Hari itu merupakan hari terakhirku melihat Kamila, hatiku sakit, berpisah karena keadaan sangat menyiksa batinku, sesungguhnya aku masih sangat mencintainya, dan berharap suatu saat aku masih bisa berjodoh dengannya.
Sore harinya, kami sekeluarga sudah bersiap akan pergi ke Jambi, baru saja kami menginjakkan kaki di Bandara, tiba-tiba rombongan polisi menyergap dan menghentikan kepergian kami. Kami begitu kaget karena setahuku, Ayah telah berdamai dengan mereka semua.
"Ada apa lagi ini Pak? Bukankah kalian semua sudah menggeledah rumah kami dan kalian tidak menemukan apa pun disana?" kata Ayah penuh emosi.
"Maaf Pak Farhan, anda tidak bisa lagi mengelak anak buah anda semuanya sudah kami amankan, dan mereka semua menunjukkan pada kami gudang tempat anda menyimpan barang-barang terlarang tersebut, kami juga telah menemukan semua bukti-bukti keterlibatan anda melalui ponsel anda dan anak buah anda yang telah kami sadap, sekarang ikut kami ke kantor untuk mempertangung jawabkan perbuatan anda!"
"Apa-apaan ini, saya tidak bersalah, akan saya buktikan jika tuduhan kalian semua salah!" Ayah terlihat memberontak namun tenaganya tidak cukup kuat untuk menyingkirkan cengkeraman tangan-tangan polisi di sekelilingnya.
Aku bingung dan hanya terdiam melihat Ayah diperlakukan layaknya seorang penjahat. "Ayah apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar yang dikatakan oleh polisi-polisi itu?". Aku bertanya pada Ayah dengan penuh emosi.
Namun Ayah hanya terdiam, Ibu menangis tersedu-sedu melihat Ayah digiring oleh polisi. Aku dan Ibu mengurungkan niat kami untuk kembali ke Jambi, lalu kami menyewa sebuah kontrakan dipinggiran kota, karena Ibu sudah terlanjur malu dan tidak ingin kembali lagi ke komplek perumahan tempat kami dulu tinggal.
Aku lalu berusaha membebaskan Ayah, rumah nenek tempat kami tinggal sudah kujual. Harga rumah yang tinggi karena berada di kawasan elit kupergunakan untuk biayaku kuliah dan menyewa pengacara untuk membebaskan Ayah. Sedangkan untuk membiayai kehidupan kami sehari-hari, dari uang gajiku hasil bekerja paruh waktu.
Namun usahaku untuk membebaskan Ayah tidaklah mudah, bukti-bukti yang dimiliki oleh kepolisian sangatlah kuat, tidak sebanding dengan yang kumiliki. Akhirnya Ayah divonis penjara selama sepuluh tahun.
Ibu begitu syok dengan semua yang terjadi pada kehidupan kami, sangat sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Namun aku mencoba tegar dan selalu menghiburnya meski usahaku sia-sia, kondisi kejiwaan Ibu begitu terguncang, kini waktunya dia habiskan dengan berdiam diri di kamar dengan tatapan mata kosong.
Disela-sela kegiatan kuliahku, terbersit keinginanku untuk mengunjungi Kamila namun selalu kuurungkan, aku sangat malu dengan keadaanku saat ini. Kudengar juga dia tidak kuliah di kota ini.
Tak terasa sudah empat tahun lebih aku berpisah dengan Kamila, kini aku sudah lulus kuliah dan telah mendapat pekerjaan yang bagus menjadi kepala administrasi sebuah perusahaan pembiayaan keuangan.
Suatu hari kuberanikan diri untuk pergi ke rumah Kamila, betapa terkejutnya aku ketika melihat polisi yang menangkap Ayah dulu sedang di rumah Kamila tampak berbicara begitu serius dengan Pak Wiguna, ayahnya Kamila. Dengan mengendap-endap aku berjalan mendekati rumah dan mencoba mendengar pembicaraan mereka.
"Pak Wiguna, meskipun sudah empat tahun Farhan mendekam di penjara namun peredaran narkoba masih sangat sulit kami kendalikan, ternyata setelah kami selidiki Farhan masih mengendalikan peredaraan narkoba di sini. Barang haram yang dia peroleh dari negeri tetangga begitu mudahnya dia masukkan melewati bea cukai karena jaringan Farhan yang begitu kuat di wilayah Sumatera, lalu memasukkannya ke wilayah Jawa baik lewat jalur darat ataupun laut, bagaimana sebaiknya kita menghadapi penjahat berbahaya seperti dia? Meskipun mendekam di dalam penjara dia masih dengan mudah mengendalikannya!"
'Jadi Ayah adalah benar-benar seorang pengedar narkoba? bahkan jaringan bisnis haram Ayah merajai di wilayah Sumatera dan Jawa, kenapa aku tak tahu? sebagai anak betapa bodohnya aku ini tak mengetahui pekerjaan orang tuaku yang sebenarnya.' batinku dalam hati.
Kulihat wajah Pak Wiguna tampak begitu resah "Pindahkan saja dia ke rutan Nusakambangan Pak Rangga!" katanya pada polisi tersebut.
"Sangat sulit Pak, terlalu berbahaya, bisa saja sewaktu pemindahan dia melarikan diri, selama dia masih hidup dia masih bisa mengendalikan bisnis peredaran narkoba lewat anak buahnya, melarikan diri saat dalam perjalanan bukanlah hal yang sulit baginya, atau kita habisi saja dia dipenjara Pak, bagaimana?"
Degggggg
Hati ini rasanya dihantam oleh batu, aku mendengar sendiri jika orang tuaku akan dihabisi, kulihat Pak Rangga mengambil telepon di sakunya. Aku lantas beranjak pergi mencoba untuk menyelamatkan Ayah, namun jarak rumah Kamila dengan rutan cukup jauh. Meskipun aku telah berusaha, kondisi jalan yang begitu ramai membuatku sangat sulit untuk bisa melajukan mobilku dengan kencang.
Aku pun terlambat, saat aku sampai di rutan kulihat jenazah Ayah sedang dimasukkan ke dalam mobil ambulan untuk dibawa ke rumahku, tubuh ini begitu lemah melihat jenazah Ayah penuh luka lebam. Saat kutanya penyebab kematian Ayah mereka menjawab perkelahian antar napi, namun tentu saja aku tak percaya karena aku sudah mendengar sendiri rencana pembunuhan pada Ayah.
'Sungguh kejam mereka, meskipun Ayah adalah seorang penjahat tidak pantas dia diperlakukan seperti ini, aku pasti akan balas dendam padamu Wigunaaaaa!!!!!!!'
Ketika jenazah Ayah sampai di rumah, Ibu tak bisa menahan kesedihannya. Dia berteriak dan menangis dengan penuh histeris melihat Ayah telah meninggal. Setelah kematian Ayah, kondisi kejiwaan ibu yang sempat membaik kembali menurun. Dia hanya bisa melantur dan menangis setiap hari, aku tak tega melihat keadaannya, lalu aku mengajaknya pindah ke Jambi.
Aku berfikir jika kami pindah ke Jambi, Ibu akan dekat kembali dengan keluarganya dan melupakan semua kenangan buruk beberapa tahun terakhir ini.
Suatu hari aku berjalan-jalan menyusuri pantai untuk membuang kepenatan. Selain masalah Ibu, disini aku juga agak kesulitan mendapatkan pekerjaan karena kondisi di sini sangatlah berbeda dengan di Jawa yang merupakan pusat perekonomian. Tiba-tiba seseorang menghampiriku
Pria itu lalu mengamatiku dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Bukankah kamu adalah Randi, ayahmu bernama Farhan?"
"Kok bapak tahu?" Aku begitu penasaran.
"Kenalkan saya Ridwan, Farhan itu teman saya sewaktu bekerja di perkebunan sawit, setelah beberapa tahun kami bekerja, dia keluar dari perkebunan dan memilih berbisnis, entah bisnis apa yang Ayahmu jalani saya tidak tahu, kami dulu masih sering bertemu, namun sejak kalian pindah ke Jawa, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, saya sering melihat foto-foto mu dulu di ponselnya sehingga sekarang dengan mudah saya bisa mengenalimu, lalu dimana Ayahmu sekarang?"
"Panjang ceritanya Pak, Ayah sekarang sudah meninggal dan Ibu mengalami gangguan kejiwaan, saya kembali lagi ke sini untuk menghibur Ibu agar dia melupakan semua kenangan buruknya selama kami di Jawa."
"Innalillahi saya turut berduka atas meninggalnya Ayahmu, maaf saya tidak tahu jika kalian telah mengalami masa-masa sulit, lalu kegiatan kamu sekarang apa Ran?"
"Saat ini saya sedang mencari pekerjaan Pak, namun belum ada yang cocok."
"Ohh begini Randi..." kata-kata Pak Ridwan tiba-tiba terhenti ketika seorang memanggilnya.
"Ayahhh...Ayahhhh..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
naya
mulai terlihat aluur nya👍👍👍
2021-10-07
2