Acara pernikahan berjalan lancar. Tidak terlalu banyak orang yang di undang dan tidak adanya hiburan berlebihan. Semua itu jelas permintaan Jihan.
Meski terkesan sederhana, setiap sudut acara tetap menjadi bahan pembicaraan. Hal itu karena mewahnya apa yang ada di dalam dan apa yang di sajikan. Tentu saja ini karena ibu Chris yang mengatur.
Saat ini, kedua pengantin sudah berada di kamar utama rumah Chris. Azam juga sudah memiliki kamarnya, namun tentu saja tidak di isi karena ia langsung kembali ke pesantren.
"Ingin mandi? aku akan siapkan air."
Chris menoleh sesaat sebelum menghadap lemari dan melepas jas dan dasinya. Mengambil baju kaus biasa dan celana berbahan satin.
"Tidak perlu, kamu istirahat saja."
Maka setelah berkata demikian Chris masuk ke dalam kamar mandi. Hanya beberapa menit ia keluar. Tidak berbicara sama sekali dan keluar dari kamar begitu saja.
Tentu saja menghasilkan kerutan di kening Jihan. Sejak di perjalanan pulang, Jihan sudah merasakan atmosfir berbeda dari suaminya itu. Tidak berbicara sama sekali juga senyum yang biasa di berikan padanya hilang begitu saja.
Apa aku melakukan kesalahan?
Tidak ingin berpikir berlebihan, Jihan juga mengganti baju dan segera tidur. Selang beberapa menit berganti, ia tidak bisa memejamkan matanya. Maka ia bangkit dan berjalan keluar setelah sebelumnya memakai jilbab.
Sudah cukup larut. Jihan melirik kamar yang berada di sebelah kamar mereka. Lampunya menyala dan itu membuat Jihan kebingungan.
Seingatnya, ibu Chris mengatakan kamar Catrin dan dirinya ada di lantai dua. Di lantai tiga hanya kamar mereka yang di huni. Selebihnya hanya kamar kosong untuk tamu. Maka, dengan keberanian berlebih Jihan menemukan jawaban atas rasa penasarannya.
Ketika ia membuka pintu yang tidak terkunci, Jihan melihat suaminya tertidur di sana. Ia tertegun beberapa saat. Muncul banyak pertanyaan di hatinya.
Mungkin ketiduran di sana
Hanya itu yang otaknya ingin pikirkan. Jihan berjalan mundur dan kembali menutup pintu. Tampa menyadari kedua onik tajam itu terbuka. Menatap pintu kamar yang tertutup dengan dingin sebelum kembali menutup matanya.
.
Pagi hari Jihan sudah berkutat di dapur bersama para pelayan rumah. Catrin duduk manis di kursinya. Matanya berbinar mengikuti semua gerakan Jihan.
"Mama kenapa repot sekali, biarkan para pelayan saja." celotehnya sedari tadi.
Jihan hanya tersenyum. Ketika sang nenek bergabung dan mengelus kepalanya. Ia semakin melebarkan senyumnya.
"Cat benar Ji ... biarkan pelayan saja dan duduklah di sini."
Jihan tidak bisa menolak, ia akhirnya duduk. Merapikan rambut Catrin saat Chris turun dan bergabung dengan mereka.
"Morning mom, Catrin ... kenapa tidak memakai seragam?"
"Cat tidak ingin sekolah papa! Ini pertama kali mama di rumah. Libur ya? hmm?"
Chris berdecak malas melihat kelakuan anaknya. Sarapan sudah di sajikan dan dia memulainya dalam diam.
Hal ini tentu saja biasa bagi ibu dan anaknya. Hal yang tidak terlalu aneh juga bagi Jihan. Hanya saja yang menjadi pertanyaan besarnya sejak kedatangan suaminya di meja makan, adalah ia tidak di sapa sama sekali. Seolah ia adalah makhluk tak kasat mata.
Mungkin ia masih canggung.
Ya, Jihan masih berpikiran positif. Karena dia juga sebenarnya masih sangat canggung. Terutama dengan perbedaan besar antara rumah ini dengan rumah orang tuanya.
Jihan dan Catrin masuk ke dalam kamar bermain Catrin di rumah ini. Sementara Chris sudah berjalan keluar sebelum suara ibunya memanggil.
"Ya, mom?"
"Jangan terlalu dingin pada Jihan. Tolong ... perlakukan ia dengan baik."
"Mom ... aku sudah melakukan keinginanmu. Tidak ada sandiwara mulai sekarang. Sorry mom, see you at night."
"Tapi Chris ... perlakuanmu terlalu cepat dan kentara__"
"Mom please ... cukup, oke?"
Maka ibunya hanya bisa menghela nafas. Ia kembali masuk ke dalam. Berharap Jihan bisa berbesar hati menerima perlakuan anaknya. Karena sejak awal ia bisa melihat kalau Jihan sudah memiliki rasa pada Chris. Karena itu ia menerima lamarannya. Tentu saja, rasa itu terpupuk dari semua perhatian. Lalu jika perhatian itu lenyap, akankah rasa itu tetap ada?
.
Jihan di minta sang mertua mendatangi kantor suaminya. Membawa kotak bekal dengan alasan untuk mendekatkan diri. Jihan tidak keberatan, dengan Catrin di samping kanannya, mereka sampai di depan meja sekretaris.
"Maaf, pak Chris sedang ada tamu bu, nona Cat"
"Kami akan tunggu di sana saja, ayo Cat ... "
Ajak Jihan.
Sekretaris pria itu tampak menatap sendu pada Jihan. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Mama, kenapa papa lama sekali?"
"Sabar Cat ... papa tidak boleh di ganggu dulu."
Usai ia berkata begitu, pintu terbuka. Chris keluar bersama dua orang wanita yang tampaknya rekan bisnis. Nyaris melewati mereka begitu saja jika Catrin tidak berteriak memanggilnya.
Chris menatap anaknya sesaat sebelum melirik Jihan dan bawaannya. Wajahnya datar tampa ekspresi. Menghasilkan nyeri halus di hati Jihan.
"Kenapa di sini, Cat? Papa harus pergi."
"Ingin makan siang dengan papa!"
Chris memijit pangkal hidungnya frustasi. Akhirnya dia menatap pada mata Jihan, untuk pertama kalinya usai pernikahan.
"Bawa dia pulang."
Hanya tiga kata itu sebelum ia berlalu bersama rekan bisnisnya. Sekretarisnya mengikutinya dengan terburu-buru. Tampak tidak enak hati saat meminta izin duluan pada Jihan.
Jihan terdiam menatap anak tirinya yang sudah berkaca-kaca. Air mata itu nyaris tumpah sebelum ia memeluknya.
"Cat ... kita pulang."
Sama dinginnya, nada suara Jihan sama dinginnya dengan sang suami. Tampa kalimat bujukan ia hanya menggenggam tangan kecil Catrin pergi dari sana.
Catrin tentu saja merasa takut, ia belum pernah melihat ekspresi itu di wajah cantik ibu tirinya. Menjadikan ia menahan isakan yang akan keluar. Ia malah menggenggam erat tangan mamanya. Jihan berhenti dan menatapnya, seolah paham anak kecil di sampingnya sedang takut. Catrin bahkan hanya menunduk.
"Kita makan bekalnya di taman kota saja ya?"
Mendengar nada bujukan itu, Catrin mendongak. Mendapati senyum Jihan untuknya. Sontak ia ikut tersenyum dan mengangguk semangat.
Jihan hanya menahannya. Rasa nyeri yang semakin banyak. Juga pertanyaan demi pertanyaan yang terus muncul di hatinya.
.
Sudah larut malam, Jihan tidak bisa tidur. Chris belum pulang. Bahkan selama tiga malam sebelumnya, hal yang sama terjadi. Chris selalu pulang saat ia sudah tertidur. Saat Jihan bangun di waktu subuh, ia mendapati Chris tidur di kamar sebelah. Miris tentu saja. Hatinya bergejolak, hanya untuk saat ini ia masih menahannya. Tidak bertanya bukan karena takut, hanya Jihan tidak ingin apa yang ada di kepalanya adalah kenyataan.
Deru suara mobil dan pagar yang dibuka membuat Jihan bangkit dari berbaringnya. Ia keluar menuju balkon dan menatap ke bawah.
Dia pulang
Untuk sesaat Jihan menatap wajah dingin itu saat keluar dari mobil, berjalan menuju pintu rumah dan menghilang terhalang atap.
Jihan masuk kembali, membuka pintu kamarnya dan menunggu Chris naik.
"Baru pulang?"
Langkah Chris terhenti di ujung tangga, sesaat menatap Jihan dengan wajah tampa ekspresi sebelum membuang pandangannya ke arah lain.
"Sudah makan? ingin makanan di__"
"Tidak perlu," potong Chris.
Pintu kamar sebelah tertutup setelah Chris masuk. Meninggalnya mematung dengan kedua tangan mengepal.
"Apa ini?" gumamnya.
"Apa aku bagimu?" lirih Jihan.
Ia kembali masuk ke dalam, tampa menyadari ibu mertuanya berdiri di tengah tangga. Agaknya mendengar percakapan singkat mereka.
Maaf Ji ... mama hanya terlalu menyayangi cucu mama
Sorot mata sang mertua juga datar dan dingin. Ia kembali turun setelah mendengar pintu kamar utama tertutup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Yani
Kasian Jihan
2023-08-16
0
Lia liana
nyesekkk banget
2022-11-22
1
Kinay naluw
ya ampun kok dingin gitu sih sikapnya.
2022-11-07
1