Chacha sangat mengerti apa maksud dari perkataan Keke barusan. Perkataan itu adalah ancaman buat Chacha karena tidak menuruti apa yang Keke inginkan.
Dengan cepat Chacha meninggalkan ruang tamu. Meski terpaksa, ia harus tetap menuruti apa yang menjadi kemauan Keke.
"Ini pudingnya," ucap Chacha sambil meletakkan puding itu di atas meja.
"Makasih banyak ya, Dek. Udah mau ambilkan puding ini untuk tamu kaka. Kalo mau, kamu bisa gabung ngobrol di sini."
"Gak usah. Aku masih ada kerjaan di kamar."
"Oh iya deh. Kaka maklum kok. Kamu agak sibuk akhir-akhir ini. Maklum, yang mau menikah."
Chacha menarik napas berat. Rasanya ia ingin sekali menampar mulut Keke biar tidak bicara asal-asal lagi. Tapi itu tidak bisa ia lakukan. Karena nenek selalu dalam bahaya jika ia berani melawan mama dan kakak tirinya ini.
"Aku harus pergi. Permisi," ucap Chacha berusaha tetap tenang.
Chacha kembali ke kamar dengan perasaan kesal bercampur geram. Hati Chacha kini bukan hanya marah pada kakak tirinya, tapi juga pada Dimas selaku mantan kekasihnya. Bisa-bisanya Dimas mengatakan kalau dia tidak kenal Chacha. Hal itulah yang membuat Chacha sangat kesal.
Tapi, ini bukan salah Dimas. Chacha maklum kalau Dimas melakukan hal itu. Bagaimanapun, Dimas pasti sangat sakit hati saat tahu Chacha memutuskan hubungan karena ingin menikah dengan laki-laki lain. Ditambah lagi dengan mulut manis Keke yang pastinya menjelekkan Chacha dihadapan Dimas. Makin jadi, sakit hati Dimas pada Chacha.
"Nenek, Chacha rindu. Chacha butuh nenek sekarang," kata Chacha sambil menangis disudut kamar.
Ingat neneknya, Chacha segera mengambil ponsel yang ada di atas meja rias. Ia bergegas menghubungi seseorang untuk menanyakan
kabar sang nenek. Maklum, ia tidak diizinkan keluar rumah lagi sekarang.
"Ada apa, Cha?" tanya suara laki-laki dari seberang sana.
"Dokter Hendra, maaf mengganggu dokter jam segini."
"Gak papa, Chacha. Aku gak merasa terganggu kok."
"Dok, saya hanya ingin bertanya bagaimana kabar nenek saya," kata Chacha sambil menahan tangis.
"Lho, bukannya tadi siang kamu baru melihat nenekmu kan Cha?"
"Iya, tapi aku ingin memastikan keadaan nenek saja, Dok. Kerena tadi, aku tidak sempat bicara sama dokter."
"Nenek masih seperti biasa, belum ada perkembangan. Tapi kamu tenang aja, aku tidak akan menyerah untuk tetap membantu kamu merawat nenek mu. Kamu harus tetap berdoa biar usahaku berhasil, ya Cha."
"Iya, Dok." Chacha semakin tidak bisa menahan air mata agar tidak mengalir. Untung saja bicara lewat udara, kalau berhadapan kan akan sulit jadinya.
"Cha, kamu nangis?" tanya Hendra yang peka akan diamnya Chacha.
"Ngg--nggak kok, Dok. Aku gak nangis."
"Jangan bohong, Cha. Aku tahu kamu. Tiga bulan belakangan ini sudah cukup kok buat aku memahami kamu. Lagian, suara kamu juga tidak bisa membohongi aku."
"Gak kok, pak dokter. Aku gak nangis. Oh ya, bolehkah aku minta bantuan pak dokter satu kali aja," ucap Chacha dengan cepat mengalihkan pokok pembicaraan.
"Jangankan satu kali, seribu kali juga boleh, Cha. Katakan, apa yang bisa aku bantu?"
"Aku .... " Chacha menggantung kalimatnya.
"Kamu kenapa, Cha? Katakan saja, jangan sungkan."
"Bolehkah aku minta pak dokter untuk jagain nenek selama aku tidak bisa datang untuk melihat nenek, Dok?"
"Lho, aku pikir bantuan apa tadi yang kamu butuhkan. Kalo cuma itu mah, soal gampang, Chacha. Kamu tidak usah cemas. Aku akan selalu siap bantu kamu jaga nenekmu. Lagian, itu juga sudah tugas aku kok, Cah."
"Terima kasih banyak pak dokter," ucap Chacha lega.
"Tidak perlu berterima kasih padaku, Chacha. Ini sudah tugas aku sebagai dokter. Oh ya, ngomong-ngomong, kamu mau kemana gak bisa jenguk nenekmu?"
"Aku ... aku ada sedikit kerjaan," ucap Chacha berbohong.
"Oh, aku pikir kamu mau nikah tadi."
"Ni--nikah." Chacha agak kaget dengan perkataan Hendra barusan.
"He he he ... gak perlu kaget seperti itu, Chacha. Aku kan cuma bercanda. Oh ya, ngomong-ngomong, aku bisa minta tolong gak ya sama kamu?" tanya Hendra.
"Tolong apa, Dok?"
"Aku minta tolong, ingatkan kalau aku itu tidak suka kamu panggil pak dokter. Aku merasa sangat tua lho Cha, kalo kamu panggil aku pak dokter."
"Oh, eh iya, aku lupa. Maaf ya pak ... maksud aku, Hendra."
"Nah, gitukan enak. Aku merasa kalau aku ini tampan jika kamu panggil aku dengan namaku itu."
"Pak dokter bisa aja."
"Ya Tuhan ... apa salah aku? Umurku baru dua puluh lima tahun sudah dipanggil bapak." Hendra terdengar frustasi di seberang sana.
"Aduh, maaf-maaf. Aku lupa lagi," kata Chacha merasa bersalah namun ia sedikit terhibur dengan tingkah Hendra yang lucu.
"Udah gak papa. Kayaknya emang takdir hidupku kamu panggil bapak," kata Hendra pura-pura kesal.
Hendra berhasil menghibur Chacha dengan tingkah lucu yang susah payah ia buat. Terbukti, Chacha bisa tertawa saat ngobrol dengan Hendra walau lewat udara.
Hendra memang dokter muda yang punya banyak kelebihan. Selain skill sebagai dokter, ia juga punya sifat humoris yang mampu membuat orang yang sedang bersedih melupakan kesedihan mereka.
Sebenarnya, dia tidak keberatan di panggil bapak. Apalagi bapak dokter. Karena memang, dia punya jabatan sebagai dokter yang membuat orang lain menghormatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments