"Au, sakit!"
"Tenanglah, Nona. Jangan gerak, nanti semakin susah masuknya."
"Tapi sakit!"
"Iya, saya tahu. Cuma ditahan saja, sedikit lagi. Oke, tahan ya."
"Tapi ini perih, panas, sakit ... udah lecet ini ...."
"Iya saya ngerti, Nona. Cuma ini mendesak. Kita harus cepat. Semakin Nona banyak gerak nanti makin lama masuknya. Selesainya juga pasti lebih lama. Oke, tahan ya, sedikit lagi."
Marta, sang kepala asisten rumah tangga Laura hanya bisa mematung di depan pintu kamar Naya. Dia agak cemas mendengar pergulatan argumen antara Naya dan Ken. Sudah lebih dari sejam dua orang itu tidak keluar kamar.
Laura yang kebetulan keluar dari lift pun keheranan kala mendapati Marta dan beberapa ART yang lain berdiri mematung di depan kamar Naya. Wajah mereka begitu tegang hingga Laura tak bisa untuk abai. Gegas dia mendekati Marta.
"Ada apa ini, Marta? Apa gadis itu bikin ulah?" cecar Laura. Dia yang sudah rapi dengan rok plisket dan blues tanpa lengan pun tampak menggeram. Terdengar dengkusan dari hidungnya.
"Sepertinya begitu, Nyonya. Nona Naya tidak mau melakukan apa yang Nyonya suruh. Sekarang Tuan Kenzi sedang merayunya," balas Martha.
Mendengar penuturan Marta membuat Laura semakin menggeram. Dia buka kasar pintu kamar Naya dan mendapati gadis itu tengah duduk di sisi ranjang dan Ken yang berjongkok memasangkannya sepatu heels. Gadis itu tampak meringis dan Ken pun terlihat berkeringat.
"Ada apa ini, Naya?" tanya Laura dengan nada suara naik satu oktaf. Dia dekati Ken yang sudah berdiri. Matanya pun memindai sekeliling. Dari baju perhiasan serta sepatu, satu pun tak ada yang dibuka Naya.
Menggeram, Laura cekal tangan Naya hingga mau tak mau Naya harus berdiri. "Katakan, ada apa ini?" tanya Laura lagi.
Naya mengaduh, Ken yang ada di belakang Laura pun memajukan langkah lalu berkata, "Begini Bu Direktur, Nona Naya gak bisa pakai heels karena kakinya luka. Saya pikir masalah heels ini kita tunda sampai lukanya sembuh."
"Iya, Tan. Jempol kakiku kena batu. Jadi masih perih. Aku gak bisa pake heels," tambah Naya. Terlihat mengiba.
"Oh, ya?" Laura menunduk dan melihat jempol kaki Naya. Memang terlihat memar. "Sakit?" lanjutnya.
Ragu-ragu Naya mengangguk.
Sayangnya Laura yang sudah diselimuti kekesalan bukannya menoleransi dia justru menginjak kaki Naya dengan kuat. Alhasil suara rintihan Naya menggema di kamar itu. Dia mengaduh minta di lepaskan.
Namun, Laura sama sekali tak berniat. Dia injak terus kaki Naya hingga Naya membungkuk dan memegang kakinya. Sudah seperti bersimpuh dan memohon.
"Sakit?" tanya Laura lagi. Dia goyang ke kiri dan kanan. Sengaja agar telapak heels yang keras semakin menyakiti Naya.
Naya yang sudah menangis pun mengangguk. Sakit di kakinya semakin bertambah besar. Rasanya bengkak dan perih.
Sayangnya, Laura tanpa belas kasih menarik lengan Naya hingga mau tak mau harus kembali berdiri, setelah itu menjambak rambut dan membuat gadis itu terpaksa menengadah. Air matanya jelas meluruh semakin banyak.
"Cepat lakukan perintah Tante. Kamu di sini diberi kenyamanan, diberi kemewahan. Lalu kenapa harus berontak?" geramnya.
Naya terpaksa mengangguk. Tak mungkin melawan Laura sedangkan posisinya bukanlah siapa-siapa. Dalam keputusasaan dia sempat berpikir, apakah ini karma yang harus dia terima karena kesalahan orang tua?
Cengkeraman Laura lepaskan. Naya pun melorot kembali duduk di sisi ranjang. Dia tertunduk dan menangis dalam diam.
Sementara itu, Laura menatap tajam ke arah Ken. Dia berdengkus lantas berkata, "Lakukan perintah saya, Ken. Jangan kasihan sama dia. Ingat, waktu kita cuma seminggu. Ngerti!"
"Baik, Bu Direktur. Maafkan saya," sahut Ken sembari menunduk patuh.
Laura merapikan pakaian yang membalut badan seraya mengatur emosi. Dia tatap Ken yang berdiri tegak menatapnya. "Ya sudah, lakukanlah dengan baik, Ken. Urus gadis ini. Masalah perusahaan biar saya yang handel," ucapnya mantap lalu pergi meninggalkan Ken dan Naya yang menangis.
"Sebenarnya apa yang diinginkan orang itu?" tanya Naya. Isak tangisnya masih terdengar pilu.
Ken tak menyahut. Dia justru mendorong sapu tangannya ke arah Naya. "Maafkan saya, Nona. Saya hanya menuruti perintah. Dan saya tidak diperkenankan mengatakan apa pun."
Sungguh, jawaban itu seketika membuat Naya kesal. Dia angkat kepalanya dan mendongak melihat Ken yang berdiri. Darahnya berdesir dan mendidih, tapi alih-alih marah dia justru tetap mengambil sapu tangan dan mengelap air mata serta ingus yang sudah banjir.
"Kamu jahat. Kamu sama kayak dia. Sebenarnya apa salahku? Aku gak pernah minta apa pun. Tapi kenapa kalian tega?" celoteh Naya lagi. Dia terisak makin hebat.
"Maafkan saya Nona. Saya hanya pesuruh," balas Ken lagi.
Seketika ide gila muncul di kepala Naya. Lekat dia tatap Ken lalu tanpa bertanya langsung menggenggam tangan pria itu hingga yang punya tangan kikuk sendiri.
"N-nona ...."
Ken mencoba menarik tangan yang di genggam Naya, beruntung terlepas. Akan tetapi Naya justru merosot ke bawah dan memeluk kakinya.
"Tolong lepasin aku. Bawa aku keluar dari sini. Aku janji bakalan tutup mulut. Aku gak bakalan ungkit nama keluarga ini. Please, bantu ya ...."
Ken mengembuskan napas panjang, lantas berjongkok dan memegang pundak Naya. Mata mereka bersitatap. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bisa dan tidak akan pernah melakukannya. Jadi, demi kenyamanan kita dan keselamatan Anda, saya sarankan agar tidak melawan. Lakukan apa pun yang saya pinta."
Mata Naya melotot. Hilang sudah harapan untuk lepas dari jerat Laura. Ternyata pria yang ada di depannya itu sama saja. Bahkan cenderung kejam. Tutur katanya begitu sopan, wajah juga tak kalah menawan. Namun hatinya beku bagai batu.
"Jadi sekarang ayo kita lanjutkan yang tadi." Ken membantu Naya untuk duduk ke sisi ranjang lalu kembali memasangkan heels.
Selesai, sepatu tinggi berwarna hitam 6 cm itu sudah membalut kaki Naya yang sedikit kasar. Ya, tinggal di pinggiran kota tak pernah membuat Naya kepikiran untuk merawat kulit kaki maupun kulit yang lain.
Ken mendongak. Dia dapat melihat dengan jelas mata sembab gadis itu. "Seperti yang Bu Direktur katakan tadi. Lebih baik kita bekerja sama. Sepatu ini jangan dilepas. Nanti saya akan minta obat pereda nyeri untuk Nona."
Naya tak menyahut dia bersedekap lalu memalingkan wajah ke arah lain. Dia jengkel pada Ken yang abai dengan penderitaan yang dialaminya.
"Dan sekarang kelas kepribadian resmi saya buka."
Naya melongo mendengar penuturan Ken. Lebih bingung lagi saat Kenzi bertepuk tangan dan masuklah beberapa orang wanita berseragam hitam. Mereka membawa tempat yang seperti brangkas kecil, ada tombol kunci di atasnya.
"Tunggu dulu. Ini apa mak—"
Belum juga selesai perkataan Naya, Ken sudah menjauhi. Pria itu mendekati salah satu di antara mereka lalu berkata, "Saya kasih kalian waktu satu jam dari sekarang. Lakukan dengan baik karena nasib saya dan kalian tergantung dari ini."
Semuanya mengangguk. Mereka yang terdiri dari lima orang perempuan muda langsung mendekati Naya. Sementara Naya, dia sudah horor duluan apalagi saat Ken meninggalkannya di sana tanpa menoleh lagi.
'Ya Tuhan, sebenarnya ada apa ini?' batin Naya.
Jangan lupa Like.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Merlya Yunita
msh binggung
2022-03-14
0
Ai Elis
sepertinya seru.. penulisan nya rapih.👍
2021-12-05
0
Nazella Oktaviani
agak kurang jelas kata² nya jd bingung bacanya
2021-10-25
1