Pagi menjelang, aku masih terisak di samping tuan Aldrich, menutupi tubuhku dengan selimut warna putih. Saat itu jam menunjukkan pukul 09.00 pagi waktu Singapura.
Samar perlahan tuan Aldrich mulai membuka mata. Kaget melihatku menangis, "Jane."
"Kenapa pagi-pagi kamu menangis di tempat tidurku, apa yang sudah terjadi semalam?" tanyanya seolah tak terjadi apa pun. Batinku makin sakit saat itu.
Aldrich berusaha mengingat kejadian semalam, dan pria ini menepuk jidatnya kasar, setelah berhasil mengingat semua nya.
"Untuk yang terjadi semalam lupakan lah," ujarnya santai.
Aku berlari ke kamar mandi menumpahkan tangisku dibawah guyuran derasnya air dari shower. Membungkam mulut dan menangis sekencangnya di dalam sana.
*****
Satu bulan kemudian....
Satu bulan berlalu sejak peristiwa yang terjadi di Singapura. Pagi ini entah mengapa perutku tiba-tiba terasa mual sekali, badan serasa lemas tak bertenaga. Namun karena tuntutan profesi, kupaksa untuk tetap bekerja.
Aku harus menyerahkan file yang aku rekap semalam, dan menyerahkannya kepada tuan Aldrich.
"Selamat pagi, Tuan. Ini rekapan berkas yang Anda minta," ucapku menyodorkan tumpukan kertas dari dalam map warna kuning, di atas meja beliau.
"Letakkan saja!" sahutnya datar, seperti biasa tanpa menoleh ke arahku. Dan aku tak ambil pusing segera meninggalkan ruangan tersebut.
Langkah kaki yang sudah sampai di depan pintu terhenti seketika, perutku kembali terasa mual. Bahkan kepalaku terasa pusing sekali, semua di sekeliling terasa gelap. Keringat dingin mulai menyapa, untuk beberapa saat aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.
****
"Apa, hamil?" pekik pria yang telah merenggut kesucian ku.
Aku hanya bisa mendengar samar-samar semua percakapan pria itu dengan dokter yang memeriksaku. Karena tubuhku masih lemas.
Bahkan aku pun sempat mendengar pria itu menyuruh dokter untuk menggugurkan janin yang ada dalam rahimku, "Begitu kejamnya kau Tuan Aldrich, janin ini adalah darah daging mu," gumamku menjerit pilu batinku.
Setelah sadar aku kembali pulang ke apartemen dengan di antar oleh tuan Adam, sopir sekaligus asisten pribadi tuan Aldrich.
"Ini tidak boleh terjadi, kau sungguh bodoh Aldrich," gumam pria itu berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya.
Tepat satu Minggu setelah tuan Aldrich mengetahui kabar kehamilanku, pagi itu aku kembali bekerja. Namun sayang meja kerja ku telah diisi sosok wanita lain, entah siapa.
"Permisi, Tuan. Kenapa meja saya telah diisi karyawan lain, apa saya di pindahkan divisi?" tanyaku memberanikan diri.
Tiba-tiba sebuah amplop coklat ia sodorkan ke arahku. Aku pun membukanya dan ternyata adalah surat pemberhentian kerja, sungguh kaget diriku saat itu. Namun aku masih mencoba berpikir positif atas semua yang terjadi saat itu.
"Tinggalkan kantor ini!" usirnya, seolah aku seonggok sampah yang tak berguna di matanya.
"Baik, Tuan. Terima kasih sudah diterima dengan baik bekerja di perusahaan ini selama ini," pamitku tanpa sadar menetes air mata di pipi.
Langkahku seakan lunglai, namun terus berusaha tegar tetap melangkah untuk kehidupanku yang sudah hancur.
Malam harinya di apartemen, sesosok pria bertubuh tegap mengetuk pintu, aku pun mencoba bangun membukanya, "Siapa Anda?" tanyaku kaget.
Tiba-tiba, "Emmm...., emmm....,emmm...." aku tak sadarkan diri.
Ternyata aku di buang oleh tuan Aldrich jauh di negara Jerman.
*****
Tujuh tahun kemudian....
"Alexander, Mommy berangkat kerja dulu ya sayang. Jangan nakal, ingat kunci semua pintu, jangan di buka siapa pun itu kecuali Mom," pamitku pada putra kesayanganku.
"Okay Mom," jawab bocah berusia tujuh tahun itu menirukan logat ke barat-baratan.
Seperti biasa sebelum aku pergi bekerja, Alexander selalu menghadiahiku sebuah kecupan di keningku.
"Horeee....," teriak bocah itu kegirangan. Bergegas menuju kamarnya dan meraih laptop yang selalu ia pergunakan untuk bermain game, setiap aku berangkat bekerja.
Namun bukan game seusia dia yang dibukanya, melainkan channel tentang sains, pelajaran matematika serta beberapa pelajaran yang secara nalar belum saatnya untuk ia pelajari.
Alexander tampak mengamati dengan seksama semua yang ia lihat dan dengan begitu cepat otaknya mampu merekam semua yang ia pelajari tiap harinya.
"Sepertinya ini menarik, pasti banyak permainan di sana," celetuk Alexander, tangannya tiba-tiba mengulik sebuah laman web yang berisikan beberapa soal ujian seleksi masuk sebuah perguruan tinggi ternama di Jerman, yaitu Universitas Teknologi Berlin.
Dengan cepat bocah itu menggulir tombol mouse di tangannya. Hanya dalam hitungan sepuluh menit, lembar soal yang berisikan seratus soal acak mampu dikerjakan secepat kilat.
"Yes, pekik bocah berusia tujuh tahun itu. Terlihat bersemangat.
****
Satu Minggu kemudian....
Saat Jane berangkat kerja seperti biasanya, Alexander pun bergegas meraih laptop dan menghabiskan waktu bermain dengan laptop tersebut.
Sebuah balasan email dari sebuah perguruan tinggi di Berlin yang sempat ia buka laman situsnya, "Selamat, Alexander Audrey Barayeve telah diterima masuk di Perguruan Tinggi Teknologi Berlin, dengan nilai tertinggi."
Begitulah kira-kira bunyi email balasan yang masuk.
"Apa benar, mereka menerimaku masuk di sana, pasti ada banyak teman-teman untuk bermain game yang seru," gumam bocah tujuh tahun tersebut, masih menatap laptop di atas pangkuannya.
Tanpa menunggu lama, bocah kecil ini menaiki taksi, pergi ke Perguruan Tinggi Teknologi Berlin.
"Permisi, saya ingin bertemu dengan Bapak Dekan kampus ini, dimana kah ruangannya?" tanya Alexander kepada salah satu dosen.
"Hei anak kecil, ada perlu apa kamu mencari Bapak Dekan?" tanya dosen dengan wajah mentertawakan.
Bocah kecil itu memperlihatkan laptop yang ada di tangannya kepada dosen tersebut, betapa kaget nya sang dosen yang berdiri di depan Alexander itu. Mulutnya menganga dan kedua bola matanya membola.
Sang dosen segera membawa bocah ajaib itu menemui Dekan.
"Selamat pagi, Pak. Maaf, salah satu calon Mahasiswa baru ingin bertemu dengan Anda," ujarnya sopan.
Dekan yang sudah berusia setengah abad lebih itu mengamati Alexander yang berdiri di depannya dengan memeluk laptop.
"Mana calon Mahasiswa baru yang kamu maksud?" tanya Dekan.
Dosen yang berdiri di depan sang Dekan menunjuk ragu Alexander.
"Apa? apa kamu main-main, dia masih anak kecil bagaimana mungkin menjadi calon Mahasiswa di kampus ini, tidak sembarang orang bisa lolos seleksi," ujarnya mencibir melihat Alexander.
Bocah ajaib itu menyodorkan laptop dan memperlihatkan balasan email yang dikirim dari pihak kampus kepadanya. Betapa terkejut sang Dekan membacanya.
"Tidak mungkin," sanggah sang Dekan.
Bocah ajaib duduk di depan meja sang Dekan dengan percaya diri, "Berikan kepadaku soal tersulit yang belum bisa dipecahkan oleh Dosen atau murid Anda!" tantang bocah ajaib itu dengan wajah santai.
Mendengar tantangan yang diminta Alexander, Dekan dan Dosen saling bersitatap. Mengernyitkan dahi masing-masing.
Dan sang Dekan memberinya beberapa lembar soal seperti permintaan bocah ajaib itu. Mengagetkan kembali ternyata, hanya dalam waktu tidak sampai satu jam. Semua soal yang selama ini sulit dipecahkan oleh para Dosen, berhasil dijawab oleh Alexander.
"Waouw.... spektakuler," puji sang Dekan mengoreksi semua jawaban bocah ajaib di hadapan nya itu.
"Anak ini jenius sekali, baiklah Alexander. Mulai hari ini kamu diterima kuliah di kampus ini. Semoga kejeniusan kamu ini, bisa membawa nama baik serta pengaruh yang bagus untuk kampus kita ke depannya nanti," ujar sang Dekan.
Semenjak saat itu lah Alexander menjadi Mahasiswa termuda sepanjang sejarah.
****
BERSAMBUNG....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
GRANDOM
cowo nya hebat amat sekali tembak langsung bunting 😂😂
2022-02-14
1
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
😭😭😭😭kasihan jane
2022-01-18
0
Langitⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈N⃟ʲᵃᵃ࿐
😥😥😥
2022-01-18
0