"Zahiraaa!"
Sebenarnya aku mendengar teriakkan Ibu dari dapur, tapi sepertinya para setan ini sengaja menutup rapat mataku untuk tidak bisa aku buka. Semoga tidak selamanya, ya kan? Belum siapa aku terpampang di halam depan surat yaasin. Aku masih ingin makan lontong, aku juga masih ingin melihat wajah geng ceria kesel kaya kemarin. Dan ... Aku masih ingint membahagiakan Ibu.
"Bangun! Jangan mentang-mentang hari ini libur, terus kamu malas-malasan. Heiii, Zahira. Itu iler ngotorin mukena! Ya Allah Gusti. Kamu kalau habis salat subuh jangan tidur lagi. Rezeki di patok ayam tuh! Ayo, bangun!"
Hadeuh, emak-emak. Biarin aja tuh ayam mayok rezeki. Gak tiap hari juga kan? Bukannya bagus ya berbagai rezeki? Sama-sama makhluk Allah.
"Heh! Bangun. Itu ada Alif di depan. Buruan."
Alif?
Seketika mataku langsung bulat segede dorayaki. Melepas mukena dan lari menuju kamar mandi.
"Bu ... Ibu tolong handuk."
Terlalu semangat mendengar nama seseorang, aku lupa membawa handuk ke kamar mandi.
"Ibu lagi goreng, nanti gosong."
"Terus, aku gimana? Masa keluarga gak pake baju!" Aku masih teriak.
"Pake aja baju kotor yang tadi. Nanti ganti lagi kalau udah di kamar."
"Ibu mah, ah!"
Dengan gerakan yang dihentak-hentakan, aku kembali memakan baju sebelumnya. Berjalan secepat mungkin menuju kamar untuk mengganti pakaian.
Aku memutar badan berkali-kali di depan cermin. Jangan sampai ada yang cacat di mata Alif. Yaaa, meski baju putih ini sudah kusam, yang penting kan bersih dan wangi. Mau disembunyikan gimana coba, dari Alif dan ba atau ta juga tsa, pokoknya semua orang di kampung ini tau kondisi keluargaku.
Kali ini aku akan pastikan memankan lontong lebih dari satu. Harus!
"Bu, lontong mana?" Aku celingukan saat tak ada apa-apa di atas meja.
"Ini." Ibu memberikan piring berisi nari goreng kampung. Hanya nasi goreng dengan irisan bawang merah dan putih serta sedikit minyak.
Dengan mulut manyun, aku duduk dan makan nasi goreng itu. Tampilannya memang tidak bagus dan tidak menarik, tapi rasanya jauh berebda dari tampilannya. Enakkk.
Hanya saja, aku lebih suka makan lontong pake gorengan.
"Ini." Ibu kembali memberikan sesuatu padaku. Uang dua lembar berwarna ungu.
"Kamu bilang, hari ini latihan karatenya sampe sore. Ini buat jajan. Ibu juga udah siapin air minum dan bola-bola ubi ungu."
"Kalau udah nyiapin bekel, kenapa ngasih uangnya banyak banget?"
"Gak apa-apa. Takut kamu mau jajan yang lain. Kemarin ibu iseng nambahin porsi rujak. Eh, laku semua. Alhamdulilah untungnya lumayan. Ibu sisain buat nanti studi tur kamu."
"Study tour? Aku gak apa-apa gak ikut juga, Bu. Sayang uangnya."
"Kalau bukan studi tur, kamu tidak akan merasakan jalan-jalan ke tempat yang jauh. Kalau kita sengaja ke sana, malah tambah berat biayanya. Sudah, cepet dimakan. Itu Alif udah nungguin."
Aisshh, kenapa aku lupa kalau ada Alif di luar. Lumutan gak ya itu pantat dia. Coba ah tar aku cek. Eh?
Ternyata Alif sedang memainkan ponselnya. Duduk di scooter nya dengan ... Ya Allah, indah banget ciptaan engkau.
"Maaf lama."
"Eh, udah mandinya?"
"Hah?"
"Tadi kenapa gak manggil aku aja buat ambilin handuk?"
Panas, panas, panas badan ini ... Eh, itu mah lagu kang Arman.
Wajahku yang panas kang, bukan badan. Aku tuh malu tau. Eh, dianya malah cengengesan. Tulung! Alif bisa gak sih jangan senyum begitu. Itu lesung pipi bikin nyai mau ke sedot. Halah! Emang itu lesung pipi vacum cleaner kali.
Berbeda saat aku dibonceng Arsha. Kalau sama dia, bawaannya ogah deket, tapi kalau sama Alif ... gak apa-apa lah aku di lem sama dia pun. Sayangnya, Alif gak suka nyuruh aku buat pegangan apa lagi meluk. Padahal aku ngarep banget lohhh.
Dia dan aku jarang sekali ngobrol kalau di motor. Kata dia, kalau ngobrol di motor itu bisa di denger orang yang ada di motor belakang, atau orang yang lagi berdiri di samping jalan. Secara, ngobrolnya kaya orang pake toa mesjid. Teriak-teriak.
Itu semua salah aku sebenarnya. Aku yang terlalu fokus pada Alif, memandang punggungnya, suka hah terus. Telingaku suka tidak berfungsi.
Sebenarnya aku curiga pada telinga ini. Dia pura-pura budeg biar aku ada kesempatan mendekatkan diri pada Alif. Ck ck ck. Pinter banget emang nih telinga.
Aku dan Alif beda sekolah tapi kami satu perguruan dalam karate. Kebetulan, di sekolahku adanya bukan karate tapi Wu Shu. Jadi, aku ikut di luar sekolah yang bertempat di kecamatan. Gak terlalu jauh, sih. Cuma butuh waktu sepuluh menit doang.
Sebelum mulai, kami melakukan pemanasan terlebih dahulu. Lari mengelilingi lapangan upacara di kecamatan sebanyak lima kali.
Setelah pemanasan yang benar-benar panas, kami istirahat sejenak. Lalu, mulai mengikutinya intruski dari pelatih.
Kebetulan hari ini latihan kami dilakukan sampai sore hari. Ada kompetisi yang akan diikuti dan sekarang akan ada seleksi.
Tidak usah diragukan lagi. Kami semua sudah menebak kalau Alif pasti yang akan terpilih. Kalau dari wanitanya, ada Kak Nisa gak pake sabyan yang akan menjadi perwakilan.
Kegiatan ini salah satu kegiatan yang sangat aku sukai. Rasanya, semua beban pikiran hilang begitu saja. Masalah yang kadang membuat aku down, hilang seketika.
Nah, saat aku bertanding satu lawan satu, aku bayangkan saja kalau wanita adalah Keysha, kalau laki-laki adalah Arsha.
Apesnya lagi, hari ini aku bertanding melawan Alif. Yakin bisa fokus? Aku rasa tidak. Aku gugup. Bagaimana aku bisa memasang kuda-kuda dengan baik kalau lutut ini terasa meletoy. Pernah liat botol Aqua diisi air panas? Begitu keadaan lututku saat berhadapan dengan Alif.
"Konsen! Kamu fokus, Ra. Kenapa malah gemetaran?"
"Grogi."
"Gimana mau tanding sama yang lain kalau sama aku aja gemetar gitu."
Justru karena tandingnya sama kamu dodol!
"Awas ya, Zahira. Alifnya dipulul dan tendang, bukan dibelai dan disayang."
Ya ampun! Itu mulut siapa yang bunyi? Kok benar bengat kalau ngomong.
Alamak! Lututku kok gak berasa apa-apa ini ....
"Aku tanding sama yang lain aja, deh!" Aku menyerah.
"Heh! Kamu kenapa?" tanya pelatih kesal.
"Ayo, Ra. Kamu tanding sama aku. Kalau berhasil, besok pagi aku jemput buat berangkat sekolah barengan. Gimana?"
Astoge! Dikira aku anak kecil pake iming-iming segala. Gak sekalian beliin balon juga, Mas?
"Ayo, Alif!"
Suara cempreng itu mengalihkan fokusku. Dia adalah Ratna. Yang kata orang mah pacarna Alif.
Eh, itu si dodol malah nengok terus senyum. Ikh, kesel gak sih? Kesel lah masa enggak. Ya kaleee.
"Zahira!" Pelatih mulai berteriak.
"Ayo, Alif. Gak usah tebar pesona. Kita tanding." Aku menantang.
Alif menoleh padaku dengan wajah bengong. Kena dah dia. Satu pukulan dariku berhasil mendarat di wajahnya.
Pertandingan itu semakin panas. Aku yang memang kesal karena terus saja teringat pada senyuman Alif untuk Ratna, melampiaskan segalanya pada Alif.
Pertandinganku dengan Alif berjalan sengit. Yaaa meski akhirnya semua tau siapa yang akan jadi juaranya ... Gosah nyanyi bacaanya.
Alif. Dia sudah beberapa kali memenangkan perlombaan tingkat kabupaten. Pasti aku akan kalah telak. Beberapa bagian tubuh ada yang terasa sakit juga. Pun dengan wajahku. Pelipis dan tulang pipi terasa panas. Mungkin sore atau besok pagi akan membiru.
Ngos-ngosan aku bernapas. Rasanya sulit sekali mengatur pernapasan karena lelah dan karena cemburu yang berbaur jadi satu.
"Minum." Sebotol air mineral berada tepat di depan hidungku. Suaranya membuat aku semakin kesal.
Aku mengambilnya dengan kasar. Hampir setengah botol air itu aku minum sekaligus. Dalam dayu tarikan napas.
"Merah bener." Arhsa duduk di sampingku. Aku memalingkan wajah ke arah lain. Aku pikir kemana saja lah wajah ini menghadap asal bukan ke arah Arsha.
Lahhhh, yang aku lihat malah Alif yang sedang tertawa. Asikkk bener dia ngobrol dengan si cempreng itu. Hareudang ... Hareudang ... Hareudang. Panas panas panas. Yelahh, nyanyi lagi pan.
"Selesai jam berapa? Aku tungguin ya. Kita pulang bareng."
"Ogah!"
"Kenapa?"
"Motor kamu itu duduknya bikin aku kaya orang lagi boker."
"Aku gak bawa motor yang ijo, kok."
Aku celingukan mencari motor kesayangan si jangkung. Tidak ada. Pantas saja aku tidak mendengar suara motornya.
"Itu." Dia nunjukin motor yang tempat duduknya luas. Seluas cintaku buat Alif. Eh, Alif? Aku kbali menoleh ke arahnya. Kok, ya, jadi grogi gimana gitu saat mata aku dan dia bertemu dan saling menatap beberapa saat.
Ahaa! Tiba-tiba bohlam lima wat ada inatas kepalaku.
"Arsha, mukaku tadi ketendang. Merah gak?" Aku menunjukkan pipi sebelah kanan. Sedikit mendekat padanya. Arsha terlihat seperti tulang emas jika ada pelanggan yang mau jual. Teliti sangat pun!
Kelamaan tapinya. Huh! Dia ternyata sedang mencari kesempatan.
"Merah." Dia mengusap pipiku. Duh, kesel bener. Aku pura-pura mengambil botol yang aku simpan di samping kiri, dimana ada Alif di arah sana.
Dia sedang menatap kami. Tatapan yang aku tebak adalah rasa tidak suka. Apa dia cemburu? Woww! Lagi deh kalau gitu.
"Ini niga sakit sebenarnya. Merah juga gak?" tanyaku merengek manja. Arsha kembali berperilaku seperti enci tukang emas.
"Ini pasti sakit banget, udah memar kayanya. Nanti aku belikan buat kompresnya biar cepet sembuh."
Aku mengangguk dengan wajah terimut yang pernah aku punya. Persis kek Upin Ipin kalau lagi merayu Tuk Dalang.
Baru kali ini aku merasa seneng diperhatiin sama si jangkung. Sepertinya bukan karena itu sih. Aku seneng aja ngeliat Alif yang terlihat tidak suka melihatku dekat dengannya. Berasa gimana gitu, ya.
"Ayo, pulang." Alif mengajakku saat latihan selesai.
"Aku pulang sama Arhsa, Lif."
"Kenapa? Kamu ke sini bareng aku. Pulang pun harus sama aku dong."
"Tapi itu," aku menunjuk si cempaka dengan dagu. "menunggu buat kamu ajak pulang. Anterin aja pacar kamu itu," ujarku dengan tenang. Pura-pura sih sebenernya.
Alif menengok si cempreng.
"Duluan ya, Alif."
"Besok pagi jangan lupa."
Aku menoleh kembali.
"Aku jemput buat berangkat sekolah bareng."
"Gimana besok, ya." Aku melambaikan tangan.
Gusti. Begitu senangnya liat dia kesel pas aku barengan sama Arsha. Ih, ternyata dia cemburu. Wah, jangan-jangan. Ish, jangan terlalu ngarep Zahira! Malu sendiri kalau ini cuma perasaan doang.
Ayo, kita buktikan nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments