Memilih pergi

Dua minggu telah berlalu.

Namun, kejadian menyakitkan itu masih segar terngiang dalam benaknya. Buliran bening dari kedua sudut mata Arumi masih terus mengalir sembari menatap sendu pada gundukan tanah yang masih baru itu.

Rasanya seperti mimpi jika ibunya kini telah dipanggil Yang Maha Kuasa.

Flash back.

Rasanya ia baru beberapa menit merasakan kebahagiaan saat sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi. Namun, sekarang sang ibu, telah membujur kaku di hadapan Tuhan. Seolah tubuh paruh baya itu menolak untuk disembuhkan dengan uang haram.

Kaki Arumi yang tadinya berdiri tegar, kini melemas begitu saja saat melihat tanah merah yang mulai menutup peti.

"Ibu," teriak Arumi seakan tidak terima jika sang ibu kini ditimbun dengan bongkahan tanah.

"Mbak Arumi yang sabar ya," ucap Leni, tetangga Arumi.

"Ibu, kenapa ibu tega meninggalkan Arumi? Arumi sudah tidak memiliki siapapun selain ibu," lirih Arumi mengabaikan Leni yang sedari tadi mencoba menghiburnya.

Arumi jatuh terduduk di dekat makam ibunya yang telah dipasangi nisan. Ia terisak pelan, segala ucapan bela sungkawa baginya hanyalah omong kosong. Untaian kata itu tak sesenti pun mengurangi kesedihan yang merundung nya.

Flash back off

Arumi mengusap batu nisan Ibunya. Rasanya ini seperti mimpi jika di dalam sana ibunya sudah beristirahat dengan tenang. Sampai detik ini, Arumi masih belum bisa mengikhlaskan kepergiannya.

"Sekarang Arumi sendirian, Bu. Arumi harus kemana? Mama Rina sudah membuat ku tidak bisa melakukan apapun," tutur Arumi terus menggulirkan ceritanya seolah ibunya ada di sana dan mendengarkannya.

"Apa Mama Rina mau menerimaku bu, dan membatalkan perjanjian itu?"

Arumi menghela nafas berat. Sebentar lagi matahari akan kembali ke peraduannya. Kemilau cahaya keemasan menyadarkan Arumi untuk segera beranjak dari perkuburan itu.

Diusapnya lembut batu nisan ibunya sebelum Arumi benar-benar pergi.

"Arumi pergi dulu, Bu. Kapan-kapak Arumi ke sini lagi ya," ucap Arumi perlahan menyeret kakinya pergi.

Tujuannya kini hanya satu, kediaman Gunawan. Ia berharap ayah dan ibu tirinya mau menampungnya.

Arumi mengentikan sembarang taxi yang melewatinya.

Arumi tiba di sebuah rumah mewah tepat ketika langit telah gelap. Dengan ragu Arumi hendak membuka pintu pagar. Dahinya berkerut tipis tak kala melihat banyak mobil yang terparkir di halaman.

"Non Arumi?" Sapa seorang satpam yang yang mengenali Arumi.

"Iya, Pak. Maaf kalau boleh tahu, di rumah sedang ada acara apa ya, Pak?" tanya Arumi penasaran.

"Oh itu Non. Acara pertunangan Non Alena dan Den David," jawabnya.

Arumi masih tidak percaya disaat dirinya berduka, Ayahnya sedang bersenang-senang. Wanita itu nampak ragu untuk masuk kedalam, ia mengingat kembali perjanjian yang ia lakukan pada Rina. Hal itu membuatnya semakin tidak berdaya.

"Terimakasih, Pak." Ucap Arumi ia pun bergegas untuk pergi dari rumah itu.

Sesampainya di rumah yang sejak dulu ia tempati bersama dengan ibunya. Arumi hanya bisa menjerit dan menangis, keluarga satu-satunya yang ia harapkan bisa menjadi tempat ia berpijak sepertinya tidak akan menerimanya. Lalu ia mengingat bahwa dirinya bukanlah seorang gadis lagi dan lelaki mana yang akan menerima dia kelak.

Air mata Arumi seakan sudah habis untuk menangis nasib buruknya. Ia pun beranjak dari tempat duduk dan memutuskan untuk meninggalkan Jakarta menuju ke Yogja. Ia berpikir untuk memulai kehidupan baru dan melupakan semua hal yang ada di Jakarta termasuk ayah dan kakak yang tidak mengharapkannya.

"Pergi adalah cara terbaik untuk melupakan semua," gumamnya.

Wanita itu bergegas membereskan baju untuk ia siapkan berpergian besok. Sisa uang dari menjual diri kemarin ia gunakan untuk membeli tiket pesawat.

***

Pagi menjelang, Arumi sudah berada di Bandara sejak pukul lima pagi. Karena ia tidak bisa memejamkan matanya. Pesawat yang akan membawanya berangkat pukul delapan pagi dan kini ia sudah berada didalamnya.

"Permisi mbak saya bisa duduk di bangku sana?" tanya Arumi pada wanita yang seumur dengannya.

"Apa itu bangku mu?" tanyanya ketus.

Arumi yang tidak ingin memperpanjang masalah ia segera memperlihatkan tiket yang sudah ia beli.

"Oh, jika begitu kita tukeran saja!" Seru wanita itu.

"Terserah kau saja!" Arumi yang kesal menjawab dengan nada ketus juga.

"Wah, mbak biasa aja dong! Gak usah ngegas begitu!"

Arumi menarik nafas dalam-dalam, seumur hidupnya baru kali ini bertemu dengan orang yang nyebelinnya tingkat dewa. "Mbak nya juga jangan ngegas dong. Ini bangku saya, harusnya mbaknya minta dengan baik-baik. Kenapa malah kayak saya yang merebut milik mbak!"

"Ah, sudahlah diam saja. Kau duduk disana aku disini. Oh ya aku Lulu, jika mau kenal dan jangan panggil mbak karena aku bukan tukang jamu!"

Perdebatan mereka belum selesai juga, sementara pramugari memberikan instruksi jika pesawat sebentar lagi akan landas.

Satu jam sepuluh menit perjalanan itu berlangsung kini mereka sudah tiba di Bandar Udara Internasional Adisutjipto. Arumi yang baru saja menginjakkan kaki di Jogja seperti orang linglung karena tidak punya arah tujuan. Begitupun dengan Lulu yang seperti anak itik kehilangan induknya.

"Hai, kau mau kemana?" tanya Lulu yang melihat Arumi masih berdiri mematung di pintu keluar Badara.

"Aku tidak tahu mau kemana, aku tidak punya tujuan." Jawab Arumi dengan wajah sendu. "Kau sendiri mau kemana?" Imbuh Arumi.

"Sama denganmu," jawab Lulu.

Merekapun saling melempar senyuman seakan merasakan takdir memang sedang mempertemukan mereka dalam keadaan susah seperti ini.

Dua wanita yang tidak tahu arah dan tujuan mencoba berdamai dengan keadaan, mencari tempat tinggal bersama dan pekerjaan. Lulu yang memiliki pengalaman kerja di bidang apoteker mencoba melamar pekerjaan dan akhirnya ia mendapatkannya.

Sementara Arumi belum juga mendapatkan pekerjaan, namun tak berselang lama Arumi mendapatkan tawaran pekerjaan di perusahaan tempat bekerja Lulu sebagai marketing.

Satu bulan berlalu, hari ini Arumi sangat lelah sejak pagi perutnya terus bergejolak dan merasakan ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuhnya. Ia kemudian ingat dengan malam itu.

"Tidak mungkin, aku hamil! Itu baru sekali." Gumamnya. "Tapi jika benar aku harus apa?" Lirihnya lagi.

"Arumi, kau baik-baik saja? Wajah kau pucat sekali?" tanya Lulu yang melihat Arumi tergeletak tak berdaya di atas rajang.

"Aku tidak apa-apa, hanya saja aku merasa mual sejak pagi."

"Kau gak lagi hamil kan?" Lulu merasa aneh selama satu bulan ini ia mengenal Arumi adalah sosok wanita yang baik dan tidak pernah macam-macam. Apalagi pernah berkencan dengan seorang lelaki.

"Aku tidak tahu, Lu. Jika aku hamil bagaimana ya?"

"Kau berkata apa, Rum. Lagipula mana ada pembuahan jika kau tidak pernah tidur dengan lawan jenis?"

"Maaf, Lu. Sebenarnya aku sudah pernah melakukan itu, saat aku sedang tertimpa musibah." Jelas Arumi sedikit membuka rahasia yang sudah ia kubur dalam-dalam.

"Baiklah, aku ada testpack. Kita coba test saja ya. Jika memang ia, kita rawat anak itu bersama-sama, lagipula anak itu tidak berdosa. Kau melakukan semua karena terpaksa."

Benar saja, setelah dilakukan testpack. Arumi mendapati alat itu melihatkan dua garis merah yang artinya ia positif hamil.

Terpopuler

Comments

Fira Ummu Arfi

Fira Ummu Arfi

hadirrrrrrr

2022-08-11

0

Miss haluu🌹

Miss haluu🌹

Aaaaa..tekdung kan😭 kasian Arumi 🤧

2022-03-10

0

~Alexa~

~Alexa~

Ikut saja dengan Gunawan Arumi, kan dia bapakkau😑😑

2021-11-05

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!