu'um, ... saking bedanya aku jadi suka." Raja menghentikan kegiatannya saat menyadari kalimat yang dia ucapkan. Lalu mendongak ke arah Vania yang terdiam meyakinkan pendengarannya.
"Suka mikir gimana kalau misalnya aku ngikutin gayanya kamu." Raja melanjutkan kalimatnya.
"Nggak akan bisa kak." Vania beralih pada ponselnya saat benda itu berdering.
"Ya?"
" ...
"Oh, udah sampai?"
"...
"Oke, sebentar lagi aku kesana." lalu mengakhiri panggilan.
"Mau pergi?" Raja mengalihkan perhatian sejenak dari makanannya.
"Iya, sebentar lagi." ulang Vania.
"Kemana?"
"Fitting baju pengantinnya kak Anna."
"Oh, ... aku ditinggal dong?" Raja dengan raut kecewa.
"Lah, ... iya. Masa kak Raja mau ikut?"
Pria itu segera meneguk minumannya, "Kalau boleh ..."
Vania tertegun sebentar, namun suara dering ponsel milik Raja menginterupsi.
"Ya?" pria itu menjawabnya.
"Lu dimana?" Hardi bertanya dari seberang sana.
"Gue lagi makan, Di." Raja menjawab.
"Bokap lu nyari Ja! lu nggak angkat telfonnya?"
"Ish, ... males gue. Dia ke kantor?"
"Iya, orang lu nggak jawab setiap dia nelfon." jawab Hardi.
"Ah, elaaaahhh ... kenapa sih tuh orang tua?" keluh Raja dengan kesal.
"Kualat lu!"
"Ribet deh ah!"
"Buruan balik ke kantor! kasihan udah hampir sejam dia nunggu."
Raja terdiam.
"Ja, bokap lu?"
"Iya iya, berisik lu!" Raja menutup telfonnya.
"Jadi ikut?" Vania menunggu.
"Nggak kayaknya, ada urusan mendadak." jawab Raja.
"Oh, ya udah. Kalau gitu aku duluan ya?" ucap Vania yang kemudian berjalan menuju motor maticnya yang terparkir di sisi lain tempat itu.
🌺
🌺
Setengah jam kemudian Vania tiba di galeri perias pengantin kenalannya, yang sudah biasa dia ajak kerjasama setiap dirinya mendapat pekerjaan untuk Wedding Organiser miliknya. Dan Anna bersama calon suaminya langsung menyambut begitu dia masuk kedalam sana.
"Padahal nggak usah nunggu aku, kak." ucap Vania.
"Biar lebih afdol kalau sama kamu." jawab Anna.
"Yeah, ..." gadis itu tersenyum.
"Nggak ganggu kerjaan kamu kan?" tanya Anna kemudian.
"Nggak. Ada anak-anak kok. Mereka udah bisa aku tinggal."
"Syukurlah kalau gitu."
Lalu sang calon pengantin tersebut mencoba beberapa jenis pakaian adat dengan tema berbeda. Juga warna dan model yang berbeda pula, sesuai dengan adat Sunda tradisional sepeti biasanya. Dengan sedikit penyesuaian untuk Anna, tentunya.
"Nanti bisa di modif disini, disini, disini ..." Vania menunjukan beberapa hal yang harus di sesuaikan dengan sang calon pengantin perempuan.
Gadis itu memang terlihat serius jika sedang bekerja. Dia terbilang perfeksionis dalam hal seperti ini, dan itu yang membuatnya mampu menguasai pekerjaan tersebut selama beberpa tahun. Membuat segala hal berjalan lancar, dari mulai acara, dekorasi, dan apapun yang ditanganinya menjadi sempurna. Membuat orang-orang yang menggunakan jasa Wedding Organisernya merasa puas.
"Kak Anna cantik. Pantesan Kang Rendra jatuh cinta." ucapnya, saat pakaian terakhir dicoba oleh Anna.
Si calon pengantinpun tersenyum, lalu menepuk pundaknya pelan.
"Apalagi kalau nanti ya?" pria yang dikenal sebagai tunangan Anna itu menyahut.
"Iya lah ... terutama kalau udah jadi Nyonya Rendra." jawab Vania, lalu tergelak.
"Iya sebentar lagi." Rendra menambahkan.
"Hmm ..." Vaniapun mengangguk.
"Nah kamu, kapan?" ucapan Anna tentu saja membuat gadis itu hampir tersedak. Mereka kini berada di ruang ganti setelah menyelesaikan fitting hari itu.
"Apanya?" Vania dengan cepat.
"Nikah." jawab Anna.
"Ish, ... belum kepikiran lah."
"Masa? beberapa kali nerima job wedding nggak bikin kamu mikir ke arah sana?" Anna menyerahkan baju pengantinnya setelah mereka keluar.
Vania terdiam, kemudian menggelengkan kepala.
"Kamu ... seumuran Alena kan?" tanya Rendra.
"Iya, temen sekelas waktu kuliah." Anna menjawab.
"Aku ... belum kepikiran kalau soal itu." Vania tergelak. "Aku juga punya janji sama almarhum ayah."
"Janji?"
Vania mengangguk.
"Janji apa?"
"Aku nggak akan nikah dulu sebelum berhasil." jawab Vania.
"Berhasil apa? soal karir?"
Gadis itu mengangguk lagi.
"Sejauh ini kamu sudah berhasil. Punya WO, dan usaha sendiri kan?" Anna berujar.
"Baru mulai kak."
Anna menatapnya.
"Lagian, ayah bilang harus nunggu anak temennya nikah duluan, baru aku bisa nikah."
"Apa? maksudnya gimana?"
"Nggak tahu, pokonya Ayah bilang gitu. Kalau ada kabar anak temennya ayah udah nikah, baru aku boleh nikah. Nggak bisa duluin dia."
"Ih, aneh banget?"
"Begitulah, ... lagian juga aku belum punya calon." Vania tergelak.
"Ish, ... kan udah aku tawarin sama abang." Anna dengan santainya.
"Hah?" Vania terhenyak.
"Canda Van ..." si calon pengantin tertawa.
"Abangnya susah, ... semua cewek kayaknya nggak ada yang masuk kriteria dia. Apalagi yang umurnya lebih muda. Tahu deh mesti gimana."
"Belum aja kali." Rendra menghibur.
"Iya kak. Nanti juga kalau udah ketemu jodohnya nggak ada yang bisa halangin." sahut Vania.
"Halangin apa?" Arya muncul tiba-tiba, merebut perhatian tiga orang yang tengah bercakap-cakap.
"Ish, ... bikin kaget? salam dulu kek, masuk tempat orang nggak bilang-bilang?" Vania bereaksi.
"Kalau masuk mesjid baru salam, masuk sini juga tadi sudah permisi ke satpam di depan. Kalian saja yang terlalu serius bergosip." sindir Arya.
"Gosip apaan?" segah Vania.
"Bergosip soal jodoh orang." tambah Arya.
Anna mengatupkan bibirnya kuat-kuat.
"Bukan gosip, itu fakta." Vania menjawab lagi.
"Fakta apanya? kalian malah sukanya memaksakan kehendak."
"Nggak ada yang maksa."
"Siapa bilang? setiap ketemu saya pasti itu yang kaian bahas?"
"Ya memang kenyataannya begitu."
"Ya nggak seharusnya juga begitu."
"Nggak harus. Tapi perlu."
"Saya bilang nggak perlu ya jangan."
"Demi kebaikan abang."
"Kebaikan apanya?"
Anna dan Rendra menyimak perdebatan dua orang berbeda usia itu dalam diam, dan mereka tak berniat melerainya sama sekali.
"Udah deh, ... nggak usah membesar-besarkan masalah, ...
"Saya nggak membesar-besarkan masalah, hanya saja saya mau kalian jangan selalu membahas soal itu terus. Bosan saya dengarnya." Arya dengan kesal.
"Kita selalu bahas itu karena sayang sama abang. Semuanya khawatir ....
Dan seketika merekapun terdiam.
"Adik-adik abang tuh sayang sama abang, makanya mereka gitu." namun kemudian Vania meralat ucapnnya.
"Ish, ... kenapa malah berantem?" ucap Alena yang muncul kemudian. "Kebiasaan deh kalian berdua kalau ketemu!" gerutunya, yang kemudian menyerahkan bayi enam bulannya kepada Anna, disusul Dilan yang mendekati Arya.
"Mana baju yang harus aku coba?" tanyanya kemudian, menghentikan perdebatan yang tengah berlangsung diantara kakak laki-laki dan sahabatnya, seperti biasa.
"Ini." Vania menunjuk rak pakaian di depan mereka, dan memilihkan untuk sahabatnya itu.
Tanpa menunggu lama Alenapun mencoba pakaian tersebut diruang ganti, dan keluar dalam beberapa menit.
"Udah pas." katanya, sambil memutar tubuhnya di depan cermin besar.
"Nggak sempit?" tanya Vania yang nelihat kebaya modern tersebut sangat pas ditubuh sahabatnya itu.
"Nggak. Pas banget." jawab Alena.
"Nggak sesak?" tanya Vania lagi. Dia merasa agak ngeri juga karena pakaian pendamping tersebut memang membuat bentuk lekuk tubuh Alena terlihat lebih menonjol.
"Kenapa? jelek ya?" Alena menoleh.
"Nggak. Bagus kok. Kamu semakin montok." Vania tertawa.
"Bilang aja kalau aku gendut!" ibu dua anak itu mendelik.
"Nggak ih, siapa bilang? Kamu nggak gendut, tapi montok." ulang Vania.
Alena mencebik.
"Coba foto, terus kirim ke kak Hardi, pasti dia bilang hal yang sama." Vania berujar lagi.
Alena menyeringai, kemudian dia melakukan apa yang dikatakan tema satu kelasnya saat kuliah tersebut.
***
Suara gaduh terdengar di depan pintu masuk ketika beberapa orang perempuan tiba, dan langsung mendapat sambutan dari Anna. Empat orang temannya memenuhi janji mereka untuk bertemu disana dan sama-sama mencoba pakaian pendamping pengantin untuk pernikahan yang akan berlangsung kurang dari satu bulan lagi.
"Temen-temen aku ..." Anna menarik mereka kesana.
"Abang dimana?" tanyanya kepada Vania yang sibuk dengan dua balita sahabatnya.
"Kamar ganti."
"Oh, ..."
"Apa sudah pas? apa ini cocok? rasanya warnanya ketuaan di abang?" Arya kemudian muncul dengan jas hitam khusus. Yang terlihat sangat pas melekat di tubuh tingginya.
Semua orang menoleh, dan seketika ruangan terasa hening. Pandangan mata para perempuan di depannya terlihat tak berkedip sedikitpun saat pria itu berdiri dengan gagahnya.
Pria matang dengan stelan jas hitam rapi tentu saja menambah pesonanya yang memang telah terbentuk bahkan jauh sebelum itu. Namun dia tidak pernah menyadari hal tersebut.
"Abang ganteng." Vania dengan spontanitasnya, membuat perhatian Arya kembali kepadanya.
Pria itu terdiam.
"Lebih ganteng dari terakhir ketemu ya?" seorang dari teman Anna menyahut. Salah satu yang pernah dikenalkan oleh gadis itu kepadanya.
Arya melirik sekilas.
"Oh iya, udah pernah ketemu kan dulu?" Anna mengingat hal tersebut. "Abang ingat Lyra 'kan?"
"Ingat." Arya mengangguk.
"Apa kabar?" sapa perempuan bernama Lyra tersebut sambil mengulurkan tangan.
"Baik." jawab Arya, tanpa menyambut uluran tangan perempuan cantik tersebut.
"Lama nggak ketemu ya? dan kamu masih seperti dulu, ... nggak ramah." Lyra berujar.
Arya tersenyum, yang terlihat sedikit dipaksakan.
"Sudah tahu kan, kalau saya seperti itu?" pria itu menjawab.
"Yeah, ..." Lyra menarik kembali uluran tangannya.
Pria sombong! batinnya.
"Oke, ... mana yang harus aku coba? waktuku cuma sedikit. Sebentar lagi pacar aku jemput Ann, ..." ucap Lyra yang melewati pria dihadapannya.
Vania mengerutkan dahi, lalu melirik kepada Arya yang tetap bersikap acuh.
"Gimana Van?" Anna menunjukan teman satu kantornya itu yang telah berganti pakaian.
"Cantik. Udah bagus." jawab Vania.
"Menurut aku, dadanya kurang rendah ... pungungnya terlalu tertutup, bikin aku sesak tahu?" ucap Lyra.
"Menurut aku udah bagus kak. Begitu kakak udah cantik, nggak harus dirombak lagi kebayanya."
"Tapi aku lebih suka dirombak lagi, biar aku kelihatan semakin cantik. Iya kan?" Lyra tetap dengan pendapatnya.
"Nanti saingan dong sama pengantinnya?" sergah Vania.
"Aku suka saingan kok, apalagi sama pengantin." jawab Lyra.
"Ya udah ... teserah kakak aja." Vania menyerah.
"Umur kamu berapa memangnya? kenapa panggil saya kakak?" Lyra terdengar tidak suka.
"Saya?" Vania menunjuk dirinya sendiri.
"Iyalah, memangnya siapa lagi?"
Gadis itu baru saja akan menjawab saat Lyra kembali berucap.
"Lagian, kamu siapa kok dengan sok tahunya ngatur-ngatur saya harus berpakaian seperti apa?" lanjut Lyra.
"Oh, .. memang harus saya atur kak, kan biar serasi denga pengantin dan dekorasinya. Biar nggak terlihat berlebihan, apalagi melebihi pengantin." jawab Vania dengan tenang.
"Hmm ..." perempuan itu berlenggak lenggok di depan cermin.
"Kamu orang W.O nya?"
Vania menganggukan kepala.
"Oh, ... pantesan." Lyra dengan nada mengejek.
"Dia ... pemiliknya, ..." Arya mendekat, setelah merasa gemas dengan setiap ekspresi yang ditunjukan teman kerja dari adiknya tersebut. Terutama kepada Vania, entah mengapa dirinya merasa sangat kesal.
"Dan calon istri saya." lanjut pria itu, dan tanpa diduga dia merangkul pundak Vania. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu terhenyak.
"Calon istri?" ucap mereka serentak, termasuk gadis yang pundaknya Arya rangkul, seraya menatap wajah pria itu yang datar tanpa ekspresi.
🌺
🌺
🌺
Bersambung ...
Omegaat, ... abaaaaannng ... beneran ituteh? ish, ... bikin geer deh? 🤭🤭🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Hearty 💕
Wiih surprise
2023-11-23
0
Nana
bang Arya kesayangan emang the best dah... yuk gercep bang!!!
2023-07-14
0
itanungcik
visual cocok bestie
2023-02-02
1