🌺
🌺
"Kalian datang?" Vania menghampiri sahabatnya yang muncul siang itu. Tepat beberapa jam setelah spot jajanannya dibuka.
"Maaf, telat. Biasa nungguin papanya anak-anak dulu." Alena yag menggendong Alea.
"Hmm ... nggak apa-apa. Aku ngerti, ibu rumah tangga mah gitu." gadis itu tertawa.
"Hu'um, ... mau pergi duluan nggak boleh, tapi dianya lama. Harus beresin dulu kerjaannya." Alena menjelaskan.
"Iya. Kan udah biasa?" Vania menanggapi.
"Kak Alya cuma titip salam, nggak bisa datang. Lagi konsentrasi ngerasain perutnya." Anna menambahkan.
"Udah mau lahiran?" Vania antusias.
"Belum, tapi lagi mulai kerasa."
"Oh, ..." Vania mengangguk, namun kemudian dia terdiam setelah menunggu beberapa saat. Seseorang yang ditunggunya tak kunjung muncul.
"Bang Arya kemana?" akhirnya dia bertanya.
"Ah, iya lupa. Abang hari ini ada kerjaan sampai malam. Katanya nanti kalau sempat pasti mampir." jawab Anna.
"Hmm ..." Vania menggumam.
"Gimana hari pertama buka?" Raja dan Hardi yang muncul setelahnya, mengandeng tangan sikecil Dilan yang langsung menghambur ke arah Vania.
"Mau akelim!" ucap bocah itu, seperti biasa ketika bertemu dengannya.
"Oke, nanti kita ambil." katanya, kepada Dilan.
"Rame nggak?" Raja menyela.
"Lumayan kak. Media sosial lumayan membantu." Vania menjawab.
"Bagus lah. Tapi kalau misalnya kurang, nanti kita bantu." Raja berujar.
"Makasih kak. Tapi jangan dulu. Biar disini terbiasa dulu, kalau terlalu rame takutnya kita malah keteteran. Anak-anak belum terbiasa." tolak Vania, dia melirik dua pegawai yang tengah melayani beberapa pembeli
"Ya ampun, sampai lupa. Kalian mau makan apa? ayo pesan dulu. Nanti aku yang siapin." gadis itu menggiring mereka ke tempat duduk kosong di sisi lainnya.
***
"Makin sore makin rame ya?" Anna melihat sekeliling. Tampak pengunjung area itu yang terus berdatangan.
Selain kios milik Vania, di tempat itu juga ada beberapa tenant yang manjual berbagai macam makanan khas anak muda. Letaknya yang srategis di tengah kota Bandung, juga dekat dengan beberapa kampus ternama dan sebagai tujuan wisata lokal memang membuatnya menjadi tujuan sebagian besar anak muda untuk berkumpul, terutama di malam akhir pekan.
"Memang disini ramainya di sore hari." Vania yang ikut berbaur bersama mereka.
"Bukanya sampai jam berapa?" Raja bertanya, dia menyesap capucino dingin miliknya.
"Hari biasa sampai jam 9, tapi kalau weekend ya sampai jam 12 lah." jawab Vania.
"Malam amat?"
"Malam panjang, kak. Lumayan." Vania dengan cengiran khasnya.
"Dih, mata duitan." Raja mencibir.
"Logislah, semuanya butuh duit." tukas Vania. "Nggak ada duit nggak jalan hidup." dia tergelak.
"Bener ..." Anna mengamini.
"Ya tapi nggak sampai segitunya juga kali? jualan sampai malam banget? kamu perempuan." Raja berujar.
"Emangnya kenapa? butuh duit kan nggak kenal laki-laki atau perempuan. Semua orang butuh. Selagi ada kesempatan, kenapa nggak?"
"Ish, ... bisa aja jawabnya?"
"Iya dong, ...banyak tanggungan soalnya, ..." ucap Vania.
"Makanya cepetan nikah, biar hidup kamu ada yang nanggung." cibir Raja.
"Yeeee ... kenapa nyambungnya kesana? aku belum kepikiran."
"Cewek mah apalagi sih? kayaknya kamu udah siap. Alena aja anaknya udah dua." sambung Raja.
"Nggak ah, ... lagian belum ada calonnya." gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya.
"Yang nganggur banyak ..." sambung Raja.
"Iya Van, salah satunya dia nih." Hardi tiba-tiba menyahut. Seraya mengarahkan telunjuknya pada Raja. Seketika mereka semua terdiam dan saling pandang.
"Dia juga masih jomblo, kalian cocoklah, ..." lanjutnya.
"Eee ... kak Hardi bercanda nih." Vania tertawa, yang kemudian diikuti empat orang di depannya.
"Bercandanya keterlaluan, ..." sahut Raja yang tertawa seraya menyesap minuman dingin miliknya.
"Hu'um, ..." lalu mereka tertawa lagi.
***
"Aku belum bisa bantuin, ..." ucap Alena, saat mereka hampir berpamitan.
"Nggak apa-apa, belum terlalu rame juga." Vania mengantarnya hingga ke mobil, kemudian menyerahkan Alea yang hampir tertidur.
"Ja, lu masih mau disini?" Hardi berteriak kepada Raja ketika sahabatnya itu belum beranjak dari tempat duduk.
"Gue bentaran lagi lah, ...
"Oke kalau gitu." lalu ketiga orang itupun pergi.
"Kak Raja lagi santai ya?" Vania kembali setelah yakin mobil milik Hardi menghilang diantara mobil lainnya di jalan raya.
"Lumayan." jawab Raja yang dengan santainya merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Bentar ya, ada pembeli ..." Vania meninggalkannya untuk melayani pembeli yang datang.
Pria itu tak mengalihkan pandangan darinya, dia malah memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sikapnya yang ramah kepada semua orang, bahasa tubuhnya, dan senyum juga raut wajahnya ketika sedang berbicara.
Dia memang menyenangkan, selain karena pekerjaannya yang membuatnya terbiasa sering bertemu banyak orang, juga karena pribadinya yang cenderung ramah dan hangat kepada siapapun. Gadis itu bahkan bisa sangat ekspresif ketika sedang bersama dengan orang yang dekat dengannya.
"Gue mau sama lu, tapi ... lu mau nggak sama gue?" Raja bergumam, pandangannya masih tertuju kepada Vania. Pria itu kemudian terkekeh.
Mulai gila nih gue, batinnya, kemudian bangkit saat Vania kembali kepadanya.
"Kamu serius bukanya sampai tengah malam?" Raja melihat sekeliling yang mulai sepi. Dia melihat jam tangannya yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
"Nggak juga sih. Kalau udah sepi ya mending tutup aja. Serem juga kalau buka sampai nanti." dia menjatuhkan bok*ngnya di kursi.
"Kirain, ...
"Kak Raja nggak pulang? udah malam lho." Vania berujar, yang membuat pria di depannya menyemburkan tawa keras.
"Kamu kayak ngomong sama anak sd deh." ucapnya kemudian.
"Ya kali, ini udah malam." ulang Vania.
"Iya tahu, ... "
"Terus kenapa nggak pulang?"
"Ngusir nih?"
"Nggak, bukan ngusir. Cuma tanya aja." gadis itu sambil tertawa.
"Nggak lah, udah biasa pulang malam juga. Lagian di kosan kan sendirian, nggak akan ada yang ngomel kalau nggak pulang juga." jelas Raja.
"Oh, ..." Vania mengangguk-anggukan kepala.
"Mau tutup sekarang?" tanya Raja setelahnya.
"Ng ...." gadis itu menatap jalanan, dia seperti sedang menunggu seseorang muncul disana.
"Lagi nunggu orang ya?" Raja menangkap gelagat tersebut.
"Nggak juga sih." Vania menggelengkan kepala. "Ya udah, aku clossing dulu sebentar ya?" katanya.
"Mau aku bantu beres-beres nggak?" Raja menawarkan diri.
Vania tertegun sebentar.
Namun pria itu, segera melakukan apa yang dia katakan sebelum mendapat jawaban dari si empunya tempat.
Raja mengangkat kursi ke atas meja, mengkupkannya seperti yang pernah dia lihat dilakukan oleh pegawai kafe, sementara Vania masuk kedalam pantry, lalu memeriksa beberapa hal bersama dua pegawainya.
Sementara Arya masih asyik mengawasi di dalam mobilnya di seberang jalan sana.
🌺
🌺
Arya menatap langit Bandung yang masih kelabu. Pagi itu dia telah siap dengan pakaian dan sepatu olahraganya. Sepasang earpiece menempel ditelinganya, memutar musik yang disukainya.
Kemudian dia mulai berlari pelan keluar dari pekarangan rumahnya, menuju lapangan olahraga terkenal di kota Bandung. Ini kali pertamanya dia melakukan hal tersebut, setelah beberapa tahun lamanya. Kesibukannya dalam bekerja membuatnya tak bersemangat melakukan apapun selain bekerja itu sendiri.
Bukan apa-apa, pria itu selalu ingat tanggung jawabnya terhadap adik perempuan yang masih tersisa dirumah. Yang sebentar lagi akan dia nikahkan dengan seorang pria pilihannya.
Bahkan hingga gadis itu hampir menikahpun, dirinya masih saja bersemangat menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Mendukung Anna untuk memilih apapun yang gadis itu inginkan untuk pernikahannya. Sama seperti kepada Alya, dan Alena tentunya.
Matahari mulai bersinar menghangat, namum udara masih tetap terasa membekukan. Terlihat dari uap yang muncul setiap kali pria itu menghembuskan napas. Kendaraan yang belum terlalu ramai membuat jalanan kota nampak lengang. Malah, lebih didominasi oleh para pelari pagi yang sama-sama menuju lapangan Gasibu seperti dirinya.
Arya berhenti saat dia melewati area itu, sengaja dan berharap dia akan menemukannya disana. Mungkin kali ini sendirian tanpa sahabat adik iparnya seperti semalam dan tempo hari.
Dan disanalah dia, yang baru saja turun dari motor maticnya. Melepas helm, dan meletakannya di stang seperti pengunjung yang sudah berdatangan ke taman kota tersebut.
Vania berjala ke arah kiosnya, kemudian terlihat membuka kunci rollingdoor.
"Sedang apa dia pagi-pagi begini?" gumamnya, kemudian melihat sekeliling.
Dia berpikir sejenak, sembari merasakan debaran di dada yang tiba-tiba bertambah kencang dari sebelumnya.
"Ish, ... kenapa aku ini?" dia menekan dadanya kuat-kuat.
Arya menarik dan menghembuskan napasnya beberapa kali, dan akhirnya memutuskan untuk menyeberang ketempat itu.
"Abang?" Vania berhenti diambang pintu saat hampir keluar untuk menggeser rolingdoor setelah meletakan tas dan jaketnya di dalam. Agak terhenyak mendapati pria itu yang berdiri menjulang di depan kiosnya.
"Pagi-pagi begini kamu sudah mulai jualan?" Arya langsung bertanya.
"Cuma prepare aja. Tapi kalau misal udah ada yang beli juga lebih bagus sih." dia terkekeh sambil menggeser rolling door kesamping.
"Hmm ...
"Abang mau jogging?" tanya nya kemudian.
"Bukan, mau mancing." jawab Arya, sekenanya.
"Hah?"
"Kamu pikir saya mau ngapain pakai training seperti ini?" pria itu dengan ketusnya.
"Dih, ...
"Kamu suka aneh." lanjut Arya, diapun menggeser rollingdoor di sisi lainnya.
"Nanya doang, Bang. Gitu aja marah?" gerutu Vania.
Arya hanya menggendikkan bahu dengan raut wajah yang datar.
"Terus abang ngapain mampir kesini? olahraganya mau disini ya?" Vaia mencoba bertanya lagi.
"Memangnya tidak boleh? terserah saya dong, mau ke Gasibu kek, mau disini kek." jawab Arya lagi tanpa ragu.
"Ish, ... makin jadi aja nih orang." gumam Vania.
"Kamu bilang sesuatu?" Tanya Arya.
"Nggak. Cuma ...
"Apa yang mau kamu siapkan? saya bantu mumpung masih disini."
"Nggak ada, cuma beresin meja sama kursi doang sih, siapa tahu ada yang mau duduk gitu? berdiri terus kan pegel?" Vania setengah menyindir.
"Hmm ..." pria itu melenggang kearah meja dan kursi yang berderet rapi, lalu menurunkannya seolah benda itu akan digunakan.
***
"Ini ..." Vania menggeser kopi panas dan satu cup kecil gula pasir kesamping Arya yang tengah duduk di kursi taman dibawah pohon kiara besar yang tersisa ditaman itu.
"Mau olahraga nggak apa-apa gitu minum kopi?" tanyanya kemudian.
"Sepertinya saya sudah malas untuk olah raga." jawab Arya, menatap kopi dan wajah Vania secara bergantian.
"Capek ya, gara-gara bantuin aku?" kedua sudit bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum, dan dua sudut matanya menyipit sehingga membuatnya terlihat menggemaskan.
Menggemaskan? hati Arya berbisik.
"Udah aku bilangin nggak usah bantuin aku, tapi abangnya maksa. Kan jadinya capek." ujar Vania.
"Mana saya tega meihat perempuan mengerjakan itu sendirian? kamu pikir saya ini laki-laki seperti apa?" Arya menjawab.
"Aku udah biasa. Abang lupa ya, aku kan sering bantuin ibu di kafe?" ucap Vania.
"Oh iya, terus ibu kamau bagaimana kalau kamu buka usaha sendiri? siapa yang akan membantu?"
"Di kafe udah banyak orang, lagian kasihan ibu kalau aku ikut juga kerja disana, pendapatannya berkurang karena harus bayar aku juga kan."
"Hah?"
"Aku juga termasuk karyawan disana lho, ..."
"Itu orang tua kamu lho, masa minta bayaran juga?"
"Bukan aku yang minta, tapi ibu yag ngasih. Biar sama kayak yang lain." jawab Vania.
"Lagian aku udah males datang ke kafe, malah bikin kesel aja kan." lanjutnya.
"Malas kenapa?"
"Saudaranya Ayah udah mulai ikut campur, ikut ngatur, dan ikut nentuin apa yang harus dikerjain di kafe. Padahal dulu, waktu kafenya belum seperti sekarang, nggak ada tuh yang mau datang buat bantuin. Cuma ibu dan aku." Vania menjelaskan.
Arya menatapnya lekat-lekat.
"Mau tambah susu nggak?" tanya Vania setelah mereka terdiam cukup lama.
"Hah, apa?" Arya terperangah mendengar pertanyaan gadis itu.
"Kopinya."
"Kopinya?" dia membeo.
"Iya, kopinya. Mau tambah susu nggak? tuh, mumpung ada kang susu murni lewat?" Vania menunjuk seorang pria yang mendorong roda kecil di depan sana.
"Susu murni?" Arya mengikuti ucapannya.
"Hu'um, ... kalau mau aku beliin." gadis itu hampir bangkit.
"Tidak usah, ..." Arya meraih tangannya dan menariknya kembali duduk disana.
Keduanya tertegun, ini pertama kalinya mereka bersentuhan.
"Ng ..." dan suasanapun berubah canggung.
"Tidak usah repot-repot. Ehm ..." Arya berdeham sekedar untuk melegakan tenggorokannya. "Kopi saja buat saya sudah cukup." katanya seraya meraih cangkir kopinya disamping, lalu meneguknya sedikit demi sedikit.
"Belum pakai gula lho, ..." Vania mengingatkan.
"Saya nggak suka ditambah gula, ..." Arya terkekeh.
"Kenapa? kan pahit?" Vania bertanya.
"Kenapa ya?" Arya memiringkan kepalanya.
"Oh, ... aku tahu kenapa abang nggak suka pakai gula?" gadis itu tersenyum.
"Kenapa?" Arya balik bertanya.
"Takut kemanisan, ntar diabetes." dia kemudian tertawa sambil menutup mulutnya. Sebuah pikiran konyol baru saja melintas diotaknya.
"Bukan ..." sergah Arya.
"Soalnya kan sambil lihatin aku juga." lanjut gadis itu, kemudian tertawa terbahak-bahak, membuat Arya kembali tertegun. Namun kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan senyum yang samar.
"Canda bang, jangan terlalu serius jadi orang." Vania berujar saat menghentikan tawa.
"Saya ... terbiasa seperti ini." jelas Arya.
"Persis kayak Alena waktu pertama aku kenal. Tapi ... dia berubah juga setelah bergaul sama aku. Mungkin abang juga butuh lebih banyak bergaul."
"Saya tidak punya waktu sebanyak itu." pria itu menyandarkan punggungnya.
"Karena ngurus adik-adik sama kerjaan?"
Arya tak menjawab.
"Sekarang adik-adiknya abang udah dewasa, udah pada nikah, termasuk Kak Anna sebentar lagi. Jadi mungkin nanti abang nggak harus sesibuk itu lagi."
Arya mendengarkan.
"Waktunya untuk mengurus diri sendiri." sambungnya.
Arya memutar bola matanya, dia tahu percakapan ini akan bermuara kemana.
"Hah, ... sudah mulai. Kamu seperti adik-adik saya, yang selalu membahas hal sama." pria itu bangkit.
"Nggak ih, ...
"Saya mau lanjut jogging lah ..." Arya berujar.
"Katanya tadi udah males olahraga?" Vania mengikuti pria itu dengan pandangan matanya.
"Saya pikir, kalau males nanti kesehatan saya terganggu." tukas Arya.
Vania mencebik.
Kemudian Arya segera pergi dari tempat itu membawa jantung hatinya yang terus saja berdebar keras.
Jantungku yang mulai terganggu. gumamnya dalam hati.
🌺
🌺
🌺
Bersambung ...
ih, si abang mah ... biasain atuh bang, asik tau ngerasain jantung berdebar-debar di dekat gebetan. Kelamaan jomblo nih kang mochi ah elaaahh ...
Biasakan klik like, komen, hadiah. Vote kalau ada, biar novel ini naik ke permukaan. Oke gengks ...
i love you full 😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Hearty 💕
Aa jangan hanya nonton ajaa bertindak dong
2023-11-23
0
itanungcik
arya mau tapi malu
2023-02-02
1
ȋ⏤͟͟͞Rἅyαyu⚜ʙᴏʀɴᴇᴏ⚜࿐ཽ༵
kayaknya si Abang butuh dokter
dokter cinta 😂😂😂
2022-07-31
1