...╭┉┉┅┄┄┈•◦ೋ•◦❥•◦ೋ...
... Selamat Membaca...
...•◦ೋ•◦❥•◦ೋ•┈┄┄┅┉┉╯...
Tak terasa tiga hari berlalu begitu cepat. Malam ini adalah puncak acara classmeeting, yaitu acara promnight sebagai acara penutupan classmeeting. Disaat semua orang sibuk berkeliling mengerumuni panggung, dimana band sekolahnya tengah tampil, berbeda dengan kedua gadis yang duduk bersebelahan.
"Menurut lo, nasibnya Sirena kasian nggak sih? Sampe dihukum mati begitu, ngeri njir!"
Devita menghabiskan cilor dimulutnya terlebih dahulu sebelum menjawab Ayana yang juga tengah memakan cilor bersamanya, "Kasian lah! Tapi namanya juga sistem monarki kerajaan, apa-apa ya hukumannya hukuman mati, dipenggal kepalanya mah udah biasa."
Ayana bergidik ngeri, "Tapi ngeri juga ya cuy! Kalo dipikir-pikir, gue seketika pengen jadi sahabat buat Sirena."
"Kenapa pengen?"
"Sirena itu kesepian, dia nggak pernah dapet kasih sayang dari ayahnya, sementang anak selir yang nggak Raja cintai. Tapi kan Raja juga yang buat Sirena bisa ada, giliran udah ada aja disia-siain!" Ayana mendengus.
Devita termenung sejenak, sekilas kisah hidup Sirena mirip dengannya. Sirena Stylanie Asthropel, sang tokoh antagonis di novel Hiraeth. Sirena yang selalu melakukan segala cara agar dianggap oleh Raja juga putra mahkota kekaisaran, Elephas. Lelaki yang dicintai Sirena itu ternyata mencintai Kakak Sirena yang bernama Putri Nervilia Aragoana, anak ketiga dari ratu Amanita. Sirena semakin marah tatkala Raja mendukung hubungan keduanya dengan membuat pesta pertunangan dihari ulang tahunnya yang ke delapan belas tahun.
Devita merasakan rasa sakit yang dirasakan Sirena, gadis itu hanya ingin mengejar kebahagiaannya meskipun caranya salah. Untuk menggagalkan pertunangan itu, Sirena bahkan rela pergi ke tempat dimana Raja iblis berada sambil menyeret sang Kakak. Putri Nervilia ditumbalkan oleh Sirena kepada Raja Iblis. Di dunia Vulcan, tempat dimana Sirena berada, bersekutu dengan iblis adalah hal yang tak termaafkan dan perbuatan terkutuk. Namun sebelum sempat Sirena menumbalkan Putri Nervilia, putra mahkota Elephas datang menyelamatkannya dibantu Efarish Sirakusa. Efarish adalah sebutan untuk orang yang mendapat anugerah dewa. Akhirnya Sirena dijatuhi hukuman mati sebagai hukumannya.
"Gue malah pengen jadi Sirena, ngerubah jalan hidupnya yang suram. Bukannya setiap orang berhak bahagia, ya?" Devita meminta persetujuan pada Ayana.
Ayana mengangguk setuju, "Semua orang berhak bahagia. Tuhan ngasih kehidupan dilengkapi masalah juga kebahagiaan. Begitu juga lo, Devita." Ayana menatap sedih sahabatnya, "Gue tahu berat jadi lo. Tapi gue harap lo kuat, ya? Gue bakal selalu ada nemenin lo. Gue bakal jadi sahabat yang baik dan pengertian entah di kehidupan ini ataupun di kehidupan selanjutnya."
Devita meneteskan air matanya karena terharu, "Hua! Lo buat gue mewek aja si, Ay! Gue sayang lo, Ayana!!!" Devita memeluk erat Ayana, Ayana pun membalas pelukan Devita.
"Eh-eh! Udah dulu pelukannya, gue kebelet pipis," Ayana langsung berlari tunggang langgang setelah Devita melepas pelukannya.
Baru saja Devita ingin memakan cilornya yang tinggal sedikit, dia terkejut dengan kehadiran kakak tirinya, Vanessa.
"Ada apa, Kak?" Devita memandang Vanessa yang memandangnya dengan tatapan remeh sembari bersidekap dada.
"Gue mau lo hari ini buat gue seneng, Devita. Kalau lo nggak mau, gue bakal aduin ke ayah kalau lo udah jahatin gue. Alhasil lo pasti diusir dari rumah deh!" Vanessa memainkan kuku jarinya sambil menyeringai.
Selalu seperti ini, Devita pernah melawan Vanessa, namun dia kalah. Devita pernah diusir satu kali dari rumah, dia pun memilih pulang ke rumah ibunya, namun tetap saja, dia juga berakhir diusir. Devita masih membutuhkan tempat tinggal untuk membuat masa depan cerah, meskipun tanpa kasih sayang dari orangtuanya.
"Kali ini apalagi? Kayaknya idup lo nggak pernah tenang kalau nggak liat gue menderita," Devita berdiri tepat dihadapan Vanessa, "Gue harap ini yang terakhir kalinya. Sekalipun gue diem, bukan berarti gue kalah."
"Heh gendut! Sadar diri dong! Sampai kapanpun lo nggak akan menang dari gue!" Vanessa menunjuk Devita tepat didepan wajahnya, "Sekarang ikut gue!" Vanessa menyeretnya menuju kerumunan dimana orang-orang berada yaitu di pinggir panggung.
Vanessa melepas cekalan tangannya dari tangan Devita, lalu mengelapnya ke seragamnya seolah Devita adalah barang kotor.
"Lo ... Pergi ke atas panggung. Bilang, kalau lo ..." Perasaan Devita seketika tidak enak, "bilang kalau lo suka sama Anggasta. Tunggu balesan Anggasta, jangan sampai lo turun duluan sebelum Anggasta bales perasaan lo!"
Devita menatap Vanessa tidak percaya, Vanessa seniat itu untuk mempermalukannya untuk yang kesekian kalinya, "Lo keterlaluan, Kak! Gue nggak mau!"
Vanessa berbisik di telinga Devita, "Lo nggak mau? Lakuin sekarang atau gue hancurin masa depan lo! Dengan sekali tendang, lo bukan siapa-siapa. Inget posisi, Devita gendut!"
Devita menegang. Vanessa memegang kartu As miliknya. Jika dia diusir dari rumah, otomatis, ayahnya berhenti membiayainya untuk sekolah tinggi dan meraih cita-citanya. Devita tak bisa membiarkan itu. Dengan langkah yang dipaksakan, Devita naik ke atas panggung, merebut mikrofon yang dipegang oleh MC.
Devita menatap semua orang yang juga tengah menatapnya bertanya-tanya. Devita bukanlah bagian dari pengisi acara, lantas sedang apa dia diatas panggung? Seperti itulah yang orang pikirkan. Devita mencoba menarik napas panjang untuk menetralkan rasa gugupnya.
"BERDIRINYA GUE DISINI, SEBELUMNYA MAAF MENGGANGGU." Ada jeda sejenak, semua orang diam menunggunya melanjutkan ucapannya, "ANGGASTA, GUE SUKA SAMA LO! BENER-BENER SUKA!"
Semua orang sontak memekik kaget, bahkan tak sedikit ada yang mencemoohnya karena terlalu percaya diri. Sedangkan Anggasta, laki-laki yang baru saja ditembak oleh Devita, kini berjalan naik ke atas panggung yang sama. Lelaki itu berdiri di depan Devita dan membelakangi para penonton.
"GUE MAU JAWABANNYA, ANGGASTA." ucap Devita masih menggunakan mikrofon.
Anggasta meminta mikrofon lain pada panitia, setelah mendapatkannya, Anggasta berbicara, "LO ... BENER-BENER NGGAK TAHU DIRI, YA?"
Suara Anggasta begitu menyeramkan sekarang, semua orang yang semula ramai menyoraki kini terdiam, menantikan kalimat penolakan pedas dari lelaki itu.
"LO BUKAN TIPE GUE, DEVITA. PUNYA KACA NGGAK LO DI RUMAH? LO ... SAMA SEKALI NGGAK PANTES SAMA GUE!"
Mata Devita berkaca-kaca, tapi dia mencoba untuk tidak menangis, pantang baginya menangis dihadapan umum.
Anggasta menyeringai, "JADI, LO UDAH TAHU JAWABANNYA BUKAN?" Setelahnya Anggasta menyerahkan mikrofon itu pada panitia lalu melenggang pergi meninggalkan Devita yang mematung di atas panggung sendirian.
"HUUUUU!!! NGACA DONG NGACA! ANAK PELAKOR MACEM LO EMANG PANTES DAPAT KARMA!"
"HUUU!!"
Hati Devita benar-benar sakit. Sesaat matanya menatap Vanessa yang menyeringai dipelukan Anggasta.
PLUK
PLUK
Devita tak ubahnya seperti sampah sekarang. Acara promnight dimeriahkan olehnya yang rela menjadi bahan hinaan. Dia dilempari dengan sampah plastik berisi air yang membuatnya kotor dan basah oleh orang-orang. Karena sudah tidak kuat menahan tangisnya, Devita turun dari panggung, namun naasnya dia tersandung.
Tawa membahana setiap orang masuk di indra pendengaranya. Tawa yang puas melihat dia menderita. Devita bangkit dan lanjut berlari menuju rooftop. Dia tak mempedulikan rasa sakit di kakinya akibat terkilir, yang dia inginkan saat ini adalah ketenangan. Devita bahkan tak mempedulikan Elgra yang dia tabrak. Yang terpenting dia harus ke rooftop untuk menangis.
...-ˋˏ ༻❁༺ ˎˊ-...
Langit malam yang cerah dan penuh bintang yang bersinar kelap-kelip sangat tidak cocok dengan kondisi Devita saat ini. Devita berharap, malam ini hujan deras, agar dia bisa menangis tanpa malu karena sang malam tidak akan melihatnya menangis. Hujan selalu bisa menghapus air matanya.
"ARGHH!!! GUE CAPEK!" Devita berteriak sekuat tenaga.
"KENAPA HARUS SELALU GUE? KENAPA? Gue ... Capek diginiin terus hiks ..." Devita terduduk lemah di lantai kotor rooftop. Memukul dadanya berulang kali karena rasa sesak dan sakit begitu memenuhi rongga dadanya. Devita menangis sejadi-jadinya.
"Hiks ... Gue nggak tahu lagi harus dengan apa ngehadapin manusia biadab macem mereka! Gue bener-bener capek hiks ..." Perlahan tangis Devita mereda. Devita bersandar di dinding pembatas dibelakangnya. Dia mendongak menatap bulan yang bersinar cerah. Senyum tipis muncul di bibir Devita.
"Kalau gue mati, nggak papa kali ya? Gue udah capek bang-" Devita menghentikan ucapannya kala melihat cahaya mirip pelangi turun dari atas langit.
Devita berdiri menatap hal itu tak percaya, dia mengusap-usap matanya berulang kali kalau-kalau dia tengah halusinasi.
BRAK
Devita terkejut, karena tiba-tiba saja tembok di samping pintu rooftop berlubang setelah terkena sinar mirip pelangi tadi. Devita berlari mendekati lubang itu. Tak lama muncul sebuah cermin kuno yang dikelilingi sinar biru.
Dari kaca cerminnya tiba-tiba muncul gambar seorang gadis berambut pirang. Hanya sebentar, tak lama kaca cermin itu berperan seperti televisi yang menayangkan sosok gadis berambut pirang tadi tengah berdiri menggandeng seorang perempuan berambut hitam yang nampak ketakutan.
"Sirena, adikku ... Hiks ... Apa yang ingin kau lakukan padaku? Ayo kita kembali pulang!"
Devita terkejut, jadi gadis berambut pirang itu adalah Sirena. Devita menutup mulutnya saking tak percaya. Dia kemudian lanjut menonton apa yang tengah dia lihat. Yang dia lihat ini seperti scene dimana Sirena menumbalkan Putri Nervilia.
"Tidak akan! Kakak! Kau tidak bisa bertunangan dengan Elephas! Elephas hanya untukku! Untukku!" Sirena berbicara dengan nada membentak.
"Hiks ... Sirena, aku takut ... Apa yang ingin kau lakukan hiks ... Lepaskan aku, Sirena! Lepaskan aku!" Putri Nervilia memberontak dari cekalan Sirena.
Sirena tertawa melihat raut wajah ketakutan Putri Nervilia, "Lihatlah dirimu, kakak! Kau menyedihkan! Lantas kenapa Elephas memilihmu?" Sirena kemudian menangis, "Aku iri dengan Kakak hiks ... Semua yang aku inginkan bisa dengan mudah Kakak dapatkan. Kasih sayang ... Juga orang yang kucintai ... Hiks ..."
Sirena kemudian memejamkan matanya sambil memegang liontin berbentuk bulan dan bintang pemberian ibundanya. Sinar biru bercampur hitam muncul mengelilingi tubuh Sirena. Melihat itu semakin membuat Putri Nervilia ketakutan.
"HAI PENGUASA CANOPUS! AKU MEMBAWA GADIS MUDA PADAMU, DIA ADALAH PUTRI NERVILIA, PUTRI KETIGA DARI KERAJAAN WILLAMETTE, CALON PERMAISURI PUTRA MAHKOTA KEKAISARAN ALHENA. AKU MEMBERIKANNYA PADAMU!"
"SIRENA! BERSEKUTU DENGAN IBLIS ADALAH HAL TERLARANG! KAU AKAN DIHUKUM BERAT KARENA INI!"
Devita menatap cermin itu yang sama persis seperti scene yang ada dinovel, dimana Putra Mahkota Elephas datang bersama Efarish Sirakusa untuk menyelamatkan Putri Nervilia.
Lalu cermin itu beralih di scene dimana Sirena meringkuk di penjara bawah tanah dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Gaun birunya sudah lusuh penuh noda darah dan terlihat compang-camping.
'Sirena putriku ... Semesta ini indah bila kau membuka matamu lebar. Langitmu cerah bila kau tatap sembari tersenyum. Namun semesta tak abadi, sesaat untuk ditempati. Perlu kau ingat putriku, bahwa kehidupanmu seperti lingkungan yang kau tempati. Ada kesejukan, badai, kepedihan serta akhir.
Sirena, kelak kau akan mengerti mengapa jalan takdir tak selalu memihak kepadamu. Satu hal yang perlu kau tahu, harapan adalah sesuatu yang lebih dari sekedar keajaiban jalan dalam keputusasaan yang menghampirimu.'
"Harapan? Haruskah aku membuat harapan?" Suara halus itu begitu lirih saat berucap. Pesan ibunya mengalun merdu di kepalanya.
Harapan? Devita bertanya-tanya dalam hati, sudah sering dia membuat harapan dan hanya berakhir menyedihkan. Entah kenapa suara halus milik ibunda Sirena juga bisa didengar olehnya. Seakan-akan dia adalah Sirena.
'Selalu ada kesempatan bila kau ingin, jangan pernah kehilangan harapan!'
Sirena, gadis itu menatap liontin yang dia pegang. Permata biru saphire yang berada di tengah bintang itu menyala terang.
'Akan selalu ada kematian di setiap kehidupan. Jangan pernah takut.'
"Kau benar. Namun bila diijinkan, aku ingin menyambung hidup. Menjadi lebih baik dan belajar memahami keadaan." Sirena terdiam, gadis itu kini memikirkan hukuman yang akan dia terima besok pagi. Hukuman mati yang tak bisa dia hindari. Hukuman atas perbuatannya yang ingin mencelakai kakaknya, Nervilia Aragoana, calon Putri Mahkota dari Kekaisaran Alhena.
'Namun bila garis waktu, garis takdir, dan kuasa sudah tepat pada sasaran. Ingin berusaha sekuat apapun, semua akan terjadi. Jangan menyerah, jangan menyesal. Semua selalu indah sesuai rencana takdir Tuhan.'
Sirena memejamkan matanya tatkala sinar yang ditimbulkan oleh kalung miliknya bersinar begitu terang.
Devita terkejut kala melihat sinar itu juga ikut menembus cermin. Angin kencang tiba-tiba menerpa Devita, sedangkan Devita sendiri tengah menghalangi matanya yang silau akibat sinar biru itu. Angin yang menerpa semakin kencang, ditambah dengan sinar biru itu menyinari dirinya.
PRANG
"ARGHH ...."
Cermin itu pecah berkeping-keping dan membuat tubuh Devita terhempas jauh ke belakang hingga membuat Devita terjatuh dari rooftop ke lantai bawah.
Brugh
Devita merasakan remuk disekujur tubuhnya. Matanya mulai memburam akibat sinar biru yang tak hilang-hilang. Rasa sakit di kepalanya membuatnya mengerang.
Hingga akhirnya Devita tak sadarkan diri. Namun sebelum kegelapan benar-benar menguasainya. Devita mendengar sebuah suara halus yang bergumam di telinganya
'Perasaan yang sama akan mengantarkan pada dua takdir yang menjadi satu'
...•───────•°•❀•°•───────•...
Terimakasih sudah membaca.
Ini cerita kedua saya, mohon dukungannya ya:)
Saya menerima kritik dan saran. Apakah cerita ini menarik?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
pembaca novel
masih nyimak
2022-10-16
0
Cha Sumuk
msh nyimak
2021-11-16
0