Perdana. Rafa menggoreng ayam sisa tadi siang yang Cantika masukkan ke dalam freezer. Lumayan untuk mengganjal perut keroncongan makan-makan begini. Satu sisanya bisa ia pakai untuk sarapan. Lumayan juga akan menghemat sedikit jatah hariannya yang hanya tujuh puluh ribu. Paling tidak, jika Rafa makan ayam goreng di pagi hari, siangnya atau malamnya ia bisa makan lumayan enak. Atau nongkrong di kafe sambil menikmati angin malam yang cukup ia rindukan.
Malam ini Rafa memutuskan begadang. Ada pertarungan sengit antara Juventus dan Madrid di Laga Eropa dini hari ini. Kurang dari satu jam lagi. Lantaran malas jika harus kembali ke dapur lagi nanti, Rafa memilih sekalian menyeduh kopi hitam sebagai teman begadangnya.
Selesai menyiapkan semuanya, Rafa duduk di bawah kasurnya, meletakkan sepiring nasi hangat, ayam goreng, tumis kangkung sisa tadi sore, sambal sisa tadi sore juga, sebotol air putih dan secangkir kopi hitam. Sambil menyuap, ia duduk di depan televisi yang menayangkan berita kriminal tengah malam.
Seorang anak yang memutilasi ibunya sendiri. Rafa bergidik ngeri melihat mata si pelaku. Perempuan, cantik tapi tak ada peri kemanusiaannya. Mengapa ada manusia setega itu? Padahal ia terlahir dari rahim ibunya. Mengandung sembilan bulan, memberi ASI hingga menjelang enam bulan bukanlah hal yang mudah.
Rafa, cuek-cuek begini, tak pernah membentak Mamanya sejak kecil. Bahkan ia tergolong anak penurut dan pekerja keras. Tak peduli pada omongan orang tapi selalu mendemgarkan nasihat Mamanya.
Jika waktu bisa diputar, Rafa sangat ingin menghabiskan waktu bersama Mamanya lagi. Dulu, ia sangat dekat dengan Mamanya. Ekonomi keluarga yang pas-pasan, membuat Rafa harus berjualan semasa sekolah. Jualan apa saja, untuk bantu-bantu menambah uang makan keluarga. Ayahnya tak punya pekerjaan tetap. Hanya seorang pedagang kopi di Universitas dekat rumahnya. Lumayan ramai sebenarnya, tapi semenjak Ayahnya tertabrak mobil ketika pulang jualan, malam-malam pukul sebelas, semuanya berubah. Mobil brengsek itu melarikan diri, tak bertanggung jawab meninggalkan Ayah Rafa terjatuh dan tulang kakinya patah karena terjatuh dan tertindih motor serta barang dagangannya.
Hal itu membuat keuangan keluarganya berantakan. Bahkan Rafa yang masih SMP harus ikut putar otak untuk menyambung hidup keluarganya. Ayahnya yang harus diamputasi dan adiknya yang masih SD. Akhirnya, Mamanya melanjutkan pekerjaan Ayahnya berjualan minuman di universitas, buka jam delapan dan tutup jam sepuluh malam. Sedangkan Rafa menjual gorengan buatan Ayahnya di sekolah. Lumayan, sehari bisa dapat delapan puluh ribu rupiah.
Tapi, tentu saja uang delapan puluh ribu dipakai untuk modal lagi tiga puluh ribu, sisanya untuk beli nasi dan lauk seadanya. Serta dikantongi Rafa dan adiknya sebagai uang jajan.
Mengingat itu membuat Rafa jadi tak ***** makan. Ia meletakkan piring yang nasinya masih tersisa setengah. Rafa sedih, tapi... ia tak seharusnya begini. Yang sudah berlalu biarlah menjadi masa lalu. Mereka semua telah tiada. Sekarang, Rafa di sini. Sendirian dan berhasil menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Hidup enak, makan enak, pendapatan besar. Tapi, Rafa sendirian.
Lelaki itu membereskan piring bekasnya sekaligus mencucinya. Agar esok pagi ia tak lagi repot sekaligus berusaha membuang jauh-jauh ingatan masa lalunya yang menyedihkan. Kembali ke kamar, rupanya acara yang di tunggu-tunggu sudah mulai. Rafa naik ke atas ranjang, merebahkan badan sambil asik memandang layar televisi.
***
Cantika membolak-balik tubuhnya di atas ranjang. Ia tak bisa tidur meski tubuhnya lelah. Setelah pulang kuliah malam jam sebelas tadi. Semenjak bekerja dengan Rafa, Cantika memang kuliah malam. Masuk pukul setengah tujuh dan selesai pukul sepuluh malam. Sejak tadi Cantika merasa pikirannya penuh. Terutama ketika tahu sebentar lagi Akan UTS. Artinya ia butuh uang untuk dapat mengikuti UTS. Paling tidak ia harus melunasi lima puluh persen dari uang semesternya yang baru ia bayar dua puluh persen.
Tiga juta lagi. Paling tidak ia butuh uang segitu untuk dapat mengikuti UTS yang akan dilaksanakan bulan depan. Cantika tak mungkin minta uang kepada Papanya yang sedang pusing mencari pinjaman sana-sini untuk membayar hutang-hutangnya. Apalagi, Mamanya. Jelas itu bukan pilihan yang tepat. Jika ia nekat minta ke Mamanya, yang ada ia akan disemprot habis-habisan. Akhir-akhir ini Mamanya sering sekali marah-marah, kepada siapa saja. Jangankan dirinya sebagai anak, Ayahnya saja selalu kena semprot jika minta makan yang aneh-aneh.
Jika dilihat dari nominal gajinya, sebetulnya cukup untuk melunasi tiga juta tersebut. Tapi, apakah sisanya akan cukup untuk keperluan sebulan dan uang jajan adiknya? Akhir-akhir ini, adiknya sering mengeluh jika hanya diberi uang jajan lima ribu oleh Mama. Padahal adiknya sudah SMA. Uang lima ribu hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi saja. Karena kasihan, Cantika meminjam uang Rafa yang ia pegang sebesar seratus lima puluh ribu untuk uang jajan adiknya dan sisanya untuk uang bensin dirinya.
Cantika merasa sangat bersalah karena telah melakukan hal yang salah karena tidak meminta izin kepada Rafa. Tapi, Cantika berjanji akan mengembalikan uang itu jika sudah gajian. Bahkan Rafa boleh memotong dari gajinya jika mau.
Pintu kamar Cantika diketuk, membuat Cantika tersadar dari pikirannya yang sangat banyak. Ia menbuka pintu kamarnya, mendapati Karina, adiknya yang langsung menghambur masuk. Menutup pintu, Cantika ikut masuk dan duduk di atas ranjang.
" Kak," intonasi Karina terdengar gelisah.
" Ada apa?"
" Kak, Karina mau try out pertama bulan depan."
Pikiran Cantika kembali penuh. Bayar UTS, memberi uang jajan, bayar Try Out, setelah ini apa lagi?
" Tapi, SPP Karin bulan ini belum bayar."
Cantika pusing. Karin sekolah di SMA swasta yang sebenarnya biaya SPP-nya standar. Dua ratus ribu sebulan. Masalahnya, jika bulan depan Try Out, artinya Karin harus membayar uang SPP bulan lalu dan bulan depan serta biaya Trus Outnya juga.
" Kamu udah bilang sama Mama?"
Karin mengangguk sambil menunduk.
" Apa Mama bilang?"
" Karin harus nerima lamaran Om Michael yang ngasih pinjeman uang ke Ayah sampai ratusan juta."
Cantika menelan ludah. Benar-benar keterlaluan Mamanya. Masa iya Karin yang bahkan belum lulus sekolah mau dijadikan Istri ketiga dari renternir mata keranjang itu? Astaga, Cantika tak habis pikir.
" Udah bilang sama Ayah?"
Karin mengangguk lagi, " Ayah bilang cari pinjaman dulu. Kalau perlu, Ayah mau ke sekolah buat minta dispensasi."
Syukurlah. Meski sedang dilanda masalah besar, Ayahnya masih bisa mengontrol diri untuk tidak menjodohkan anaknya dengan rentenir mata keranjang macam Om Michael.
" Tapi, kalau dispensasi... kan malu. Kartunya beda sendiri."
Cantika membaringkan tubuh, dan menghitung penghasilannya bulan depan dalam hati, " Karin, kakak bakal usahain supaya kamu nggak perlu dispensasi."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments