Suatu hari, Bima mendapatkan pasien ibu hamil. Tirta bergegas memasuki ruangannya.
"Dokter, kita mendapat masalah!" ucap Tirta tergesa-gesa.
"Ada apa?" tanya Bima.
"Pasien ibu hamil yang kita tangani, sekarang akan melahirkan. Tapi, air ketubannya sudah pecah, Dok. Jadi, kita harus segera mengoperasinya!" ucap Tirta.
"Baiklah, siapkan ruang operasi, aku akan segera datang," sahut Bima.
"Ayo, Ra! Kamu harus membantuku," ujar Tirta mengajaknya.
"Iya, Dok," sahut Tiara dan berjalan bersama pria itu.
Tirta dan Tiara pergi ke ruang operasi. Tiara kaget karena melihat asap hitam melayang di atas wanita hamil itu. Ia begitu takut untuk berdekatan dengan asap hitam itu, selama ini ia tak pernah sedekah itu dengan orang yang memiliki asap hitam yang mengelilingi tubuhnya.
"Eh, Tiara! Cepetan, siapin alat-alatnya!" ujar Tirta.
"Iya, Dok." Tiara tampak masih menatap asap hitam itu.
Bima datang dan mencuci tangannya sebelum melakukan operasi, lalu memakai sarung tangan. Saat itu, ia tak sengaja mendapat penglihatan tentang Tiara lagi.
"Percayalah kepadaku, Dok. Aku tak akan membohongimu," ujar Tiara.
Mendadak Tirta datang mengagetkan Bima.
"Dok, operasinya akan segera dimulai," ucap Tirta.
Bima tersentak.
"Iya, aku datang," jawab Bima seraya berjalan masuk ke ruang operasi itu.
Bima melakukan operasi pada wanita hamil itu. Ia dibantu Tirta dan Tiara. Butuh waktu untuk mengeluarkan bayi dari kandungan wanita itu.
"Ambilkan gunting." Bima menyuruh Tiara, tapi wanita itu tak bergeming.
"Tiaraaa!" bentak Bima membuat wanita itu kaget.
Tiara terkejut, dan buru-buru mengambil gunting.
"Ra, fokus lah!" ucap Tirta padanya.
"Iya, Dok. Maaf," sahut Tiara lirih, wanita itu tak fokus sama sekali, ia hanya sesekali menatap asap hitam yang mulai pudar dari tubuh wanita hamil itu.
Akhirnya ibu dan anak itu selamat. Suaminya sedang menunggu di luar ruang UGD dengan cemas. Bima keluar bersama yang lain.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya, apa bayinya selamat?" tanya pria itu dengan penuh harap.
"Bapak jangan khawatir, mereka berdua selamat, kok," jawab Bima.
"Ahh, syukurlah. Terima kasih, Dok," ucap pria itu merasa lega.
"Iya, selamat, ya. Untuk kelahiran putra, Bapak," ujar Bima memberikan selamat pada pria itu.
"Iya, Dok."
Di ruangan Bima, mereka bertiga berkumpul untuk beristirahat sehabis melakukan operasi.
"Tirta, pindah pasien tadi ke ruang inap, mungkin sehari dua hari dia baru bisa pulang," perintah Bima.
"Baik, Dok. Ayo, Ra!" ajak Tirta padanya.
"Biarkan Tiara di sini, aku ingin berbicara dengannya!" ucap Bima dengan ketus.
"Oh baiklah." Tirta meninggalkan mereka berdua.
Tiara tampak lesu. Ia merasakan kalau bakal kena marah. Pastinya karena masalah di ruang operasi tadi, ia sudah menyiapkan telinga dan hatinya untuk menampung semua omelan Bima.
"Apa yang kamu lakukan tadi, jika kamu tidak fokus seperti itu, bagaimana bisa kamu bekerja denganku!" bentak pria berhidung mancung itu.
"Maafkan aku, Dok, ini tidak akan terulang lagi." Tiara berjanji pada Bima.
"Jika kamu melakukan kesalahan ini lagi, aku akan benar-benar memecatmu."
"Iya, Dok."
Di malam hari, Tiara masuk ke ruangan wanita yang baru melahirkan tadi siang. Ia menatap asap hitam yang masih berada di atas kepala wanita itu. Ternyata wanita itulah yang akan pergi dari dunia ini.
Sehari setelahnya, pasien itu mulai membaik dan bisa pulang ke rumah. Sebelum pulang, mereka mengurusi masalah administrasi di ruangan Bima.
"Dok, terima kasih, ya. Karena sudah menyelamatkan istri dan anak saya, tanpa Dokter, anak ini tidak akan lahir ke dunia," ujar pria itu.
"Iya sama-sama, silahkan tanda tangan di sini, dan kalian bisa pulang ke rumah," sahut Bima.
Setelah menyelesaikan semua urusan di rumah sakit itu, mereka ingin pergi dari ruangan Bima, tetapi Tiara menghentikan langkah mereka.
"Pak, bisakah dalam beberapa hari ini, Anda memberikan perhatian lebih pada istri Anda. Apa pun yang dia minta, tolong kabulkan, ya Pak." Tiara memohon pada pria itu.
"Tentu saja, dia adalah istriku, Suster tak perlu khawatir," sahut pria itu.
Pria itu pergi bersama istrinya, tampak sang istri tersenyum pada Tiara.
Bima mendengar ucapan mereka. Seperti Tiara sedang menyampaikan pesan seolah-olah wanita itu akan pergi untuk selama-lamanya. Tapi Bima malas bertanya dan tak menghiraukannya.
Keesokan harinya, terjadi keributan di rumah sakit. Pasien ibu hamil yang baru saja dioperasi oleh dokter Bima kemarin, mengalami gagal ginjal dan meninggal di rumahnya. Saat itu juga rapat komite disiplin langsung diadakan.
Di ruang rapat. Bima, Tirta dan Tiara berdiri di depan semua orang. Tiara merunduk lemas karena belum pernah dikelilingi orang sebanyak itu.
"Kenapa kamu tidak melakukan tes X-Ray saat pasien benar-benar sakit?" tanya ketua komite pada Bima.
"Pasien mengatakan ia tidak sakit sama sekali, dan hanya menyuruh saya untuk segera menyelamatkan bayinya," jawab Bima tegas.
"Lalu, kamu mengabaikan prosedur rumah sakit ini, utamakan keselamatan pasien dulu!" bentak Ketua komite.
"Jika saya, melakukan tes X-Ray pada pasien itu, bayi yang ia kandung akan mengalami cacat mental," jelas Bima.
"Tapi, bukan berarti kamu bisa melakukan segalanya sesuai kemauan kamu. Dokter Bima, pasien mengidap kanker ginjal yang serius, kamu juga harus memikirkannya."
"Maafkan saya, Ketua," ujar Bima seraya merunduk.
"Maaf Ketua, kalau menurut saya, itu bukan sepenuhnya kesalahan Dokter Bima, karena pasien juga menutupi tentang penyakitnya!" bantah Intan mencoba membela Bima temannya itu.
Semua orang lalu berbicara satu sama lain membuat suasana rapat menjadi ricuh.
"Cukup-cukup! Diam semuanya!" bentak ketua komite seraya menggebrek meja.
"Baiklah, karena Dokter Bima sudah melanggar aturan pasal 247 dalam menangani penyakit pasien, maka ia akan diberi hukuman, pemotongan gaji. Kami berharap kejadian ini tidak akan terulang lagi di masa mendatang, rapat dengan ini saya tutup!" ucap ketua komite menjatuhkan keputusan akhirnya.
"Ahh! Syukurlah," gumam Tirta seraya menghela napas.
Bima juga tampak bersyukur.
Di ruangan Bima, mereka kembali berkumpul.
"Syukurlah, Dok. Hanya pemotongan gaji, aku sudah deg-degan takut di pecat," ujar Tirta meringis.
"Kamu bilang hanya, gaji kalian juga akan aku potong!" bentak Bima padanya.
"Yahhh! Kok gitu, Dok!" ucap Tirta tak terima.
"Ya karena, aku nggak bisa bayar kalian," sahut Bima dengan enteng.
"Yahh, kita juga kena imbasnya, deh," ujar Tirta lesu dan beranjak ke luar ruangan itu meninggalkan mereka berdua.
"Kamu! Duduk sini, aku mau bicara!" ucap Bima menyuruh Tiara duduk.
"Iya, Dok," sahut wanita berbola mata sipit itu dan duduk di kursi.
"Apa kebetulan, kamu sudah tau, kalau wanita itu akan meninggal?" tanya Bima seraya menatap ke arah Tiara dengan tatapan tajam.
"Ehh, dari mana Dokter punya pikiran seperti itu?" jawab Tiara mengelak.
"Aku dengar, pesan yang kamu sampaikan pada suami wanita itu, seolah-olah kamu sudah tau kalau wanita itu akan meninggal. Ya, kan!" ujar Bima mendesaknya.
Tiara mengernyitkan dahi, ia mencoba mengelak tetapi pria itu terus mendesaknya.
"Apa Dokter, akan percaya jika kubilang, aku bisa melihat umur kematian seseorang," ujar Tiara lirih.
"Ha-ha-ha, kamu sudah gila! Apa kamu bilang tadi, umur kematian seseorang, kenapa aku harus mempercayaimu!" ucap Bima yang tak percaya padanya.
"Percayalah kepadaku, Dok. Aku tak akan membohongimu," sahut Tiara.
Bima tersentak. Kata-kata itu sama persis seperti yang ia lihat kemarin. Sebenarnya siapa kamu Tiara? Kenapa kamu menyimpan banyak misteri.
"Apa yang akan kamu lakukan untuk membuatku percaya ke padamu," ujar Bima.
"Ikutlah denganku, Dok," ujar Tiara menggiring Bima ke suatu tempat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments