Berjalan perlahan setelah turun dari motor Lisa tak terasa aku telah sampai di depan rumahku. Rumah mungil peninggalan ayahku dengan pagar besi warna hitam yang mulai mengelupas. Sampai depan pagar aku merogoh saku tasku untuk mengambil kunci rumah. Kubuka pintu rumahku kemudian langsung menuju kamarku.
Dirumah ini, aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayahku sudah wafat saat aku berusia 8 tahun. Ayahku wafat dalam menjalankan tugasnya melindungi negara. Beliau adalah salah satu anggota Tentara Nasional Indonesia. Saat itu beliau ditugaskan ke Indonesia bagian timur yakni Papua untuk turut serta menjaga perdamaian akibat konflik dengan Organasasi Papua Merdeka (OPM). Beliau tertembak oleh anggota OPM dan menghembuskan nafas terakhir disana.
Jasadnya dibawa kembali ke Pasuruan untuk dikebumikan. Saat ayah dikebumikan tak ada yang bisa aku dan ibu lakukan selain menangis. Ibu menangisi bagaimana nasib kami ke depannya, sementara aku menangis karena kehilangan sosok seorang ayah. Uang tunjangan gugurnya ayah saat menjalankan tugas yang kami terima dari pemerintah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami selama tak lebih dari 2 tahun. Saat uang mulai menipis, terpaksa ibuku bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
Ibu bekerja sebagai salah satu buruh di perusahaan garment kecil milik Pak Darma Wiratmaja, ayah dari Deni. Sumber kekayaan keluarga Wiratmaja bukan hanya dari pabrik garmentnya, tetapi juga dari jasa pinjaman finansial dengan bunga tak masuk akal. Bunga per bulan yang disyaratkan adalah 10% dari total peminjaman, jadi semakin lama tenor pinjaman tentu semakin tinggi pula bunga yang harus di bayarkan. Rata-rata yang melakukan pinjaman pada Pak Darma adalah pegawai pabrik garmentnya sehingga jika tidak dapat mencicil hutang Pak Darma tidak segan-segan memotong gaji orang tersebut apapun alasannya.
Jam menunjukkan pukul 11.50 siang saat aku memasuki kamarku. Aku segera mengganti baju seragamku dengan baju santai. Kemudian aku berbaring untuk melepas penat sambil mengirimkan pesan singkat pada Ryo bahwa aku telah tiba di rumah. Aku memang tak pernah membawa ponsel sederhanaku ke sekolah karena bagiku sekolah tempat untuk menuntut ilmu sekaligus tempat awal mula aku merajut mimpi. Mimpi untuk melepaskan desa ini dari cengkeraman keluarga Wiratmaja.
Setelah saling berkirim pesan dengan Ryo aku menuju dapur untuk mengambil makan siang. Ibuku baru akan pulang pukul lima sore nanti, jadi aku selalu makan siang sendiri. Selesai makan siang aku belajar sampai sore, mengulang pelajaran yang aku dapat dari guruku tadi. Menjelang ashar aku akan membersihkan rumah kemudian membersihkan diri. Kemudian aku akan menyiapkan untuk makan malam. Begitulah rutinitasku tiap harinya sejak ibuku mulai bekerja. Aku mulai belajar memasak secara otodidak dari majalah-majalah resep. Sejak ibu bekerja beliau tak pernah memasak karena terlalu lelah bekerja dari pagi sampai sore hari. Semenjak itu pula, Ibuku hanya bertugas mencari nafkah dan aku yang mengurus urusan domestik di rumah.
Pukul 17.20 ibuku sampai di rumah. Begitu membuka pintu rumah ibuku langsung mengomel padaku, mengeluh bahwa ia lelah seharian duduk di depan mesin jahit.
"Wulan, kenapa kau tak pernah membalas pesan dari Deni? Deni titip salam, agar pesannya kau balas," kata ibuku dengan nada tidak menyenangkan. Ibu mendukung Deni untuk mendekatiku.
"Ck. Kurang kerjaan Bu! Malas aku meladeni dia." jawabku sengit.
"Membalas pesan Deni kau malas, keluyuran dengan pria miskin itu kamu giat sekali!" balas ibuku tak kalah sengit.
"Sudahlah Bu, aku malas berdebat. Ibu segeralah mandi lalu kita makan malam. Aku sudah menyiapkan balado telur untuk makan malam. Aku banyak tugas." Kataku lelah karena enggan berdebat.
Ibu langsung menuju kamarnya setelah aku berkata demikian. Mungkin beliau juga lelah karena seharian bekerja mencari nafkah.
Setelah ibuku mandi, kami berdua makan malam dalam diam. Selesai makan malam aku membereskan meja lalu mencuci piring. Ibu langsung kembali ke kamarnya setelah makan malam. Beliau bilang bahwa dia lelah dan akan langsung tidur.
Setelah mencuci piring aku kembali ke kamarku. Seperti yang aku katakan pada ibuku tadi, selepas makan malam aku mengerjakan tugas karena memang banyak tugas Ekonomi Akuntansi dari guruku tadi, tugas analisis laba rugi untuk sebuah usaha mikro. Butuh dua jam aku menyelesaikan tugas tersebut.
Otakku panas menghitung uang "setan" tadi. Disebut "setan" karena tak berwujud, begitulah kami anak-anak IPS menyebutnya. Untuk mendinginkannya aku membuat es cappucino. Aku menikmati segelas es tersebut sambil berkirim pesan dengan kekasihku.
Aku : "Lagi ngapain yank? aku baru selesai ngerjain tugas, lagi nikmati es cappucino. Otakku panas 😁"
Beberapa saat kemudian Ryo membalas pesanku.
Ryo : "Hhmmm enak tuh es-nya 🤤. Aku baru selesai ngerjain tugas Fisika. Sama, otakku juga panas. Tapi panas karena mikirin kamu."
Aku : "Sini kalau mau. Hihihi. Hayoo mikir apaan? Ga boleh mikir jorok lho ya! Ingat mimpi kita."
Ryo : "Kan cuma mikir 😋. Ga sabar besok yank. Udah dua bulan kita ga nonton. Motto 'harus hemat dan nabung' membuat masa pacaran kita sengsara 😂"
Aku : "Tidak mengapa sengsara sekarang, demi masa depan. Kita sama-sama ga mungkin mengandalkan orang tua kita untuk membiayai kuliah"
Ryo : Iya yank. Aku sayang kamu. Buruan tidur, sudah malam. Mimpiin aku ya 😘"
Aku : "Iya, aku juga sayang kamu Ryo Anggoro, pria terbaik yang aku kenal. Have a nice dream 😘"
Aku mengakhiri rutinitas malam sejak aku berpacaran dengan Ryo. Berkirim pesan untuk sekedar saling mengucapkan selamat tidur dan mengungkapkan rasa sayang. Aku masuk kedalam selimut agar mimpi dapat segera membuaiku. Sempat kesal pada perkataan ibuku tak urung aku menyesal karena bersikap tak baik pada ibuku. Sekalipun bukan aku yang memulai perdebatan, aku tetap tak tahan berdiaman lama-lama dengan orang terdekatku.
Dengan tekad akan meminta maaf pada beliau esok pagi, aku jatuh tertidur dan masuk ke alam mimpi indah yang membuaiku. Mimpi untuk menyambut esok yang lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments