Pagi ketiga setelah malam pertama yang tragis, Dara bangun dengan tubuh yang lebih segar. Badannya tak lagi merasakan nyeri seperti malam-malam sebelumnya. Sepertinya, hasil tindakan kasar Windu pada malam pertama itu, tidak hanya membuat nyeri dirinya secara fisik tapi juga membuatnya merasa sedikit trauma.
Dia masih belum terbiasa bangun di dalam kamar besar yang harus dihuni olehnya dan Windu setelah menikah menurut wasiat ibu mertuanya.
Kamar ini begitu luas dan mewah, tidak cocok dengan dirinya. Rasanya dia ingin kembali ke kamar di pavilliun belakang, tinggal di kamar-kamar tidur khusus pelayan yang di buat seperti wisma-wisma berderet, serupa kost-kostan itu. Ruangannya tidak besar tetapi terasa nyaman dan ramai.
Jam besar di dinding menunjukkan jam 6 pagi, dia sudah sedikit kesiangan dari seharusnya.
Dia bergegas menuju kamar mandi, mandi dengan secukupnya. Menuju ruangan berpakaian, menatap pakaian baru dalam label brand ternama yang berderet di dalamnya.
Semua itu memang adalah miliknya dan dipersiapkan sedemikian rupa oleh ibu mertuanya.
"Tidak ada yang boleh meremehkan menantuku, dia harus terlihat cantik dan modern meskipun hatinya sederhana." Kalimat itu di ucapkannya kepada Dara, saat membantu menyusun pakaian-pakaian ini.
Dulu, dia berfikir kamar dan segala isinya yang mewah ini, di siapkan untuk calon istri Windu, yang entah siapa nantinya begitu beruntung mendapatkannya.
Tak terbersit sekalipun jika semua ini diperuntukkan bagi dirinya.
Sekarang, dia sendiri tak yakin, apakah ini masih bisa disebut keberuntungan jika memilikinya tapi dia berada dalam kehampaan.
Dengan helaan nafas panjang, Dara melewatkan semua pemandangan itu. Matanya beralih pada bagian bawah.
Dara tidak terbiasa dengan itu semua, akhirnya dia mengambil sebuah daster di lipatan terbawah yang di bawanya dari kamarnya di pavilliun belakang.
Dengan tergesa Dara menuju dapur, menemui para asisten rumah tangga yang ada di sana, masih begitu sibuk dengan semua pekerjaan hari-hari, memasak, membersihkan rumah besar itu dan segala macam urusan rumah tangga.
Dara memeriksa sarapan yang akan di sajikan apakah sudah di siapkan oleh bagian koki yang mengurus makanan lalu segera menyiapkan meja makan.
Windu muncul dengan kemeja putih rapih, bawahnya jeans warna gelap, rambutnya tampak tak kalah rapihnya.
Tubuhnya yang tinggi tegap, benar-benar begitu menarik dan luar biasa.
Dari dulu, Dara selalu mengagumi laki-laki yang di panggilnya kak Windu ini.
"Sarapannya sudah siap." Sapa Dara memberanikan diri. Dulu, jika Dara mengatakan kalimat itu kepada Windu maka laki-laki tampan yang memang tak banyak bicara ini akan tersenyum sedikit kepadanya di sertai anggukan kecil.
"Terimakasih..." Satu kata itu akan membuat hatinya berbunga-bunga. Setidaknya, Windu begitu sopan memperlakukan dirinya.
Suara kaki kursi yang bergesek dengan lantai terdengar berdesit halus, menyadarkan lamunan Dara.
Windu tak mengucapkan apapun, seolah tak melihatnya.
Dara akan meletakkan piring ke depan Windu, tapi dengan kasar Windu menariknya sendiri.
"Tidak perlu melayaniku seperti pembantu, kamu sekarang adalah nyonya di rumah ini." Nada suara Windu terdengar dingin, wajahnya tanpa ekspresi.
Dara terdiam, mengurungkan semua niatnya melayani meja makan.
"Duduklah!"Sekarang volume suaranya menjadi agak meninggi, seperti suatu perintah.
Dengan ragu, Dara menarik kursi di seberang meja makan itu. Wajah mereka berhadapan saling memandang.
Dengan sejuta keberanian yang entah di kumpulkan dari mana, Dara menantang mata Windu yang tajam itu.
"Papa tidak turun breakfast hari ini, jika kamu menunggunya. Dia sudah berangkat dengan asistennya dari tadi. Sebelum nyonya rumah ini bangun."Ucap Windu seolah menyindir.
"Tapi..." Dara menyahut ragu-ragu.
"Tapi apa?" Windu melotot padanya.
"Tapi breakfast selalu dimulai pada jam setengah delapan." Dara melanjutkan dengan suara pelan.
"Itu saat mama masih ada, sekarang semua hal tidak sama lagi! Dan jangan berfikir kamu bisa menggantikan mama mengatur rumah ini." Windu menatap dengan tajam kepada Dara sementara tangan kanannya memegang pisau kecil dan tangan kirinya menggenggam garpu.
"Dulu, mama selalu ada di belakangmu, tapi sekarang, tak ada yang akan membelamu." Windu memasukkan sepotong roti bakar yang di irisnya dengan kasar di dalam piring ke dalam mulutnya.
Suara mengunyah yang terdengar sedikit keras itu seperti begitu mengintimidasi.
"Aku juga tidak suka di atur-atur olehmu. Jadi, lebih baik uruslah urusanmu dan jangan mencoba menjadi pintar di depanku.
Kamu sama sekali bukan siapa-siapa bagiku, hanya seorang istri yang di wariskan oleh mama!" Kata-kata itu di ucapkan dengan begitu menyakitkan oleh windu, bahkan seperti seribu jarum yang menusuk hati Dara, yang tak berkedip menatap ke seberang meja.
"Apakah kamu mengerti posisimu sekarang?" Windu memicingkan matanya, sehingga alisnya yang lebat hitam itu begitu dekat dengan matanya yang indah itu.
"Kenapa kamu hanya menatapku seperti itu?" Tanya Windu dengan gusar.
Dara masih tak menjawab sepatah katapun.
"Kamu tidak bisu, kan? Bicaralah!" Hardik Windu.
"Apa yang ingin kau dengar?" Tanya Dara dengan suara yang hampir tak terdengar. Entah dari mana keberanian itu datang, keluar begitu saja dari bibirnya.
Windu terpana sesaat, dia tak menyangka Dara menantangnya dengan cara yang begitu halus.
"Kamu bahkan sudah menjadi besar kepala sekarang." Windu terlihat gemas.
"Aku hanya bertanya, aku harus menjawab apa supaya seperti yang ingin kamu dengar. Jika aku salah menjawab, bukankah akan membuatmu marah?" Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah keluar dari bibir Dara selama berhadapan dengan windu.
"Aku tidak suka dengan caramu berbicara." Windu menggeram kesal.
"Jadi aku harus bagaimana? Tak ada hal yang kamu suka dariku!" Betapa ingin Dara mengucapkan kata-kata itu, tapi semuanya hanya tertahan sampai di ujung lidahnya.
Yang bisa Dara lakukan hanya menelan ludahnya sendiri, mengalihkan pandangan pada menu sarapan di atas meja, dia sekarang kehilangan seleranya.
"Jika kamu tidak suka dengan semua perlakuanku, silahkan telpon pengacara keluarga, mintalah surat gugatan cerai, aku akan menandatanganinya dengan suka cita." Kata Windu dengan wajah sedikit di condongkan.
Wajah Dara memerah mendengar kalimat itu, betapa tak berharganya dirinya di mata Windu.
"Mama berpesan, apapun yang terjadi aku tidak boleh menceraikanmu... kecuali kamu yang meminta perceraian." Dara menjawab dengan suara terbata-bata.
"Nonsen!!" Windu membanting garpu dan pisau roti di tangannya, menimbulkan bunyi ribut di atas meja. Bahkan gelas juice di depan Windu tumpah terbalik.
Dara hampir terlonjak di tempatnya duduk dan memejam matanya dengan gemetar.
"Ya, kamu tidak akan melakukannya, karena jika kamu melakukannya kamu tak akan mendapatkan setengah dari warisanku! Kamu hanya menunggu aku yang memulai, ya kan?" suara Windu menggeram di telinganya, begitu dekat.
Dara membuka matanya perlahan. Ternyata, Windu telah berjongkok di samping kursinya dengan wajah hanya sejengkal dari wajahnya.
"Bukan...bukan karena itu..." Dara mengepalkan kedua tangannya, meremas kain bajunya dengan gugup.
"Kita akan lihat seberapa tahan dirimu!" Windu menghentakkan kakinya dan meninggalkan Dara yang masih duduk dengan badan yang gemetar.
Dia memang tidak bisa menggugat cerai Windu, karena jika dia yang menggugatnya, dia harus angkat kaki dari rumah itu tanpa membawa apapun. Dia tak tahu kemana harus pergi jika itu di lakukannya.
Tapi jika Windu yang melakukan lebih dulu, maka Windu wajib menyerahkan setengah dari asetnya untuk Dara.
Perjanjian nikah ini, di buat secara khusus oleh mama Windu. Tertuang di dalam wasiatnya.
"Aku percaya, hanya Dara yang bisa menjaga Windu."
Tulisan mama Windu yang aneh itu menutup draft surat wasiatnya yang panjang, saat di bacakan pengacara keluarga tepat setelah mereka menikah di depan mamanya, atas permintaan sang mama sebelum menghembuskan nafas terakhir.
...Terimakasih sudah membaca novel ini❤️...
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan😊...
...I love you all❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Hasunah Setiadi
/Heart/
2024-03-05
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
pengen nyelepet mulutnya Windu ... 😡
jangan lemah, Dara ...
cemangaaadddhhh ✊️✊️
2023-01-09
0
Endang Purwati
BERAT .... itulah satu kata yg cocok utk penggambaran beban atau lebih tepatnya kewajiban yg dipikul Dara saat iniii...
Semangat Dara...bertahan dan berjuang semampumu...klo nanti kamu ada di titik lelah paling puncak...letakkan dan lepaskan...menepilah, damaikan hati dan mulai lah sesuatu utk dirimu sendiri...bukan lagi utk Windu....
2022-05-24
0