🌺
🌺
"Kamu hari ini jadi pemotretan?" Arya menyeruput kopi panas yang baru saja dibuatkan Anna untuknya.
"Jadi nanti siang." Ana menyuapi Dilan yang ikut sarapan dengan mereka.
"Baiklah, ...
"Dilan biar sama aku aja, nanti aku antar sambil pergi ke Rumah Kayu." kini dia melahap makanannya sendiri.
"Kenapa harus disana?" Arya menghentikan kegiatan sarapannya.
"Kenapa nggak? tempatnya bagus, sekalian nanti pas resepsi juga 'kan disana." jawab Anna.
"Kenapa harus disana juga? Memangnya tidak ada tempat lain? sekarang sudah banyak tempat bagus 'kan?" ucap Arya.
"Aku mau disana. Seperti kak Alya." jawab Anna, lalu tersenyum.
"Hmm... terserah kamu saja." dia bangkit dari kursinya, lalu menarik jas yang tersampir dibelakang kemudian mengenakannya.
"Abang ada pertemuan dengan perusahaan real estate. Mau buka lahan untuk perumahan baru. Mungkin pulangnya malam." pria itu merapikan pakaiannya.
"Oke, hati-hati." Anna membenahi letak dasi kakak laki-lakinya yang terlihat agak miring.
Arya terdiam menatap adik perempuan keduanya itu lekat-lekat. Dia memindai wajahnya yang sebentar lagi akan jarang ditemui karena perempuan 28 tahun itu akan segera menikah dengan pria pilihannya.
"Kok diam? Katanya mau ada pertemuan." Anna menyadarkannya Arya dari lamunannya.
"Kamu... sebentar lagi akan meninggalkan abang." ucapnya, dengan sedikit rasa sesak di dada.
Anna terdiam.
"Nanti disana kamu harus baik-baik ya? Harus menurut kepada suamimu, karena dia yang akan menggantikan abang melindungimu." lanjut Arya.
"Tapi jangan lupa mengunjungi abang, setidaknya satu minggu sekali kita berkumpul disini. Dengan Alya dan Rasya, Alena dan Hardi, dan nanti anggota keluarga kita bertambah dengan adanya Rendra. Rumah ini akan semakin ramai." ucapnya lagi, dengan senyum namun kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Jangan lupa juga, nanti akan bertambah sama istri abang." sambung Anna.
Arya terkekeh keras, dia mengusap sudut matanya yang basah dengan punggung tangannya.
"Tugas abang sudah selesai. Sekarang saatnya abang mencari kebahagiaan sendiri. Kami sudah mendapatkan apa yang abang impikan selama ini."
"Belum." Arya menggelengkan kepala, namun senyuman belum lenyap dari bibirnya. "Kamu belum benar-benar menikah, nanti setelah Rendra mengucap akad, baru tugas abang selesai." pria itu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.
"Berjanjilah, abang akan melakukannya kali ini." Anna meraih tangan kakaknya, lalu menggenggamnya dengan erat.
"Iya. Abang janji."
Anna tersenyum.
"Kalau masih ada yang mau." pria itu tergelak.
"Ish, ... udah ngeper duluan? ya ada lah, masa nggak?"
"Masa?"
Anna mengangguk.
"Kalau nggak ada ya salah abang sendiri."
"Kok salah abang?"
"Ya habisnya sibuk mikirin kerjaan dan adik-adik abang ini, kalau nggak 'kan udah punya anak berapa kali? lihat kan kak Hana aja anaknya mau tiga? nah abang malah ketinggalan jauh?"
Arya tertawa. "Tidak ada hubungannya."
"Ya ada lah, ...
"Atau mau aku cariin? aku banyak temen yang masih singel. Mau gadis apa janda? banyak."
Arya kini mengulum senyum.
"Abang nggak yakin akan cocok dengan mereka."
"Ya makanya, jangan judes-judes jadi cowok. Ramah sedikit kenapa sih?"
Arya menggelengkan kepala. "Nggak mungkin."
"Kenapa ngga mungkin?"
"Ramah bukan pribadi abang yang sebenarnya."
Anna mengangkat satu sudut bibirnya keatas, "Se nggak nya jangan terlalu judes-judes lah
Sayang nanti jodohnya malah kabur."
"Kalau memang jodoh tidak akan kemana. Dan mereka akan menerima kita apa adanya tanpa harus ada yang berubah. Bukankah cinta itu menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing?"
"Iya juga sih. Tapi jaman sekarang kayaknya itu nggak berlaku deh." sergah Anna.
"Kenapa?" Arya mengerutkan dahi.
"Ya contohnya, abang masih jomblo aja udah seumuran gini juga." perempuan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan.
"Hmm... " Arya menggumam, kemudian dia menyentil kening adik perempuannya itu.
"Abang!!" Anna berseru sambil mengusap keningnya yang terasa sakit.
"Kamu mulai nggak sopan, mentang-mentang sebentar lagi mau menikah?" dia berujar.
Anna Kemudian menghambur ke pelukannya, "Nggak berani bang, maaf. Aku cuma bercanda." dia menyurukan wajah di dada Arya, yang kemudian memeluknya begitu erat.
"Berjanjilah untuk hidup lebih bahagia dari ketika kamu masih bersama abang."
Anna mengangguk.
"Abang juga harus janji akan baik-baik aja tanpa aku."
"Iya." Arya pun mengangguk.
"Tapi kalau kangen, abang boleh kok datang kerumah kami. Aku sama Kang Rendra pasti seneng."
Pria itu mengangguk lagi. Dan seketika suasana mendadak hening, dua kakak beradik itu hanya saling mengeratkan pelukan.
"Udah, katanya mau pergi? semenit lagi kita bahas ini pasti nanti ujungnya jadi nangis?" Anna melepaskam rangkulannya kemudian menjauh.
"Benar. Akhir-akhir ini kita jadi cengeng ya?" Arya kembali menyeka sudut matanya.
"Hu'um, ... kayak mau pisah jauh aja. Padahal cuma beda komplek doang." Anna tergelak.
Arya menganggukan kepala, "Ya sudah, abang pergi." ucapnya, kemudian keluar dari rumah setelah berpamitan juga kepada bocah yang asyik dengan sarapannya.
🌺
🌺
Cuaca Bandung terasa panas siang itu, padahal seharusnya bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Tapi sepertinya cuaca benar-benar berubah, dan menjadi tidak menentu. Kota benar-benar terasa gersang.
Mobil milik Arya melintas di sebuah jalan yang memang selalu dia lewati setiap hari. Juga jalan dimana tempat gadis itu akan memulai usahanya sendiri.
Arya teringat, dan dia memelankan laju mobilnya saat kendaraan di depan juga melambat dan berhenti. Kemacetan mulai terjadi.
Dia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Entah kenapa dadanya berdebar kencang disaat dia menyadari akan melewati kios milik Vania yang berjarak beberapa meter di depan sana.
Perasaan konyol! batinnya.
Dan pria itu tak bisa menahan diri untuk tak melirik ke arah kiri ketika mobil yang dia kendarai benar-benar melintasi kios tersebut, yang rolling doornya terbuka lebar, dan ada sosok yang sangat dia kenali berada disana.
"Alena?" gumamnya, dan dengan refleks pria itu membelokan kendaraan roda empatnya ke arah kiri.
Kenapa aku malah berbelok? pria itu bermonolog.
Dia sempat akan mengurungkan niatnya, namun adik bungsunya terlanjur mengenali mobil yang hampir berhenti tepat di depan kios, dan Alena melangkah keluar.
"Abang?" sapanya.
Arya tertegun sebentar, namun kemudian dia membuka pintu mobil lalu turun.
"Kamu sedang apa?" tanyanya seraya menghampiri.
"Bantu Vania." perempuan itu menerangkan. "Abang sendiri?" dia balik bertanya.
"Habis ada pertemuan diluar." jawab Arya.
"Oh, ...
"Anak-anak dibawa?" Arya menilik kedalam kios berlantai dua itu bermaksud mencari dia bocah kesayangannya, namun yang dia temukan justru sosok yang beberapa waktu terakhir selalu ada dalam pikirannya.
Dia mengalihkan pandangan.
"Kak Anna bawa Dilan ke pemotretan."
"Alea?"
"Dijemput kak Alya barusan." Alena menahan senyum.
"Kebiasaan," Arya mendengus, merasa tak senang ketika mendengar bayi enam bulan tersebut bebas dibawa oleh siapapun.
"Katanya cuma sebentar."
"Alea masih terlalu kecil untuk kamu bebaskan ikut siapapun."
"Sama kak Alya Bang." tukas Alena.
"Sama saja."
Alena buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat, dia tak ingin berdebat dengan kakak laki-lakinya tersebut, karena dipastikan akan kalah.
"Lho, kenapa diluar? masuk sini!" Vania setengah berteriak diambang pintu setelah dia menyadari kedatangan tamu tak diduga siang itu.
Kakak beradik itu menoleh bersamaan.
"Masuk! diluar panas." ucap Vania lagi, kemudian dua orang tersebut menurut.
"Maaf, masih berantakan. Alena aja sampai bantuin 'kan?" perempuan itu menggeser kursi kehadapan mereka.
Arya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang telah ditempeli wallpaper yang sebagian bermotif retro itu. Padahal kemarin dilihatnya tempat tersebut masih berantakan.
"Kamu tidak menyuruh orang untuk membereskan semua ini?" tanya nya saat dia tak melihat siapapun disana selain Vania dan adiknya.
"Nggak." perempuan itu menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Nggak ap-apa. Penghematan, Bang." dia kemudian tersenyum.
Arya mencebik.
"Kamu sendiri mengerjakan ini?" dia menunjuk dinding yang sebagian sudah rapi.
"Nggak. Kemarin dibantuin sama kak Raja, tapi nggak tahu sekarang dia datang lagi atau nggak. Kemarin sih bilangnya mau bantuin lagi gitu, tapi nggak tahu datang jam berapa." jawabnya dengan lugu.
Arya tertegun.
"Apa saja yang harus dibereskan?" kemudian dia bertanya.
"Ya ini." Vania menunjuk beberapa barang di belakangnya.
"Ya sudah, ..." pria itu melepaskan jasnya, kemudian menggulung lengan kemeja, bersiap untuk mengerjakan sesuatu.
"Abang juga mau bantuin?" Vania dengan wajah semringah.
"Ya apalagi?" jawab Arya.
"Serius? bukannya ini masih jam kerja ya?" Alena menatap layar ponselnya.
"Bolos sebentar masih bisa." pria itu berucap.
Mereka kemudian melanjutkan pekerjaan membereskan semua barang yang ada di dalam bangunan tersebut. Menatanya di tempat semestinya, kemudian mengaturnya agar terlihat sesuai dan lebih rapi.
"Apa sih yang mau kamu jual?" Arya memulai percakapan. Dia mengangkat meja bersama Vania, sementara Alena meletakan kursi-kursinya."
"Masih rahasia." Vania menjawab.
Arya sedikit mendelik.
"Jajanan kekinian, bang. Kebetulan nggak jauh dari sini kan ada SMA favorit, terus sebelah sananya ada kampus juga. Pasarnya bagus kan?"
"Jajanannya apa?" Arya penasaran.
"Ada deh, masa dikasih tahunya sekarang."
Arya kembali mendelik kesal, namun dia melanjutkan pekerjaannya hingga meja-meja tersebut tertata rapi di tempat yang ditunjuk Vania.
"Beres satu, .... makasih." dia bertepuk tangan.
"Bukanya kapan?" Arya masih bertanya.
"Weekend Ini kayaknya. Abang nanti datang ya? ajak kak Anna juga biar pada tahu aku buka tempat nongkrong baru?"
"Cieeee... lagi akur? tiba-tiba ngundang aja? lah, aku aja belum di undang." Alena menyela percakapan. Mendadak dirinya merasa tak dianggap oleh dua orang ini.
"Ish, ... termasuk kamu juga Al, ..." ucap Vania, sedikit salah tingkah.
"Tunggu, mau minum nggak? sebentar aku buatin ya?" lanjutnya, seraya menghambur ke arah belakang dimana perabotan lengkap dan bahan makanan sudah tertata rapi disana.
Arya terdiam, namun kemudian dia melirik ke arah adik bungsunya yang tengah mengulum senyum.
"Kamu kenapa?" dia menaikkan sebelah alisnya.
"Nggak." Alena dengan menahan tawa.
"Senyum kamu aneh?" ucap Arya, dia sedikit mendelik.
"Abang abis dari mana sih?" Alena kemudian mendekat.
"Ada pertemuan dengan orang real estate, mau buka lahan perumahan baru." jawab Arya, yang kemudian duduk dikursi yang baru saja merka bereskan.
"Dikantor?"
"Di lahan yang mau dibuka."
"Pantesan." Alena turut duduk di dekatnya.
"Maksudnya?" Arya mengerutkan dahi.
"Kali abang kesambet jin penghuni tempat itu?"
Arya menatap adik bungsunya yang hampir tertawa.
"Abisnya, tiba-tiba ngakurin Vania? ada angin apa ya? pantesan cuaca Bandung sekarang panas banget, tahunya ini." perempuan itu meneruskan ejekannya.
"Sembarangan kamu!" Arya menggeram, sementara Alena terus tertawa.
"Nah, ngobrolnya sambil minum." Vania datamg dengan membawa tiga cup minuman dingin yang kemudian dia letakan dimeja.
"Apa ini?" Alena menarik salah satunya.
"Ini yang mau aku jual." jawab Vania, yang menggeser satu cup ke dekat Arya.
"Rasa kopi." katanya.
Arya hanya menatap sekilas, lalu beralih pada minuman dingin di depannya.
"Gigi saya suka ngilu kalau minum es." gumamnya.
"Ini bukan es!" tukas Vania.
"Ini esnya banyak?" pria itu menunjuk benda tersebut yang mulai mengeluarkan embun yang terasa dingin di telunjuknya.
"Coba dulu deh, baru protes." ucap Vania.
Kemudian dua orang tersebut menyesap minuman milik mereka.
"Enak Van." Alena berucap.
"Oia?" Vania dengan mata berbinar.
"Hu'um, ..." sahabatnya itu mengangguk.
"Punya abang gimana?" kini dia beralih kepada Arya.
Pria itu masih terdiam, mencoba merasai minuman miliknya. Rasa asing yang baru dicecap oleh lidahnya.
"Ini... kopi?" tanyanya.
Vania mengangguk.
"Ditambah es?"
Vania menganguk lagi.
"Jadinya es kopi dong?" lanjut pria itu.
Vania baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab, namun Arya segera mendahuluinya.
"Lalu apa bedanya dengan minuman lain? buat saya rasanya biasa saja. Bahkan masih lebih enak kopi panas seperti biasanya. Dan ini juga terlalu manis." ucapnya, yang membuat gadis di depannya seketika menutup mulut.
Arya kemudian bangkit dan meraih jas miliknya.
"Perabotan yang besar sudah selesai 'kan? Saya pamit mau kerja lagi." katanya, yang mengenakan jas kerjanya denga cepat.
"Kamu masih lama disini?" dia beralih kepada Alena.
"Hu'um, ... nunggu kak Hardi." jawab adiknya.
"Oke. Abang duluan." Arya kemudian keluar dari tempat itu, masuk kedalam mobilnya, dan pergi.
"Dasar, terbiasa sama yang pait-pait. Dikasih yang manis reaksinya gitu amat?" Vania menggerutu.
"Kamu nggak usah dengerin omongannya abang. Kayak baru kenal aja?" Alena bangkit dan mendekat kepada sang sahabat yang masih bersungut-sungut.
"Mulutnya makin hari main pedes aja? udah kayak sambel level 100!" Vania menatap mobil yang baru saja keluar dari area itu hingga benda itu menjauh dan menghilang diantara mobil lainnya.
"Udah dari dulu." Alena menepuk pundaknya. "Nanti komen netijen bisa lebih pedes dari itu lho." lanjut Alena.
"Iya, duh... untung sayang. Kalau nggak, udah aku guyurin nih kopi ke kepalanya! eh, ..." Vania langsung menutup mulutnya.
"Nah, kan.... dijutekin aja sayang, apalagi dibaikin? bisa klepek-klepek deh... " Alena tergelak.
"Halah, bisa datang badai tornado kalau dia tiba-tiba baik. Barusan aja aku heran kenapa dia tiba-tiba banyak nanya, biasanya nyindir sama protes doang bisanya?"
"Udah tahu dari dulu kan?" Alena mengingatkan.
"Hmm...
"Ya udah. Nggak aneh kan?"
Vania menganggukan kepala.
"Jadi kamu udah terbiasa kalaupun nanti berhasil." Alena tersenyum lebar-lebar.
"Berhasil apanya?"
"Ya berhasil jadi kakak ipar akulah,.... " perempuan itu tergelak.
"Ish, ..." Vania tersipu dengan kedua pipi merona.
🌺
🌺
🌺
Bersambung...
Dih, segitunya?
Like komen sama hadiahnya dong gaess,... si abang minta yang banyak. 😂😂😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Hearty 💕
Karena tidak mau kalah dari Raja
2023-11-22
0
itanungcik
lanjut bestie
2023-02-02
1
💕 Nunung 💕
Alena feelingnya kuat bisa nangkap Singal dua mahluk yg berbeda jenis tuh 😁
2022-10-04
0