Laura mendekati Naya, lantas membelai rambutnya. "Apa kamu sudah menyapa dia?" Mata Laura melirik Burhan yang terpejam.
Naya menelan ludah. Dia mengangguk. Mendadak firasatnya mengatakan kalau ada yang tak beres. Aura penyayang yang sempat dia rasa dari Laura pun lenyap begitu saja berganti menjadi kengerian yang luar biasa.
Naya menepis tangan Laura lalu mundur dua langkah. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Oh, itu ... setahun lalu ayah kamu kecelakaan. Tabrakan."
"Tabrakan? Kenapa bisa?" tanya Naya. Entah kenapa dia curiga karena perubahan gelagat Laura itu.
"Bisa, itu kecelakaan. Kamu ngerti, 'kan? Kecelakaan itu kuasa Tuhan. Kita mana bisa menghindar."
Meski tak mengerti, Naya terpaksa mengangguk. Jelas ada yang mencurigakan di sini. Namun tidak bisa menjelaskannya.
"Anak baik, kamu penurut sekali. Manis," ucap Laura. Dia tersenyum, tapi senyumnya tidak seperti tadi. Terlihat lebih misterius. Naya mulai meragu dan bertanya-tanya, sebenarnya apa mau Laura?
"Lalu, mereka siapa?" tanya Naya setelah melihat beberapa pria berjas hitam dan berkacamata berdiri tegak di belakang Laura.
"Oh ... ini? Mereka orang baik, kok. Jadi jangan takut. Mereka bakalan jagain kamu."
"Jagain?" ulang Naya, alisnya menyatu. "Aku udah besar, kok, Tan. Nggak perlu jagain."
"St, jangan begitu," ucap Laura sembari meletakkan jari telunjuknya ke bibir Naya. Dia lagi-lagi tersenyum. "Kamu anaknya Eva. Anak berharga sahabat Tante. Bukankah wajar kalau Tante jagain kamu?"
"Tapi, Tan, aku ...."
"Kalian," sela Laura. Dia menoleh orang yang ada di belakang lalu menggerakkan sedikit kepala. Kode agar mereka mendekat.
Benar saja, dua orang berbadan tambun itu pun berdiri di sisi kiri dan kanan Naya. Mereka menggandeng, lebih tepatnya mengunci pergerakan gadis itu.
"Tan, apa-apaan ini?" Naya panik, dia meronta tapi tetap saja kalah tenaga.
Sementara Laura, dia terkekeh lalu membelai pipi Naya dan mencengkeram kuat dagunya. "Kamu nurut saja apa kata Tante. Ini semua demi kebaikan kamu. Jadi jangan pernah ngelawan ataupun membantah. Ngerti?"
Naya melotot, penampakan Laura benar-benar diluar prediksi. Ternyata Laura memiliki niat terselubung.
"Lepasin aku Tan. Aku mau pulang ...."
Naya mulai ketakutan. Dia meronta tapi tetap saja tak ada hasilnya.
"Lepas? Lepas katamu?"
Laura mulai menggeram. Dia apit makin kuat pipi Naya hingga yang punya pipi mengaduh kesakitan.
"Kamu jangan pernah mimpi buat Tante lepasin. Kamu anaknya dia." Jari telunjuk Laura tertuju ke Burhan. Sorot matanya jelas-jelas penuh kebencian. "Dan kamu anak Eva, jadi kamu adalah tanggung jawab Tante sekarang."
"Tanggung jawab apa maksud Tante? Aku nggak pernah minta diakui! Aku ingin pulang! Aku nggak akan pernah menuntut apa pun dari kalian!" balas Naya. Setengah berteriak.
Tanpa diduga Laura justru melayangkan tangannya, tepat mengenai pipi kiri Naya.
Hening. Naya tertunduk membiarkan pipinya yang panas, matanya mulai mengeluarkan air. Seumur-umur dia tidak pernah ditampar oleh orang.
Mengangkat kepala, nyalang Naya menatap Laura. Sekarang dia baru paham kalau Laura benar-benar bukan orang baik.
Lagi, Laura apit dagu Naya, mendekatkan wajahnya lantas berbisik, "Jangan pernah berpikir untuk kabur Naya, atau kamu akan aku buat menyesal."
Naya bungkam, dia pasrah saja saat dirangkul Laura keluar dari rumah sakit. Sementara Laura, tersenyum penuh kemenangan.
'Akhirnya, rencanaku sukses.' Laura membatin, dia lirik Naya yang menatap kosong ke arah luar jendela. 'Kasian kamu. Tapi mau bagaimana lagi. Ini semua karena ibu kamu. Jadi kamu harus ambil tanggung jawab ini.'
Tibalah di rumah kediaman Laura. Rumah besar lantai lima dengan banyak ajudan dan asisten rumah tangga yang menyambut mereka.
"Bagaimana, Sayang. Kamu suka? Rumah ini sangat besar, 'kan?" tanya Laura sembari tetap menggandeng Naya.
Naya tak menyahut. Jujur, dia terpana dan terkesiap dengan rumah besar yang tengah dimasukinya sekarang. Aksesori dan furniture di sana begitu mewah dan berkelas. Semuanya ditata begitu rapi dan indah. Belum lagi arsitektur bergaya kerajaan kuno, warna gold mendominasi. Benar-benar memanjakan mata.
Hanya saja Naya tak bisa berdecak kagum atau melompat kegirangan. Laura, ya ... dia takut pada wanita itu.
"Marta, sini," panggil Laura pada seorang wanita bersanggul yang berdiri berjejer dengan beberapa orang lainnya.
"Ya, Nyonya."
Orang yang di panggil mendekat. Dia menunduk patuh. Dari seragam yang dikenakan sudah menunjukkan bahwa orang yang dipanggil Laura dengan nama Marta itu adalah kepala pelayan di sana.
"Tunjukkan kamar Nona Muda ini. Layani dia dengan baik," ucap Laura, dia mendorong tubuh Naya hingga terhuyung ke samping. "Berikan apa pun yang dia mau karena besok dia akan melakukan tugas dan kewajibannya sebagai anak."
''Baik, Nyonya," jawab Marta. Dia rangkul Naya dengan erat.
Sementara Naya, lagi-lagi hanya bisa diam. Dia bingung dengan statement Laura barusan. Tugas? Kewajiban? Anak? Naya makin tak mengerti mau Laura.
''Oh iya, apa Ken sudah pulang?" tanya Laura lagi pada Marta.
"Belum, Nyonya. Dia masih menunggu Nyonya di ruang kerja."
"Baiklah. Kalau gitu bawa dia ke kamarnya," perintah Laura sembari melihat Naya. Didekatinya gadis itu sambil mengusap pucuk kepalanya. "Kamu istirahat yang nyenyak ya. Karena besok kamu harus menggunakan banyak tenaga."
Belum juga Naya sempat bertanya, Laura sudah lebih dulu mendorong tubuhnya. Alhasil dia hanya mengikuti. Dia sempat menoleh ke belakang dan dapat dengan jelas melihat smirk yang mengerikan di wajah Laura.
Setelah melihat Naya pergi, Laura pun masuk ke lift dan menuju ruang kerjanya yang berada di lantai empat. Di sana sudah berdiri sang asisten yang bernama Kenzi Adipati atau yang lebih sering dipanggil Ken. Dia adalah pria tampan yang dulunya bekerja sebagai asisten pribadi Burhan.
"Apa semuanya masih terkendali?" tanya Laura. Dia melewati Ken yang berdiri di dekat meja kerja.
Ken menyerahkan sebuah map yang berisikan laporan keuangan perusahaan. "Untuk sekarang masih aman. Pemegang saham masih bisa diajak kompromi. Kita punya kelemahan mereka. Tapi masalahnya adalah pihak bank. Mereka tidak mau memberikan pinjaman dan justru ingin kita segera melunasi hutang. Sepertinya rumor buruk masalah perusahaan sudah menyebar."
Laura yang sudah duduk di kursi kebanggaan memijit pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut. Perusahaan hampir diujung tanduk.
"Mereka kasih kita waktu seminggu," lanjut Ken lagi.
"Soal kabar Mike bagaimana? Apa kita bisa menemuinya? Cuma Mike harapan kita," sahut Laura. Kini dia mengangkat kepala dan dapat dengan jelas menangkap ekspresi ragu-ragu Ken.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Laura.
"Bukan begitu, Bu Direktur. Saya sudah bisa buat janji temu dengan dia enam hari lagi. Tapi masalahnya apa Ibu yakin. Ini ...."
"Ini urusan saya," sela Laura. Sorot matanya menunjukkan ketidaksenangan. "Ingat, Ken. Kamu hanya asisten. Kamu gak berhak sama sekali untuk angkat suara. Lakukan saja apa yang saya perintahkan. Perusahaan kita hampir bangkrut."
"Tapi, Bu ...."
"Sudahlah. Lebih baik kamu pulang. Besok kamu harus kerja ekstra untuk rencana kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Ida Lailamajenun
Naya mo di sodorin ke Mike sptnya Sbg penutup hutang klg ayahnya.
2021-12-17
0
Andayani Ahmat
hmmmm,, emng ya si Laura gila hrta..
2021-10-30
0
Sriyanti Anjar
lanjut
2021-10-30
0