THE GEISHA AND MOMIJI DREAM Part 12. Derrick Tan 4

"Tidak, ini sudah berhenti tidak dalam..." Dia membuka bajunya. Dan dengan segera mataku terpesona dengan apa yang kulihat. Badannya benar-benar bagus. Sesaat aku diam dan memandangnya begitu saja, posturnya mengagumkan, lihat perut itu...astaga mataku. mungkin dia berlatih bela diri juga.

"Aku perlu membersihkan diri dulu sebelum lukanya dibalut..." Aku tersadar dari pengamatanku yang kelewatan dan dengan cepat membantunya melepas kemejanya. Dia berkata itu tak apa, tapi tampaknya sakit juga.

"Tak apa...ini hanya sedikit cedera, aku akan membersihkan lukanya, nanti aku bisa membalutnya sendiri. Aku merepotkanmu disini ...tak apa kau pulang." Dia mungkin tak enak aku berada disini.

"Tak apa, aku akan membantu Tuan Tan ...pasti sulit mengikat perbannya sendiri setinggi itu."

Dia pergi meninggalkanku kemudian dan masuk ke kamar mandi, aku menunggu dengan tenang di sofa, tak berapa lama dia keluar dengan badan sudah bersih dan baju tanpa lengan.

"Maaf jika ini tak sopan." Dia keluar dengan celana pendek. Aku bisa memuaskan mataku melihatnya sekarang. Dia pasti sering berlatih, mengejar pencuri tadi bisa dilakukannya dengan mudah dan lekukan badannya bagus.

"Tak apa Tuan Tan, biarkan aku membantumu." Aku dengan cepat mengambil kasa antiseptik mengguntingnya, sebelum menutup luka sayat yang terlihat mengerikan itu dengan kasa steril lalu mengambil perban membalut lengannya dengan baik. Jemariku kadang menyentuh kulitnya mukaku memanas dengan semua pikiran yang berlalu di kepalaku.

"Apa cukup kencang?" Aku tak terlalu terbiasa melakukan ini. Kuharap aku melakukannya dengan benar.

"Iya, sudah cukup. Terima kasih."

"Aku yang harus berterima kasih kepada Tuan, kalau tidak tasku akan hilang." Dia hanya tersenyum kemudian.

"Astaga, aku tak menawarimu minum sesuatu." Dia menepuk dahinya sendiri dengan gaya lucu. Aku mau tak mau tersenyum.

"Tak apa, saya baik... Saya akan meninggalkan Tuan Tan beristirahat. Terima kasih menemani saya makan malam hari ini."

"Aku yang mendapat kehormatan..." Dia tersenyum padaku. Kali ini jantungku berdebar lagi. Aku harus mengambil kesempatan.

"Ehmm... lain kali jika Tuan Tan ke Kyoto beritahu saya, mungkin kita bisa mengobrol lagi. Maksud saya bukan di ochaya...." Aku tak ingin dia merasa dia harus membayar untuk bicara denganku, itu pesanku. Karena aku bersedia menghabiskan waktu dengannya setelah semua ini...

"Ohh... " Dia mungkin berpikir kenapa aku bicara begitu. "Tentu, mungkin kita bisa mengobrol nanti." Tapi kemudian mengenyahkannya dan menganggap aku hanya ingin mengajaknya mengobrol.

Kurasa dalam pikirannya menurutnya tak mungkin gadis muda sepertiku berpikir punya ketertarikan hubungan khusus dengan orang yang berbeda usia hampir 15 tahun, padahal aku mungkin bisa berkata aku tak suka yang seumuran mereka terlalu meledak-ledak terkadang. Lagipula kebanyakan klienku dan tamu kami memang sudah berumur.

"Boleh saya kapan-kapan menelepon Tuan Tan?" Dia menatapku karena aku berani menaikkan taruhan. Apa aku sudah gila. Kenapa aku seberani ini. Tapi jika tidak dia hanya akan menganggapku angin lalu... Aku harus mengambil kesempatan ini.

"Tentu..." Walaupun tampaknya dia tidak yakin. Tapi mungkin aku sudah cukup mengatakan semuanya.

"Kalau begitu saya kembali... Tuan tidak usah mengantar saya. Terima kasih lagi." Aku berdiri dan membungkuk padanya.

"Aku yang berterima kasih." Aku menatapnya dan tersenyum sesaat sebelum berbalik.

Bibirku mengulaskan senyum. Aku boleh meneleponnya... Mungkin aku bisa mengobrol lagi dengannya nanti.

Malam itu berakhir dan aku tak pernah menyesal pernah mengambil kesempatanku. Karena dia tak keberatan aku meneleponnya. Maka aku akan meneleponnya nanti.