Khayalan tingkat tinggi

"Ha-llo, Pak Sutradara! Bisakah anda segera menyingkirkan tubuh anda dari atas tubuh yang rata ini? Secepatnya!" Kiara berucap pelan tapi penuh dengan ketegasan. Jangan lupakan sindiran yang ia keluarkan. Tak ada respon. Pria yang saat ini masih setia bertengger di atas tubuhnya seakan jiwanya sedang berkelana. Hingga tak menghiraukan dirinya yang tersiksa menumpu beban berat badan dan dosanya.

"Hei, kau dengar tidak? Buruan turun. Kenapa malah melamun? Kau pikir dirimu tidak berat apa?" Sentak Kiara. Kali ini kesabaran Kiara sirna sudah. Dia sudah tidak tahan menanggung beban di atasnya terlalu lama.

"Heh...!" Hanan terkejut.

Teriakan itu sontak membuat jiwa yang sedang berkelana itu kembali ke tempat asalnya. Hanan tersadar dari lamunannya.

Berkali-kali ia mengerjapkan matanya. Posisinya masih sama. Ia pun menengok ke arah pintu. Tante Melati masih di sana dan...

"Kalian ini sedang apa sebenarnya?" Akhirnya suara Melati pun menggema.

Hanan langsung saja beranjak dari tubuh yang dibilangnya rata di bawahnya. Kiara akhirnya terbebas juga. Ia sudah bisa bernapas dengan lega. Melati berjalan mendekati keduanya.

"Mama harap kalian bisa menjaga diri kalian. Jaga hawa napsu. Jangan melewati batas. Jangan bermain kuda-kudaan sebelum kalian menikah. Mengerti?"

"Mama salah paham. Kami berdua tidak melakukan perbuatan yang terlarang. Tadi itu kami sedang berebut ponsel hingga kami tak sengaja terjatuh bersama-sama. Selebihnya tidak ada yang terjadi!" Jelas Kiara. Sedangkan Hanan masih terdiam terpaku di tempatnya. Pikirannya masih membayangkan sesuatu.

"Mama percaya pada kalian berdua. Jadi, jangan khianati kepercayaan Mama!"

"Iya, Ma. Kiara tahu. Kiara juga tidak akan berbuat yang berlebih sebelum ada ikatan yang sah!" Melati tersenyum. Kiara, putrinya itu memang tidak pernah mengecewakannya.

"Ya sudah kalau begitu, buruan gih pakai seragamnya! Papa sudah menunggu kita untuk sarapan."

(Sekedar catatan : maksudnya Kiara yang memakai pakaian dalam, bukan berarti hanya menggunakan bra dan cd saja. Melainkan ia pun juga menggunakan kaos dalam dan celana rangkepan. Maklumlah, Kiara kan masih sekolah)

"Ayo, buruan! Mama tunggu di bawah!"

Kiara dengan cepat memakai seragamnya. Setelah rapi ia pun bergegas keluar. Meninggalkan Hanan yang masih bingung dengan adegan yang baru saja terjadi.

Tidak sama. Alur ceritanya berbeda. Bukan hanya berbeda tapi bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam imajinasinya.

"Hei, bengong aja nih Bapak tua! Masih membayangkan empuknya berada di atas tubuh yang rata ini!" Ejek Kiara kembali menyadarkan Hanan dari lamunannya.

Kiara langsung pergi begitu saja. Sedangkan Hanan hanya melihat punggung itu menjauh dan menghilang dengan ekspresinya yang penuh dengan berbagai pertanyaan.

Tadinya aku pikir dia gadis yang licik. Kukira tadi dia akan menjebakku agar aku mau menikahinya. Ternyata semua salah. Kiara tidak melakukan itu. Tidak seperti di sinetron-sinetron yang sering digarapnya, batin Hanan.

Hallo, Pak Sutradara... ini dunia nyata bukan dunia yang penuh khayalan tingkat tinggi seperti yang kau kerjakan selama ini.

Di sini semua orang punya prinsip hidupnya sendiri-sendiri. Tidak tergantung pada skenario dan arahanmu. Di alam nyata bukan dirimu lah yang jadi sutradaranya. Ingat itu!

Hanan tersenyum sendiri mengingat khayalan tingkat tingginya beberapa saat lalu. Hingga akhirnya ia pun teringat kembali akan panggilan dari kekasihnya tadi.

"Oh...astagaaa...aku lupa!"

***

Hanan berkali-kali mencoba menghubungi kekasihnya. Sekarang dia sudah kembali ke kamarnya. Tadi dia sudah memberitahu bahwa dirinya tidak ikut sarapan bersama karena mau kembali tidur. Dirinya sangat lelah.

Tak diangkat. Kekasihnya marah. Hanan tahu itu semua. Dia mengerti sifat kekanak-kanakan kekasihnya. Selain manja, Sheila, kekasihnya itu juga pemarah. Walau di mata orang lain itu adalah sifat yang sangat menjengkelkan. Namun itu semua tidak berlaku untuk Hanan. Baginya Sheila itu sangatlah menggemaskan. Begitulah bila hati yang sudah bicara, mata pun seolah menjadi buta.

Hanan tak mencoba melakukan panggilan lagi. Tapi digantinya dengan mengetik sesuatu. Dirinya terlalu capek untuk menjelaskan. Yang penting ia tidak melakukan tindakan yang tidak benar.

Hanan membuang kembali tubuhnya di atas ranjang. Tak menunggu lama, matanya pun langsung terpejam dan hembusan napas teratur pun terdengar dengan sedikit dengkuran. Hanan kembali terlelap.

***

~ di sekolah ~

Siang ini Hanan berencana menjemput Kiara di sekolahnya. Tadi dia sudah menghubungi Kiara agar menunggunya. Dia ingin mentraktir Kiara sebagai ucapan terima kasih karena tidak mempersulit dirinya tadi pagi. Kiara tidak mempergunakan kesempatan yang ada untuk menjebaknya. Tadi pun sebelum berangkat, Hanan juga sudah meminta izin kepada Melati soal dirinya yang akan mengajak Kiara jalan.

Melati pun mengizinkannya begitu saja. Bukankah ini yang mereka inginkan. Mendekatkan keduanya.

Acara syutingnya akan berlangsung nanti sore. Masih ada waktu pikir Hanan. Kini mobil itu sudah melaju menuju arah ke sekolah Kiara.

Namun di tengah jalan dia mendapatkan telepon dari salah satu kru nya. Wajahnya langsung terlihat panik. Tak pikir panjang  saat ada celah di tengah jalan Hanan membanting setirnya. Ia berbelok arah. Pikirannya tertuju pada keselamatan krunya yang tertimpa pohon tumbang saat menyiapkan lokasi syuting.

Hanan kini melajukan mobilnya ke arah rumah sakit. Karena tadi dia meminta semua yang ada di sana langsung membawa korban ke rumah sakit terdekat. Di tengah kecemasannya, Hanan sampai melupakan tujuan awalnya. Ia pun juga lupa memberi kabar pada Kiara agar menyuruhnya pulang dan tidak menunggunya.

Di saat Hanan sibuk dengan semuanya. Di tempat lain, Kiara masih menunggu kedatangan Hanan dengan setia. Jarum jam berputar dari satu angka ke angka selanjutnya. Tak terasa sudah jam tujuh. Kiara melihat jam tangan di pergelangan tangannya.

Sejak tadi Kiara sudah menghubungi Hanan menanyakan tentang keberadaannya. Namun nihil. Telponnya tidak diangkat. Pesannya pun bahkan tidak dibacanya. Kiara pikir Hanan memang sengaja melakukannya. Mungkin untuk mengujinya agar tidak mengejarnya. Tapi ia salah. Kiara bukanlah gadis lemah yang akan mundur begitu saja.

Kiara menganggap mungkin ini ujian awal untuk dirinya. Baiklah, dia jual aku beli. Dia tantang, eh memang dia pikir aku nggak berani. Siapa takut.

Jalanan di depan sekolah semakin malam justru semakin ramai. Dibilang kesal, tentu saja ia kesal. Tapi demi tujuannya Kiara harus bertahan.

Untuk mengusir kebosanannya, Kiara berjalan mondar-mandir di depan gerbang sekolahnya yang kini sudah tidak berpenghuni. Hingga sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekatnya.

Seorang pria mapan dengan jas kantoran keluar dari sana. Dia kemudian berjalan mendekati Kiara.

"Cantik, ayo ikut abang! Berapa tarifmu untuk semalam? Katakan saja, berapa pun itu pasti abang bayar!"

Oh siaaalll....dia menganggapku perempuan nggak bener, umpat Kiara dalam hati.

Terpopuler

Comments

Fitria Dafina

Fitria Dafina

Kasihan Kiara.. Menunggu sampai malam di gerbang sekolah..

2021-09-03

0

AuliaNajwa

AuliaNajwa

lnjuttt

2021-08-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!