Teman Tapi Menyebalkan

Teman Tapi Menyebalkan

TTM 01

Pernah memiliki bestie tapi beda gender? Nah, aku punya. Dia namanya Arsha. Dari sejak aku esdeh, sampe sekarang kami duduk di kelas dua bangku SMA, barengan terus. Satu sekolah dan satu kelas pula.

"Jangan-jangan kalian itu jodoh."

Seseorang pernah bilang gitu. Emak-emak. Namanya Mak Surwi. Usianya mungkin sekitar 60 tahun. Entahlah, aku pun tak pernah berniat melihat KTP atau bertanya padanya. Pokoknya dia udah tua dan jalan pun lambat. Kulitnya udah keriput tapi ombrengnya tetap jos.

Rumah kami tidak terlalu dekat. Beda desa malah. Rumahku berada di tengah penduduk, sementara dia berada di pesisian. Kampungan termasuk kampung baru. Kalau di aku namanya pamekaran. Alias kampung yang baru saja dibuat.

Setiap berangkat sekolah, aku dan teman-teman yang lainnya akan berjalan sejauh dua kilometer untuk sampai ke pasar. Di sanalah angkot menunggu kami anak-anak sekolah.

Cape?

Enggak, sih. Karena jalannya menurun dan juga barengan sama anak-anak yang lainnya. Diselingi dengan canda tawa, waktu dan lelahpun tidak begitu terasa.

Jangan ditanya saat kami pulang. Jika kami berangkat jalannya menurun, maka bisa ditebak dong ya pas pulang jalannya kek apa.

Aku bukan keluarga kaya raya. Emm, lebih ke cukup mungkin, ya. Toh, Alhamdulilah aku belum pernah kelaparan dan tidak dililit hutang. Cuma, rumahku dan isinya tidak seperti orang kebanyakan.

Tembok sih, tapi catnya sudah pudar. Lah, gimana gak pudar, orang beberapa tembok aja udah ada yang ngelupas. Batu batanya sampe terlihat.

Tau tegel? Itu loh, seperti keramik tapi gak kinclong dan gak halus juga. Warnanya hitam kalau yang kecil dan ada yang kuning juga, biasanya ukurannya lebih besar. Nah, itu lantai rumahku.

Atapnya terbuat dari geribik yang dicat pake kapur. Al hasil, kasur dan beberapa barang di bawahnya suka kotor karena remahan kapur yang jatuh.

Beda dengan Arsha. Dia itu anak pemborong kalau kata orang-oranh sini, sih. Mungkin kalau di kota mah di sebutnya kontraktor. Jangan ditanya deh dia kayanya seperti apa. Bagi kami yang tinggal di sini, dia itu orang paling kaya, deh.

Rumah bagus, motor bagus, punya mobil pula. Setiap warga yang hendak menjual tanahnya, pastilah datang ke mereka.

"Woiii, hak ikut?" Arsha memberhentikan motor ninja 250R nya di tepat di sampingku saat kami berjalan di atas jembatan.

"Gak, ah! Aku bareng sama temen-temen aja."

"Capek, tau!"

"Tau, kok."

"Udah tau kenapa ngeyel jalan kaki?"

"Berisik! Awas, tuh. Kamu ngalangin orang lain."

Arhsa menoleh ke belakang. Di sana memang banyak kendaraan lain yang ingin melintas. Sebenarnya jembatan ini hanya cukup satu mobil dan satu motor saja. Itupun jika lagi sepi. Kalau lagi pas barengan sama anak sekolah bubaran, jadinya malah sempit.

Arsha langsung menjalankan motornya dan berhenti di ujung jembar sana. Dia memang keukeuh. Selalu memaksa aku buat ikut.

"Buruan naik!"

"Gak mau, ih. Kok maksa."

Dia melotot.

Kalau udah gitu, aku gak akan basa-basi lagi untuk menentang keinginannya. Dia pasti bakalan marah. Asrha itu kek cewek. Kalau marah, lamaaaaaa banget. Noh, huruf a nya aja banyak banget kan?

"Kamu itu, pacar bukan, kakak juga bukan. Kerajaannya makasa!"

"Aku itu gak akan maksa kalau kamu gak nolak."

"Lah, aku emang gak mau. Kenapa coba, aneh!"

"Aus gak?"

"Gak usah nanya, kalau mau beliin mah tinggal beliin aja."

Arhsa memberhentikan motornya di depan warung yang ada di dekat sekolah dasar.

"Ceu, beli es tea jus gula batu dua."

Hadeuh, mentang-mentang anak orang kaya, dia main perintah aja tanpa turun dari motor.

Sebenarnya aku mau turun, gak enak sama tukang warungnya. Cuma tangan dia terulur ke belakang. Menghalangi lututku. Isyarat agar aku tetap di atas motor.

"Ini, Ar."

"Makasih, Ceu." Arsha memberikan uang lima ribu. "Ambil kembaliannya, Ceu."

"Waduh, hatur nuhun, Ar."

Bagi mereka, termasuk aku. Uang kembalian tiga ribu rupiah itu sangat berarti. Terutama bagi tukang warung itu. Pantas saja dia tidak keberatan Arsha tetap berada di atas motor. Ck!

"Pegangin." Dia memintaku memgang minumannya.

Dia itu memang seperti raja. Beli minum diambilin sama tukang warungnya dan diserah langsung pada Arsha yang duduk di motor. Sekarang? Kalau dia mau minum, aku yang harus nyodorin sedotan ke mulutnya dari belakang.

Menyebalkan memang. Mana ini motor bikin aku seperti posisi mau kentut. Apaan coba, pantat duduk kaya gini, bikin pegel.

Udah gitu, naiknya susah syekalee epribadehh. Kalian tau tinggiku berapa?

Hiks. Sebutin kagak ya? Pokoknya Arsha bilang aku itu semampai. Semeter tak sampai. Ngenesh pan?

Itulah kenapa dia manggil aku Unyil. Nasib. Hiks.

Si gemblung itu seneng banget ngerjain aku. Dia minta minum pas lagi banyak orang. Ya ampun, aku berasa kek orang pacaran. Dengan posisi duduk yang seperti pohon mau tumbang, terus ini tangan hatus bisa nyampe ke mulut dia, otomatis aku terlihat seperti sedang meluk dia.

Makin panas aja gosip tetangga. Selebewww!

"Lain kali jangan ngeyel kalau aku nyuruh sesuatu."

"Idih. Sapa elu."

"Sahabat kan kita tuh?"

Aku membuat mataku juling dengan bibir seperti pantat ayam yang hendak bertelur. Mau tau gimana pantat ayam bertelur? Coba cek ayam tetangga, tiup dah tuh pantatnya. Gk gk gk.

"Kalau kamu terlalu cape jalan kaki, gimana mau bantuin ibu kamu?" Dia melirik Ibu.

Meski menyebalkan. Alasanku mau berteman dan menuruti apa yang dia mau adalah ini.

Dia perhatian dan peduli pada keluargaku. Eh, sebenarnya hanya pada aku dan Ibu saja, kok. Orang aku memang cuma punya Ibu. Bapak udah lama meninggalkan karena kecelakaan. Tidak tahu kecelakaan seperti apa. Ibu tidak pernah menjelaskannya dan aku pun tidak ingin tahu lebih dalam. Jangan sampai pertanyaanku malah mengorek luka lama Ibu.

Biarkan Bapak tenang di sana dan Ibu bahagia di sini.

"Bu, mau keliling?" tanyaku pada Ibu yang bersiap mengangkat wadah lebar yang terbuat dari anyaman bambu, namanya nyiru kalau di sini. Entah di daerah lain.

Tidak hanya itu. Ibu masih mengais baskom dan juga jinjingan dari anyaman rotan sintetis.

"Iya. Kamu tolong angkat jemuran dan beresin rumah, ya."

"Iya, Bu."

Ibu keluar dari halaman rumah. Masih tanah. Kadang kalau hujan akan seperti kolam lumpur. Kami bahkan kesulitan melewatinya.

Sesampainya di jalan aspal depan rumah kami. Ibu akan berteriak. "Rujaaak."

Beliau adalah pedagang rujak kangkung. Ibu juga membawa berbagai macam gorengan juga bihun dalam baskom gang dia gendong. Serta kerupuk yang ada di jinjingannya.

"Semoga saja dagangan Ibu Karis mansi. Aamiin."

Seutas harapan dan doa untuk Ibu, sebelum aku melakukan perintahnya tadi.

Terpopuler

Comments

Oh Dewi

Oh Dewi

Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu

2023-08-31

0

Dahlia Lia

Dahlia Lia

❤️❤️ SM kata ** nya ringan .. kekinian dah mudah di mengerti 👍👍 buat othor nya

2022-09-14

0

Zezen

Zezen

aku mampir 😊😊
part awal bagus cerita y. lanjut baca ahh

2022-01-24

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!