Kita, Tanpa Aku
Derap langkah kaki sayup-sayup terdengar diantara alunan melodi yang mengiringi keriuhan acara. Berlari kecil melewati lorong dan beberapa orang asing dengan tangan menggenggam erat gaun pemberian sang kekasih, seulas senyum manis tak lepas tersungging dari bibir yang terpoles lipstik tipis. Meski begitu, langkah kecilnya sempat melambat kala melewati anak tangga yang melingkar indah di gedung mewah dengan dekorasi bernuansa emas dan silver.
Tok.
Tok.
Tok.
“Yuki ...,” sapa Ara dengan kepala yang menyembul dari balik pintu.
“Cantik banget kamu,” ucap Ara yang tanpa sadar sudah melangkah masuk. Tangan yang hendak menutup mulut terbuka menggantung di depan dada. Ara seakan terpesona pada aura kecantikan Yuki. Ara akui, temannya ini benar-benar memiliki aura kecantikan yang berbeda.
“Hi, Ra," senyum Yuki dengan tatapan sendu. Euphoria kebahagiaan yang tergambar jelas di garis wajah para tamu tidak terpancar pada diri Yuki.
Matanya tampak lelah dan siap mengucurkan linangan air mata kesedihan. Seketika nyeri di dada yang sekuat tenaga Yuki simpan di dasar relung hatinya mendobrak hebat. Ia tidak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba jatuh di pipi.
“Loh Mbak kok nangis??” tanya salah seorang perias dengan panik dan hampir saja menepis tangan Yuki yang hendak mengusap wajah.
“Kemasukan debu," jawab Yuki sekenanya sambil mengerjap cepat beberapa kali.
“Aduh ... Ada-ada aja sih Mbak,” gerutu sang perias dibuat mendayu, jelas ia tidak enak hati memarahi Yuki. Apalagi ketidakbahagiaan sedari tadi sudah tampak menggelayuti wajah sang pengantin.
Candaan kedua orang yang sibuk menyapukan kuas, melukis indah wajah mungil Yuki silih berganti dilontarkan untuk mencairkan suasana, namun tetap saja tidak mampu menggelitik Yuki. Memang Yuki sempat menarik sudut bibirnya, namun dalam 2 detik kemudian semuanya mental tanpa menyisakan bekas. Pikirannya melayang jauh menyusun langkah, merajut kisah dan mengoyak lembaran keterpurukan dalam angan tanpa pelita.
“Ra, sini deh,” ucap Yuki lagi sembari melambaikan tangan pada Ara tanpa menoleh. Ia masih terus menatap pantulan dirinya dari sebuah cermin. Cantik dan mempesona bagai boneka porselen, namun tampak menyedihkan di mata Yuki.
Sedangkan Ara yang sempat terpaku mulai mendekat, menggeser kursi kosong ke sisi kiri Yuki. Tidak terlalu dekat, namun juga tidak jauh, hanya cukup pas untuk mengobrol dalam intonasi lirih. Meski tetap beresiko tertangkap pendengaran orang lain.
“Apa kamu serius dengan keputusan ini?” tanya Ara sendu.
Kebahagiaan yang semula menghiasi wajah Ara lenyap, berganti pilu dan kekhawatiran. Keceriaan yang biasa menguar dari sosok cerewet Yuki menghilang, seolah tidak pernah ada sebelumnya.
“Serius,” jawab Yuki singkat diiringi senyum tipis.
Yuki tidak mampu untuk mengucapkan segala hal yang rasanya ingin ia teriakkan. Hatinya benar-benar kecewa pada keputusan yang bisa membunuh dirinya secara perlahan. Bukan kematian sebenarnya, namun hidup dalam kehampaan yang tidak lebih baik dibandingkan kematian.
“Setelah acara ini selesai, tolong temani aku dulu. Jangan langsung pulang," pinta Yuki sambil menggerakkan tangan dingin dan lembab miliknya menggenggam erat jemari Ara. Jujur saja hal itu membuat perasaan Ara semakin teriris. Ara merasa gagal sebagai teman. Ia seolah tidak berguna bagi Yuki yang selalu memberi kekuatan untuknya.
“Kamu baik-baik aja?”
“Iya.”
“Aku akan bahagia, kan?”
Sekali lagi pertanyaan Yuki menohok hati Ara. Tanpa menjawab Ara lebih memilih membalas genggaman Yuki sama eratnya. Kini Ara yakin sejatinya Yuki menolak kenyataan yang terpaksa dipilih.
Tidak ada yang tau kebahagian atau hanya luka yang tertoreh. Semua perlu dijalani agar menjadi pelajaran, meski nantinya akan ada yang disesali. Hanya perlu diingat, jangan menyerah karena rintangan itu terasa berat. Bukan membandingkan dengan kesulitan orang lain, tapi bercerminlah pada diri sendiri yang sebelumnya pernah berjuang dan menjadi pemenang.
“Pengantinnya sudah siap?” Suara asing memecah keheningan Yuki dan Ara. Membuyarkan fokus penata rias yang memasangkan ornamen terakhir pada veil di kepala Yuki.
“Sekitar 15 menit lagi tolong antar pengantin perempuannya keluar ya, Mbak?" ucapnya lagi sambil memandang jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ia memberikan senyum canggung sebelum berlalu meninggalkan ruangan yang Yuki tempati.
Seolah waktu berjalan lebih singkat, Yuki sudah melangkahkan kakinya. Menapak berat pada lantai mengkilap yang terasa berduri. Ia tersenyum kaku dengan pupil mata bergetar. Tidak pernah disangka bahwa hari ini dirinya akan berganti status, tapi hidupnya tetap seorang diri.
Sedangkan di ujung jalan yang Yuki tuju, seorang laki-laki gagah menawan dengan senyuman tidak kalah canggung sudah menanti. Mengulurkan tangan pada mempelai wanita yang sebentar lagi akan berganti status sebagai istrinya.
Kamu cantik ... Tapi sayangnya bukan kamu perempuan yang aku inginkan. Kalimat yang terucap secara sadar di lubuk hati terdalam itu terbungkus rapat dalam raut wajah bahagia yang penuh kepura-puraan.
Dalam sekejap mata semburat kebahagiaan yang tulus tampak terlukis jelas di wajah kedua orang tua mempelai. Tawa dan canda tamu-tamu yang terus berdatangan membaur dengan melodi musik yang tidak henti mengalun. Ucapan selamat dan doa terus mengucur, mengalir penuh rasa yang beraneka, namun tetap terbalut rapi dalam topeng kebahagiaan.
Tidak ketinggalan dengan gemerlap cahaya bernuansa hangat yang menghiasi atap-atap bangunan megah seolah ikut mengisi keriuhan acara. Sayangnya aura dingin justru menguar dari raga sepasang anak manusia yang baru saja resmi menjadi pasangan suami-istri.
“Tersenyumlah! Jangan seolah kamu yang paling tersiksa dengan pernikahan ini!!” Bisikan dari bibir yang tersenyum ramah itu menusuk hati. Menimbulkan rasa ngilu hingga melemahkan nadi.
Ingin rasanya membungkam bibir manis yang baru saja melontarkan kalimat menyakitkan dengan kepalan jemari lentik. Menghadiahi bogeman mentah hingga bibir itu tidak berkutik.
“Nyatanya menikah dengan kamu yang aku cintai tidak membuat aku bahagia. Untuk apa aku memaksa tersenyum?" ucap Yuki datar dengan sorot mata tajam.
"Berbohong pada semuanya hanya membuat aku lelah, lebih baik dunia menyadari bahwa aku tersiksa di sini bersama kamu.” Kilatan amarah bercampur pilu menemani untaian kalimat tajam terlontar dari bibir Yuki. Membalas nyalang dengan kalimat tidak kalah sengit yang justru ikut menyakiti dirinya sendiri.
Percayalah, Yuki ingin menangis. Menikahi sosok yang ia cintai, namun terasa bagai ditikam di ujung tebing. Yuki sudah menyerah dalam perjuangan melelahkan yang selama ini hanya terisi oleh hadirnya. Dirinya kalah, namun saat ingin menjauh pergi justru terperosok dalam kubangan pernikahan yang tidak diinginkan.
Suka atau duka? Entahlah, semoga dunia masih berbaik hati padanya, begitu pikir Yuki.
...****************...
*
*
*
Hi ... Ini adalah novel kedua setelah Aara Bukan Lara. Di sini pemeran utama kita Yuki, teman baik Aara. Untuk tau kisah manis Yuki bersama kedua sahabatnya bisa juga mengintip di novel pertama. Spoiler siapa mempelai laki-laki mungkin sudah muncul di sana.😊
Terima kasih untuk segala dukungannya dan jangan ragu memberikan saran agar aku bisa menulis lebih baik lagi.😉
Salam sayang dari Hana, si pengangguran doyan rebahan yang terjerumus menulis demi otak tak beku.😎✌
PS : Jika ada yang tergelincir ke sini karena tag "Perjodohan", mohon maaf🙏 Sudah berusaha dihapus tapi tidak bisa. Sudah pula diajukan penghapusan tag itu sejak November 2021 tapi tetap tidak hilang juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 192 Episodes
Comments
Yuyun ImroatulWahdah
menarik🤔😊😁
2024-08-05
0
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Arzita Mirage
Untung sudah siap, tinggal pasangin dikit lagi. Cuma perasaan bakal campur aduk banget ini ma, sulit jadinya. 🙁
2023-01-08
2
✤͙❁͙⃟͙Z͙S͙༻Arzita Mirage
Pertanyaan yang cukup berat ini, meskipun tidak panjang tapi cukup membuat pikiran merasa resah untuk menjawabnya. 😊
2023-01-08
2