Di sebuah desa yang cukup jauh dari suasana keramaian kota, beberapa anak bermain dengan canda dan tawa penuh kerenyahan. Para anak laki-laki dan perempuan bermain petak umpet, ada yang bermain lompat tali, ada juga yang bermain polisi dan penjahat.
Dibawah pepohonan rindang yang berdiri dan berbaris kokoh, tanah kering yang sudah di siram dengan air agar tidak berdebu, membuat semuanya terlihat segar.
Beberapa pancaran-pancaran sinar matahari menerobos masuk dan terasa hangat dari celah-celah dedaunan. Udara di pedesaan masih alami dan sejuk, belum terjamah oleh polusi seperti di Kota.
Nindya Ayu Sukmawati, usia nya 22 tahun, duduk sendirian di atas mistar berubin tepatnya ada di samping rumah kuno sederhana yang terbuat dari kayu. Sesekali senyuman ringan mengembang dan melukiskan kecantikan wajahnya.
Nindya memiliki paras cantik, dengan kulit kuning langsat dan memiliki rambut sebatas bahunya. Namun kesehariannya, ia lebih memilih mengikat rambutnya.
Leher mulus dan jenjang terlihat indah, ketika Nindya mengikat rambut menjuntai ke atas ala ekor kuda.
Nindya adalah salah satu gadis paling cantik di desanya, tepatnya Desa Suka Gendang. Nama Suka Gendang di ambil dari para leluhur yang dulunya desa tersebut warganya selalu bermain gendang hingga akhirnya tersebutlah nama Suka Gendang.
Nindya mengamati anak-anak yang sedang bermain dan terlihat bahagia, mengingatkannya ketika masih kecil, meski masa kecilnya tidak terlalu bahagia namun tidak seberat yang ia lalui ketika telah menjadi dewasa.
"Nindya, kamu sendirian saja di sini, memangnya lagi libur kerja? " Kata seorang wanita paruh baya yang sedang mencari anaknya.
"Iya kebetulan pabrik sudah selesai ekspor." Kata Nindya ramah.
"Ohh.. Begitu, biasanya tanggal merah atau hari minggu kamu tetep kerja." Kata tetangga Nindya dengan tersenyum.
Nindya memang cukup menjadi bintang di desanya, karena keramahan kesopanan dan tentunya karena wajah cantiknya.
"Dodit ayo pulang dulu, kalau main itu ingat waktu sekarang sudah siang, makan dulu, sholat dzuhur baru tidur siang!" Teriak Budhe Sri.
"Iya maak..." Teriak Doditdan berlari menuju ke arah amaknya.
Nindya melihat bagaimana Ibu dan anak yang saling bergandengan, saling menyayangi dan sang ibu selalu memperhatikan anak nya, membuat hati Nindya ingin kembali ke masa kanak kanak. Meski masa kanak-kanak nya tidak terlalu indah, namun tidak seberat yang ia jalani sekarang.
"Hmmm..." Nindya menghela nafas panjangnya.
Gadis itu kemudian berdiri untuk pulang menuju rumahnya, dengan sedikit perasaan kelegaan dalam hati karena sudah cukup lama bersantai dan tersenyum melihat anak-anak bermain. Kini hati nya sudah cukup ringan.
Namun ketika Nindya sampai di halaman rumahnya.
"PRANGG!!”
“PYARRR!!"
Langkah kaki gadis itu seketika terhenti. Sudah tidak asing bagi Nindya mendengar sesuatu yang pecah dari dalam rumahnya.
Nindya sama sekali tidak terkejut, ia sudah hafal dengan keadaan dan kondisi di dalam rumah yang ia tinggali selama 19tahun, perasaan sedih yang sangat dalam kembali menyeruak di wajahnya, hatinya yang kian lelah semakin tenggelam dalam lubang yang gelap.
Perlahan Nindya melangkahkan kakinya untuk masuk sembari mencengkram gagang pintu dengan tangannya yang memiliki jemari lentik.
Terlihat emak dan bapaknya sedang saling memaki satu sama lain. Beberapa perabotan sudah di banting, dan pecahan piring sudah berserakan, barang-barang lainnya pun sudah berceceran.
Pemandangan yang sudah biasa bagi Nindya selama 22 tahun ini, namun entah mengapa meski
sudah sering kali gadis itu mendengar kalimat kasar dan teriakan serta makian, atau melihat pemandangan tersebut tetap saja tubuhnya masih gemetaran, dan dengan cepat Nindya merasa menggigil ketakutan.
Para orang tua itu mengacuhkan kedatangan Nindya yang berjalan melewati mereka, gadis itu memilih membungkam mulutnya dan masuk ke dalam kamar.
Setelah Nindya mengunci pintu, kemudian ia menyalakan radio, mencari saluran musik, dan memutar volumenya dengan cukup keras, gadis itu meraih selimut dan menutupi tubuh serta telinganya.
Samar-samar Nindya masih mendengar teriakan dan makian dari orang tua yang seolah sudah saling membenci. Terlebih emaknya yang jika marah dan emosi selalu berteriak histeris dan menangis meraung-raung. Tak jarang emaknya juga lah yang sering membanting barang dan mencakar-cakar.
Nindya merasa sangat malu ketika orang tua nya selalu bertengkar dan saling berteriak, apalagi tak jarang para tetangga selalu menatap sinis padanya.
Beberapa jam sudah terlewati, kini hanya terdengar suara emaknya yang menangis tersedu-sedu di ruang dapur. Sudah tidak ada keributan dan makian, tandanya salah satu pihak pasti memilih untuk pergi.
Nindya kemudian mematikan radio bututnya yang beberapa sisi nya di tutup dengan lakban, ia bangun dan membuka pintu, gadis itu berjalan keluar dari kamar dan menuju kamar mandi ingin membersihkan diri, namun ia lebih dulu mendatangi emaknya.
Sebagai anak yang ingin berbakti, Nindya pastilah tidak tega, sebagaimana pun kedua orang tuanya selalu menyiksa batinnya tetap saja mereka adalah orang yang telah memiliki peranan besar dalam hidupnya.
Setiap kedua orang tuanya bertengkar, emaknya selalu menginginkan Nindya untuk mendengar dan
menyaksikan mereka, entah Nindya pun tidak mengerti untuk apa.
Bahkan sering sekali ketika Nindya masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak ia justru dipaksa untuk melihat bagaimana emak dan bapaknya bertengkar. Harus melihat jika tidak emaknya akan marah pada Nindya.
"Mak..." Kata Nindya lirih sembari ikut duduk di lantai yang terbuat dari ubin berwarna hitam.
"Ini uang untuk Emak." Kata Nindya.
Namun emaknya masih diam, mencengkram rambutnya yang lebih di dominasi dengan warna putih, masih menangis dan terisak.
Nindya kemudian bangun memilih pergi untuk membersihkan dirinya. Tak terlihat batang hidung bapak nya. Mungkin seperti biasanya. Bapaknya memilih pergi menenangkan diri di sungai atau di tempat lain yang sekiranya cukup sepi.
Nindya tahu, setiap mereka bertengkar tidak lain dan tidak bukan pasti hanya masalah uang, hutang piutang mereka terlalu banyak hingga yang mereka lakukan sejak Nindya masih kecil hanyalah bekerja dan bekerja.
Setelah Nindya selesai membersihkan dirinya, Nindya berpakaian casual, celana jeans panjang dan t-shirt pendek dengan jaket andalannya.
Gadis itu mengendarai motor nya, entah mau kemana karena pikirannya kalut. Dulu sewaktu masih kecil ketika emak dan bapaknya bertengkar Nindya tidak dapat pergi kemanapun dan sepanjang hari tersiksa dalam ketakutan yang mencekam karena emak nya bersikeras bahwa Nindya harus melihatnya.
Sekarang Nindya sudah dewasa dan ikut menjadi tulang punggung keluarga, tidak ada lagi yang mengatur nya, kini gadis itu lebih memilih untuk pergi dan mencari ketenangan.
Tak terasa motornya telah pergi begitu jauh dan hanya berputar-putar, namun kemudian ingatannya terpikirkan suatu tempat dan seolah ada energi yang lain membuat gadis itu tiba-tiba mulai bersemangat, ia memutar gas motor nya sedikit lebih dalam membuat motornya pun melaju lebih cepat.
Akhirnya sampailah dia di sebuah cafe yang berada di dekat persawahan.
~bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
🦈Bung𝖆ᵇᵃˢᵉ
semangat novel barunya kak
2021-11-11
1
Sweet chicie💞
up jejakin
2021-10-17
1
Nonie Fidding
khas nya anak desa...
2021-10-15
0