Cerita Kita
Kenangan abu
Di jalanan di dekat lapangan basket, angin bertiup rindang di bawah langit yang sedikit mendung.
Aku berlari menuju tempat tak tentu arah. Ingatan yang kulihat itu masih membayang, tak peduli berapa banyak hari sudah berlalu sejak saat itu.
Orang-orang menatapku, pandangan kasihan dan sedih yang juga seolah sempat mereka rasakan tidak berpengaruh apa pun padaku.
Air mataku tetap mengalir, aku tak bisa lagi menahannya. Tubuhku bergetar, mulutku pun tetap tak bisa diam, suaraku perlahan keluar dengan kata-kata yang menggambarkan kondisiku.
“Ravi, jangan tinggalin Adel Ravi ...” sambil menutup mataku dan terisak.
“Ravi kan udah janji kalau kita bakalan sama-sama, kenapa Ravi pergi? Ravi kan dah janji sama A-Adel, jangan tinggalin Adel sendiri Ravi," air mataku kian deras alirannya. "Ravi gak boleh pergi, jangan pergi Ravi ....”
Begitulah kalimat yang keluar dari mulutku, sesaat aku melepaskan tanganku yang menutup mata. Aku melihat ke sana, telapak tangan yang sempat menggenggam tangan Ravi yang sudah dingin.
Ingatan itu tetap menemaniku, seolah menyuruhku untuk jangan pernah melupakan keberadaan orang yang pernah tertinggal di hatiku.
Mereka memelukku, sekilas terlihat bahwa air mata juga turun membasahi pipi sosok yang mengasihaniku. Benar mereka adalah teman-temanku. Tapi itu tak mempengaruhiku, karena sekarang yang aku rasakan hanyalah abu yang terbuat dari hatiku, abu dari kenangan yang terukir bersama Ravi karena tidak akan pernah kembali.
Benar dia tidak akan kembali, tidak peduli berapa kali pun aku memanggil namanya dia tidak akan kembali. Dia tidak akan pernah kembali. Pelukan yang kuharapkan darinya tidak akan pernah terasa lagi.
Tangannya yang menghapus air mataku juga sudah tidak akan ada lagi. Semuanya sudah tidak ada lagi.
Benar dia sudah pergi, benar-benar pergi dari sisiku untuk selama-lamanya.
“Adel jangan gini. Ravi gak akan tenang lihat lo kayak gini, sadar Del! Lo gak boleh kayak begini,” begitulah perkataan yang keluar dari bibir Andin yang memelukku.
Dia juga menangis, tapi aku tak tahu apa yang dia tangiskan dan aku tidak peduli itu.
Dia mengusap punggung dan kepalaku, seolah berusaha menenangkanku. Tapi kalimatnya itu menusuk hatiku, karena kenyataannya aku tak bisa menerima semuanya.
"Kalian tidak akan bisa mengerti perasaanku," itulah kalimat yang spontan tertulis di benakku. Hanya di hatiku, karena aku sudah tak mampu lagi berkata-kata.
Sekilas terlihat di mataku pandangan orang-orang sekitar, aku pun sadar bahwa tidak seharusnya diriku menangis seperti ini.
Perlahan, kucoba menggerakkan kaki agar hatiku menjadi lebih baik. Mencoba pergi dari sana untuk menenangkan diri. Benar, diriku lebih tenang karena semuanya perlahan berubah gelap. Tak sadar bahwa aku ternyata pingsan karena tekanan batin dan juga kelelahan yang kurasakan.
Andin berteriak memanggil namaku yang pingsan dipelukannya. Ria yang juga berdiri bersama berusaha menolong untuk mengangkatku. Entah perasaanku, sekilas rasanya aku bisa mendengar dan merasakan sentuhan mereka. Tapi keduanya cukup kesusahan untuk menggendongku, sehingga beberapa teman yang juga melihat kejadian itu datang membantu.
Marvel pun mengulurkan tangannya dan membantu menggendongku sendirian. Andin membawa tas milikku dan mengikuti langkah kaki sang pemuda yang membawa diriku ke tepi lapangan basket yang tidak begitu ramai.
Sedangkan Ria berjalan terpisah dengan mereka, menuju kantin untuk membeli air minum.
Marvel membaringkan tubuhku di tempat duduk yang tersedia di pinggir lapangan. Bahkan Andin pun membuka jaketnya dan melipatnya sebagai bantal bagiku.
Ari yang sebelumnya bersama dengan Marvel datang memberikan minyak angin. Ia meminjamnya, dari teman-teman cewek lain setelah melihat aku pingsan. Marvel pun menerimanya, mengoleskannya di pelipisku.
Di sisi lain Andin meletakkan tasnya sebagai bantal di bawah kakiku, sebagai penolong agar aku cepat sadar. Benar saja, tak lama aku pun mulai tersadar.
Perlahan-lahan membuka mata yang terasa aneh kesannya. Aku berusaha bangun dan dibantu oleh Andin dengan hati-hati, mencoba duduk diiringi raut wajah yang tak sehat.
Tampak Ria tengah berlari menghampiri kami dengan napas terengah-engah sambil membawa sebotol air. Ia membuka tutupnya dan menyodorkannya padaku sehingga aku pun meminumnya perlahan sambil dibantu oleh Andin.
“Lo dah baikan Del?” tanya Andin membelai rambutku. Aku hanya menggangguk pelan, mataku bengkak karena menangis tadi.
Tak ada satu pun dari orang-orang yang hadir di sini mengungkit hal-hal tadi. Aku sekarang sudah terlihat lebih baik, walaupun itu hanya tampilan luar. Entah sekarang seperti apa perasaanku orang-orang hanya bisa menebaknya saja.
“Del, gimana kalau kita pulang aja?” tanya Ria memecah suasana diam itu. Aku tidak menjawabnya, kecuali menunduk dengan tatapan kosong.
Andin yang membelai rambutku pun mengiyakan ajakan Ria. “Iya kita pulang aja, kita anterin lo ya Del,” sahutnya sambil memakai jaketnya yang tadi jadi bantal dan mengambil tasnya.
Marvel dan Ari hanya menatap kami, “kalian pulang pake apa?” tanya Ari.
“Kita sewa GoCar aja, sekalian antar Adel,” sahut Andin.
“Terus dari rumah Adel nanti sewa GoCar ke rumah kalian lagi? Habisin banyak duit, mending kita antar aja,” balas Marvel sambil melirik jam tangannya.
“Iya, mending isiin bensin motor gue daripada sewa GoCar,” sambung Ari.
“Iya sih, tapi gratis aja lah. Masa lo suruh kita bayar padahal lo sendiri yang nawarin, pelit amat sih lo!” tukas Ria.
“Gak papa kan jika kita pulang diantar mereka Del?” tanya Andin. “Kita bakalan antar lo pulang sama-sama kok.”
“Hm,” balasku sambil mengangguk pelan.
“Ya udah, gue panggil si Kevin buat antar juga ya, tunggu di parkiran,” sahut Ari meninggalkan kami.
Kami pun berjalan menuju parkiran. Tasku masih dipegang Andin dan ia juga merangkulku. Tampak jika kondisiku sudah jauh lebih baik dari yang tadi.
Di tempat yang berbeda, Ari pun sedang berjalan menuju ke tempat Kevin di mana ia sedang nongkrong di kantin seperti biasanya.
“Woi Vin, asyik amat sih di sini,” teriak Ari sambil memukul pundaknya.
“Apaan!?” balasnya menoleh.
“Yuk antar si Adel pulang, itu cewek pingsan tadi!”
“Pingsan kenapa?!” tanya salah satu teman cewek perkumpulan Kevin.
“Insiden terakhir mungkin!” balas Ari.
“Sumpah! Kasihan gue sama si Adel, gak kebayang kalau gue yang di posisi begitu,” balas yang lain.
“Vin, lo anter dong! Nongkrong aja kerjanya,” sambung anak lainnya.
“Iya bawel, gak lihat gue lagi mau pergi,” Kevin pun beranjak meninggalkan teman-temannya itu. Keduanya pun berjalan menuju parkiran.
“Kan cuma anter si Adel, kenapa gak lo aja?”
“Ada si Andin ama Ria juga, kurang satu ojek lagi,” tukas Ari.
“Lah! Si Andin bukannya ada cowoknya?! Kena tonjok kita!”
“Gak tau lah! Bacot aja lo dari tadi!” Ari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mereka pun akhirnya sampai di parkiran.
“Akhirnya datang juga, lama amat sih!” teriak Andin.
“Din! Cowok lo mana?” tanya Kevin.
“Dia gak masuk, nanti gue jelasin ke dia, dah lah langsung aja anter kita pulang!”
“Anter si Adel dulu kan?” tanya Marvel sambil mereka semua menoleh padaku.
“Gak usah, sendiri aja yang anter gue, yang lain pulang aja gak apa-apa,” sejujurnya aku tidak ingin tambah merepotkan mereka.
“Gak apa-apa, biar kita anter aja,” balas Ari.
“Gak usah, tolong gak usah, sendiri aja,” balasku. Aku sudah lelah dan tidak ingin menyusahkan mereka karena gara-gara aku mereka juga ikutan pulang.
“Ya udah, gue aja yang anter lo Del,” balas Kevin sambil memakai helm. Ia menghidupkan motornya, aku pun mendekat dan berbonceng padanya.
“Ya udah kita duluan ya,” sahut Kevin pada semuanya. Aku yang di belakangnya hanya menunduk diam, tak ingin melihat ke arah mana pun juga. Saat ini yang kuinginkan hanyalah pulang.
Semuanya akan bermula dari sini ....
Namaku Adel, Adelia Morva Agustina. Ini adalah kisahku, ceritaku yang akan menjadi pengalaman tidak terlupakan bagiku.
Aku berbagi cerita, sebagai pelajaran tentang apa artinya keberadaan seseorang, seseorang yang mungkin saja sempat jadi sosok berharga, entah siapa pun itu bagiku. Setidaknya yang lain harus bersyukur karena masih sempat menjalani kebersamaan dengan orang-orang yang pernah melintasi hidup kalian.
Semoga kenangan-kenangan ini tidak menjadi abu dan tertiup angin yang bernama kehidupan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Pov orang pertama, perempuan..
2022-01-21
1
KIA Qirana
Sedih banget 😭😭😭
2021-10-07
0
Dania
Kami hadir ⭐⭐⭐⭐⭐
2021-09-14
0