Semilirnya angin malam menyusup melalui sela-sela dinding anyaman bambu yang tidak tertutup sempurna.
Hawa dingin menusuk membuat ngilu persendian. Anita meringkuk di atas dipan bambu memeluk foto Ayah dan Ibunya.
Tubuhnya terasa dingin, diam tak bergerak. Entah karena hawa dingin yang dia rasakan, atau karena tidak mau mendengar decitan dipan bambu yang dia tiduri meronta.
'Ayah, Ibu, Tata kangen. Tata tidak sanggup hidup seperti ini terus.' Rengeknya dalam hati.
Isak tangisnya masih terdengar berat bersuara. Sesekali dia menghela nafas panjang, seakan ingin mengurangi beban yang ada.
Anita bukanlah seorang yang pemalas. Dia juga anak yang cerdas. Namun sayang, keterbatasan ekonomi membuat dia harus belajar tanpa mengenal bangku sekolah.
Belajar bersama, bertemu banyak teman di sekolah, tidak lagi dia rasakan sejak lulus Sekolah Dasar.
"Tidak Pak ! Hidup kita sudah susah, jangan ditambah susah ! Pokoknya Ibu tidak setuju kalau anak itu meneruskan sekolah SMP !" Maki Bulek kepada Paklek waktu itu.
"Tapi Buk, ini amanah dari Almarhum Ayah dan Ibunya. Lagipula Ibu juga sudah menikmati sisa peninggalan kedua orangtuanya." Bujuk Paklek kekeh.
"Ibu tidak peduli, memangnya dia tinggal bersama kita, tidak butuh makan apa. Yang jelas Ibu tidak setuju kalau anak itu menjadi beban dalam hidup kita. Titik !" Bentaknya lagi.
Hanya tetesan air mata yang bisa mewakili protesnya waktu itu. Anita hanya bisa pasrah dan menerima keadaan dengan ikhlas.
Anita segera mendekati Paklek Arman setelah kepergian Buleknya. Di ruang tengah itu, dia melihat Pakleknya duduk diam bersandar di sebuah sandaran kursi rotan
"Tata gakpapa Paklek, Tata akan bantu Bulek berjualan saja." Ucapnya seakan mengerti apa yang sedang Pakleknya pikirkan.
"Maafkan Paklek Nduk, Paklek tidak bisa berbuat apa-apa untukmu." Kata Paklek sembari memeluk tubuh mungil Anita kecil.
Sekarang, dia bukan lagi Anita kecil yang cengeng. Usianya sudah menginjak masa remaja. Namun terkadang rasa sakit di dalam hati membuat dia harus menumpahkan air mata.
Seperti malam ini, dia berbaring meringkuk di atas dipan tanpa alas. Sesalpun tak ada gunanya, hanya derai air mata yang mewakili kesal di dalam hatinya.
Lelah yang dia rasakan tidak menyulutkan semangatnya untuk tetap berkarya.
'Uhh... kenapa aku tidak bisa tidur, padahal aku harus bangun pagi-pagi betul. Kalau tidak, Bulek akan marah lagi kepadaku.' rintihnya saat matanya tak mampu lagi terpejam dengan nyenyak.
Ya, sudah menjadi aktivitas rutinnya. Setiap jam tiga dini hari, Tata harus bangun, membuat adonan kue puthu dan menyiapkan sarapan untuk keluarga Paklek Arman.
Rutinitasnya setiap hari, lebih dari seorang pembantu. Belum lagi tugas bersih-bersih, mencuci dan merapikan pakaian, setelah itu dia juga masih harus berjualan.
'Sampai kapan aku hidup seperti ini.' Keluhnya lagi.
Membayangkan hari-harinya yang begitu rumit, membuatnya perlahan memejamkan mata.
Mencoba meraih mimpi dalam tidur singkatnya. Meskipun terkadang di dalam mimpipun dia rasakan sakitnya penderitaan. Namun dia tetap tegar menghadapi kenyataan.
***
Kriinggggg.....!
Alarm yang sejak hari - hari lalu sudah dia atur, telah membangunkan dia tepat pada waktunya.
Telinganya mendengar, namun matanya masih enggan untuk tersadar. Digantikan oleh gerakan tangannya yang mematikan sumber bunyi yang selalu setia membangunkannya.
"Tata !"
"Berisik !"
"Bisa dimatikan gak !"
"Gak lihat apa, kalau masih larut malam !"
Teriak Bulek dan Astrid bergantian.
Glodiaakkkk ... !
"Astagfirullah." Ucap Tata kaget, saat mendengar suara benda tumpul dilempar ke arah pintu kamar. Entah itu Astrid atau Bulek yang melakukannya.
"Ya Allah, aku telat bangun." Ucapnya lirih.
Dengan tergesa-gesa, dia ambil air wudhu. Sudah menjadi kebiasaan, sebelum melakukan aktivitasnya, dia bersujud di sepertiga malam, untuk memohon belas kasihan. Karena hanya kepada - Nya, dia minta pertolongan.
Semua sudah beres, saat mentari mulai memamerkan sinarnya. Rumah yang tadinya hening, gini mendadak ribut, karena kebiasaan penghuninya.
Entah apa yang mereka ributkan. Terkadang terdengar teriakan Astrid yang mencari sesuatu, atau mungkin umpatan Bulek yang menjadi kebiasaan buruknya.
Kalau sudah begitu, Tata memilih untuk kembali ke kamarnya. Menunggu kepergian mereka masing-masing. Hanya Paklek yang duduk, diam menikmati secangkir kopi dan sarapan pagi sebelum bekerja.
"Nduk, Paklek pergi dulu ya. Jaga dirimu baik-baik." Pamit Paklek pagi itu.
"Paklek mau kemana ?"
"Paklek ada pekerjaan di luar kota. Mungkin sebulan sekali Paklek pulang." Jawabnya.
Paklek Arman seorang tukang bangunan. Perusahaan properti tempat dia bekerja selalu memintanya untuk berpindah-pindah tempat, sesuai proyek yang ada.
"Inggih Paklek, Paklek juga hati-hati disana. Selalu jaga kesehatan." Pinta Anita.
"Halah, gak usah banyak basa-basi. Itu Astrid sudah menunggu. Jangan sampai terlambat sekolahnya nanti !" Teriak Bulek dari luar.
"Sudah ya, Paklek tinggal. Ini ada sedikit rezeki gunakan sebaik-baiknya, untuk keperluanmu sendiri."
"Tapi Paklek."
"Sudah, jangan kebanyakan tapi. Keburu ketahuan Bulekmu."
Anita segera melipat dan menaruh uang saku pemberian Pakleknya itu di bawah tumpukan bajunya.
Namun, memang nasib malang selalu berpihak padanya.
"Buk, ibuk." Panggil Astrid antusias.
"Apa kamu ini, bukannya lekas berangkat sana."
"Ssstttt...jangan keras-keras, tadi Astrid lihat, Bapak kasih uang ke anak parasit itu." Info Astrid kepada Ibunya.
"Apa !"
"Ssstttt...nanti saja Ibu tanya kalau aku sama Bapak sudah berangkat."
Dengan wajah geram, Bulek tak sabar ingin menegur keponakannya.
"Astrid, ayo berangkat, nanti keburu telat."
"Iya Pak !" Teriaknya.
"Astrid berangkat dulu ya Buk, jangan lupa bagi-bagi. Uang tutup mulut, hehehe..." Ucapnya sambil berlalu. Tanpa salam tanpa permisi kepada ibunya.
"Dasar anak mata duitan." Umpat ibunya.
Setelah memastikan suami dan anaknya pergi jauh dari rumah, Bulek segera menghampiri Anita di kamarnya.
"Hei, anak pembawa sial ! Mana tadi uang yang dikasih Paklekmu !" Tanya Bulek to the poin.
"Uang apa_"
"Halah, tidak usan bohong. Sini kasih ke Bulek." Ucapnya memotong.
"Tapi Bulek_"
Belum sempat Anita memberikan penjelasan, Bulek sudah mengacak-acak isi kamarnya. Isi lemari jadi sasarannya. Baju yang sejak tadi susah payah dia lipat, gini berantakan tidak karuan.
"Coba dari tadi kamu tidak membantah, pasti tidak begini jadinya." Ucapnya setelah menemukan apa yang dia cari.
Tata hanya bisa diam dan pasrah dengan apa yang Buleknya lakukan. Seperti biasa, dia kembali ke dapur. Menengok kukusan yang tadi sempat dia tinggal.
Sesudah dirasa matang, dia angkat dan dia kemas ke dalam sebuah wadah. Tidak lupa dia cantumkan lebel 'Putri Ayu' di atasnya.
"Mau kemana kamu !" Tegur Bulek saat melihat keponakannya keluar membawa sebuah keranjang.
"Tata mau jualan Bulek."
"Bagus, jangan pulang sebelum membawa uang."
Kata-kata itu seolah sudah terpatri di pendengarannya. Dia berlalu meninggalkan rumah yang penuh penderitaan itu untuk mencari suasana yang lebih tenang.
__________________
__________________
__________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments