Malam semakin bergulir. Rembulan pun makin menampakkan senyum tipisnya menemani jutaan bintang yang semakin riuh saling berkedip satu sama lain.
Di sebuah hotel bintang lima yang begitu megah, dua orang wanita dengan jaket coat hitam dan masker berjalan memasuki pintu masuk lobi. Naina dan Intan, berjalan dengan langkah yang tak tentu.
"Mbak Intan," Panggil Naina saat mereka telah memasuki lift.
"Kenapa Na?"
"Mbak nggak pernah masuk angin apa pakai baju kurang bahan gitu? Bolong lagi punggungnya. Nggak takut apa Mbak dikira sundel bolong?" Celetuk Naina.
"Kamu ini Na! Masih bisa ngelawak juga? Kamu nggak pernah tanya apa sama Mbak Sekar? Lagian mana ada sundel bolong dandan cantik dan modis kayak gini Na? Yang ada, orang-orang pada ngejar itu sundel bolong kalau modelannya kayak begini."
"Naina tidak pernah melihat Ibu' pakai baju kayak gitu." Jujur Naina.
Ting. Lift berhenti tepat di lantai tujuh gedung. Intan dan Naina pun berjalan keluar.
"Mbaaakk,," Naina menghentikan langkahnya dan menarik lengan Intan dengan wajah ketakutan.
"Kenapa? Tadi aja di lift bisa ngelawak, kenapa sekarang takut gitu? Jadi enggak? Ibu kamu juga udah nelepon aku dari tadi. Dia pasti tahu kamu dibawa kesini." Intan mencoba menenangkan Naina.
"Ibu tahu Naina kesini?"
"Tahu kayaknya. Tadi aku sempat dengar dia manggil kamu waktu kita berangkat dari kelab."
"Mbak, Naina takut!"
"Tapi kita udah sampai sini Na! Aku juga sebenarnya nggak tega nglepasin kamu. Sedikit banyak, aku juga tahu kamu dari cerita Mbak Sekar."
"Tapi Mbak,,"
Naina begitu dilema dengan keputusannya. Ia sungguh takut untuk melakukan hal nekat itu, tapi ia juga ingin sang nenek yang berada di ICU itu sembuh.
"Sekarang terserah kamu! Aku juga udah jelasin banyak tadi ke kamu." Ucap Intan halus.
Intan pun sebenarnya tak tega membiarkan Naina merelakan mahkotanya untuk seorang hidung belang yang bahkan belum pernah ia temui. Intan yang juga seorang 'kupu-kupu malam', sudah sangat hafal dengan semua tamu yang biasa datang ke kelab.
Tapi tidak untuk tamu khusus ini. Romo bahkan hanya mengatakan beberapa hal yang tak begitu spesifik tentang orang itu. Intan hanya tahu, ia seorang cassanova, tapi sangat rapi dalam bermain. Hingga orang-orang di sekitarnya tak banyak yang tahu tentang kebiasaan buruknya.
"Do'ain Naina ya Mbak, biar berhasil!" Celetuk Naina ditengah ketakutannya.
"Berhasil apanya? Berhasil dibobol? Aneh kamu ini!" Gerutu Intan.
"Terus gimana dong Mbak?" Sahut Naina dengan polosnya.
"Sebentar, ada telepon dari Romo!"
Intan pun segera menerima panggilan dari Romo. Naina menunggu dengan harap-harap cemas.
"Ayo, kamu udah ditunggu!" Ucap Intan setelah panggilan selesai.
Naina akhirnya berjalan dengan pasrah mengikuti Intan. Tak lama, empat orang pengawal berada di depan pintu sebuah kamar. Dua pengawal milik Romo yang tak asing bagi Intan.
"Biarkan saya yang mengurusnya, Mbak Intan bisa pergi dulu!" Ucap salah satu pengawal Romo.
"Baiklah!" Sahut Intan singkat.
"Aku pergi dulu ya Na! Dua orang ini pengawal Romo. Kamu inget dan paham kan apa yang aku bilang tadi? Jangan lupa, kacamata kuda kamu ini nanti dilepas!"
"Tapi Mbak, Naina nggak bisa lihat jelas tanpa kacamata?" Rengek Naina.
"Yaudah, nanti kamu bilang aja sama orangnya, semoga dia ngerti!" Pesan Intan sambil mengusap-usap lengan Naina. Naina mengangguk lemas.
"Yaudah, Mbak pergi ya!" Intan pun segera berjalan meninggalkan Naina bersama empat pengawal itu.
Setelah Intan memasuki lift, dua pengawal meminta Naina memasuki sebuah kamar dan nenunggu tamunya di dalam. Naina pun menurutinya dengan perasaan tak karuan.
"Ya Allah, begini ternyata kamar hotel mewah itu." Celetuk Naina seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan wajah kagum.
Lima belas menit kemudian, seseorang memasuki kamar. Naina segera beringsut mencari tempat sembunyi. Ia sungguh sangat ketakutan. Ia tak tahu seperti apa orang itu. Ia bersembunyi di balik sofa yang tadi ia duduki. Ia berjongkok sembari menutupi kepala dengan kedua tangannya. Membenamkan wajahnya diantara dua lututnya.
"Kemana dia?" Suara seorang laki-laki yang lembut namun tegas terdengar menggema di seluruh ruangan.
Tanpa Naina sadari, bagian bawah coat-nya terjuntai di lantai hingga terlihat oleh sang laki-laki. Ia berjalan menghampiri Naina. Hati Naina semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Suara langkah kaki itu semakin dekat.
"Berdiri!" Bentak laki-laki itu di belakang Naina
"Aaaa,," Naina tersentak kaget dan spontan berdiri. Hingga tanpa sengaja tangannya menyangkut kacamata miliknya dan menjatuhkannya ke lantai.
"Kacamataku?" Naina kebingungan. Ia hendak berjongkok kembali untuk mencari kacamatanya, tapi ditahan oleh laki-laki itu.
"Aku tak suka ada yang mengganggu permainanku nanti, meskipun hanya kacamata!"
"Tapi saya tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamata Tuan!" Jujur gadis pemilik kacamata silinder lima itu.
Laki-laki itu membalikkan badan Naina. Wajah Naina tertunduk dalam dan gemetar. Dia menarik dagu Naina, memperhatikan Naina dari atas hingga bawah. Naina pun mencoba mengamati laki-laki di hadapannya, tapi tanpa kacamatanya, ia tak bisa melihatnya dengan jelas. Hanya bayangan yang kabur.
"Sepertinya ini memang yang pertama untukmu." Ucap laki-laki itu santai seraya melepaskan jasnya.
Naina hanya mengangguk. "Kenapa kamu melakukan ini? Kamu terlihat ketakutan."
"Saya, saya butuh uang untuk biaya operasi nenek saya, secepatnya." Jujur Naina dengan wajah kembali tertunduk.
"Alasan klasik. Cih!" Gerutu laki-laki itu.
Naina hanya diam. Dan tanpa Naina sadari, laki-laki itu sudah melepaskan kemeja dan celana panjangnya. Andai Naina bisa melihat dengan jelas, ia akan bisa melihat dada bidang dan barisan roti sobek ditubuh sang lelaki. Ia tiba-tiba menarik tangan Naina dan membawanya ke pangkuannya.
"Berapa yang kamu butuhkan?" Ucap laki-laki itu dengan nada lebih lembut seraya membelai pipi Naina.
Naina sedikit menggeliat risih. "Saya butuh 200juta untuk operasi ginjal nenek saya."
"Baiklah! Aku akan memberimu 500juta jika kamu bisa memuaskanku malam ini."
"Tapii,,"
"Kenapa? Kau belum berpengalaman? Aku akan membimbingmu." Ucap laki-laki itu seraya membuka kancing coat Naina.
"Siapa namamu?"
"Nandini. Apa saya boleh tahu nama Tuan?"
"Just call me Mr. D."
"Tunggu Mr. D." Ucap Naina saat laki-laki itu akan melepaskan coat-nya.
Naina mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Laki-laki itu mengamati Naina yang meraba-raba jaketnya.
"Apa kamu benar-benar tak bisa melihat tanpa kacamata?"
Naina mengangguk. Ia juga telah berhasil mengambil sesuatu di sakunya. Laki-laki itu mengamati apa yang ada di tangan Naina, lalu menyeringai.
"Baiklah! Kamu memudahkanku. Minum itu dan segera kita mulai!" Ucap Mr. D dengan ringan.
Naina mematuhi perintahnya. Ia meminum sesuatu yang tadi diberikan Intan, dan sesuai petunjuk dari Intan. Apalagi kalau bukan obat perangsang. Mr. D menyunggingkan seringainya. Intan sudah mencampurkan obat perangsang dengan air untuk Naina. Ia memasukkannya dalam sebuah botol.
"Cantik juga gadis ini. Sayang sekali jika kau menjadi gadis malam seperti ini." Batin Mr. D sembari melihat Naina meminum obatnya.
"Cukup! Kau akan pingsan jika meminumnya terlalu banyak." Ucap Mr. D yang paham kondisi Naina yang tak bisa melihat jelas tanpa kacamata.
Naina pun berhenti meminumnya. Ia lantas meraba meja dan meletakkannya. Ia menundukkan pandangannya.
"Apa orang tuamu tahu kau melakukan ini?" Tanya Mr. D sembari menunggu obat itu bereaksi pada tubuh Naina.
"Saya yatim piatu Tuan, dan sekarang hanya tinggal dengan nenek saya." Jujur Naina.
"Begitu rupanya."
Mereka mengobrol sejenak. Tangan sang Cassanova pun mulai dengan lihainya melepas jaket Naina tanpa Naina sadari. Bibir sang Cassanova menyeringai ketika melihat dua benda kenyal menyembul dan menantangnya dibalik tube dress hitam Naina. Ia pun mulai membuka resleting tube dress yang Naina kenakan. Tubuh Naina tereskpos sempurna dihadapan Mr. D yang sedari tadi masih memangku Naina.
Gairah mereka mulai tersulut. Naina yang sudah berada dibawah pengaruh obat, mulai merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan gejolak pada tubuhnya.
Dan saat itulah, sang Cassanova mulai mencium bibir tipis Naina dengan lembut. Naina yang belum pernah melakukan hal seperti itu, masih diam terpaku sembari menahan gejolak hasrat yang mulai menguasai tubuhnya.
"Buka mulutmu! Lakukan seperti yang aku lakukan!" Bisik Mr. D dengan lembut.
Naina pun menuruti permintaan Mr. D. Ia mulai membuka mulutnya dan membalas ciuman sang Cassanova yang telah mahir melakukannya. Tangan Naina pun mulai mengalung di leher laki-laki yang memangkunya. Entah dari mana ia belajar itu.
Sang Cassanova mulai melancarkan aksinya. Ia mulai melepaskan pakaian Naina yang masih menempel ditubuhnya. Dan dengan cepat membopong Naina ke ranjang double king size yang ada di kamar itu.
Sang Cassanova pun melepaskan sisa pakaian yang masih ia kenakan. Dan langsung memulai pergulatan mereka di atas ranjang itu.
Setelah foreplay yang cukup menantang, dengan sebuah jeritan dari bibir Naina, akhirnya sang Cassanova berhasil membobol gawang sempit Naina yang belum pernah tersentuh lelaki manapun dengan beberapa kali hentakan. Dan darah pun menodai sprei yang menjadi alas mereka bergulat saat ini. Dan itu juga menjadi bukti bahwa Naina benar-benar masih perawan dan kini ia telah kehilangan hal itu.
Naina yang polos, akhirnya bisa mengimbangi permainan sang Cassanova yang sudah sangat ahli karena pengaruh obat.
Bagaikan sepasang pengantin baru, mereka melakukannya lebih dari satu kali. Entah berapa kali mereka melakukannya hingga Naina kelelahan dan akhirnya mereka tertidur bersama.
Di sisi lain, Sekar kini sedang berurusan dengan pihak keamanan hotel karena telah membuat kegaduhan di dalam hotel. Ia memaksa masuk ke salah satu kamar di lantai tujuh. Ia mendapat informasi itu dari Intan.
Sekar sudah dihalangi oleh beberapa pengawal Romo, tapi ia tetap memaksa masuk dan membuat keributan. Akhirnya pihak keamanan hotel mengamankannya. Ia dibawa ke kantor polisi dan ditahan disana.
"Maafkan Ibu Naina! Ibu tak bisa menjagamu, hiks, hiks. Ibu terlambat nak!" Rintih Sekar ketika berada di dalam tahanan sementara.
Hingga pagi pun menjelang. Di dalam kamar hotel, sang Cassanova terbangun lebih dulu. Ia menatap wajah cantik Naina yang masih terlelap di sampingnya.
"Aku tak akan melupakanmu!" Cup. Sang Cassanova mengecup bibir Naina lembut.
Sang Cassanova segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia lalu berpakaian dan tak lupa menuliskan sebuah cek sesuai janjinya untuk Naina. Ia menyelipkan cek itu dalam saku jaket Naina. Ia pun megambil kacamata Naina yang terjatuh dan meletakkannya di atas meja bersama ponselnya. Ia lalu pergi keluar kamar meninggalkan Naina yang masih tetap terlelap.
Saat sampai di depan kamar, sang Cassanova bertemu dengan seseorang. Mereka sama-sama 'Pemain Ahli'.
"Hai De, kamu ngapain di sini?" Sapa sang Cassanova.
"Sialan! Dia ngapain di sini? Kalau sampai aku ketahuan merawanin adiknya, tamat riwayatku!"
"Kamu juga ngapain di sini?" Sahut laki-laki yang juga baru keluar dari kamar yang berhadapan dengan kamar sang Cassanova sembari menutupi kepanikannya.
"Kita sepertinya sama." Sahut Mr. D santai.
"Hhahaha,," Tawa dari dua cassanova pun membahana di sepanjang lorong yang ada di lantai tujuh.
Mereka akhirnya berjalan bersama untuk turun dan meninggalkan hotel.
Seperginya Mr. D, Naina mulai bangun. Ia merasakan tubuhnya hancur remuk redam tak karuan. Sakit disana sini. Ia mencari keberadaan sang Cassanova, tapi tak menemukannya ketika ia memanggil-manggilnya. Air matanya mulai menggenang ketika melihat bercak darah di sprei dibawahnya.
Ponsel Naina berdering. Ia berusaha turun dari ranjang perlahan dengan menarik selimut, dan meraba-raba untuk menemukan sumber suara. Ia menemukan yang ia cari tepat diatas meja. Ponsel dan kacamata.
"Iya Bu'. Ibu dimana?" Tanya Naina ketika panggilan telah tersambung.
"Kamu dimana Na? Masih di hotel?"
"Iya bu', dikamar 778."
"Yaudah, tunggu Ibu! Ibu kesana sekarang!"
Panggilan pun langsung terputus. Naina perlahan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia pun mulai menangis tersedu-sedu di kamar mandi. Ia sebenarnya sungguh tak rela menjual tubuhnya. Tapi demi kesembuhan sang nenek, ia berusaha bertahan menahan sakit hati dan fisiknya saat ini.
"Aku harus segera ke rumah sakit! Agar Uti segera dioperasi." Gumam Naina setelah puas menumpahkan tangisnya. Ia harus kuat, demi orang yang selama ini telah merawat dan menjaganya setelah kedua orang tuanya tiada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments